Freeport Keruk Emas, Rakyat Dapat Ampas

Freeport Keruk Emas, Rakyat Dapat Ampas

Penulis: Chusnatul Jannah

Muslimah News, OPINI — Kaya SDA, tetapi masyarakatnya merana. Begitulah ironi Papua hari ini. Dalam istilah ekonomi, kondisi ini disebut sebagai “kutukan” SDA. Eksploitasi tambang emas Grasberg yang dikelola PT Freeport Indonesia menuai bencana bagi keberlangsungan masyarakat Papua, terutama di Kawasan Mimika.

Limbah tailing, yaitu sisa dari proses pengolahan hasil tambang PT Freeport Indonesia, telah merusak sungai-sungai di kawasan Mimika. Beroperasi selama lebih dari setengah abad, faktanya rakyat Papua tidak menikmati hasil dari tambang emas terbesar di dunia tersebut. Freeport mengeruk emas, masyarakat hanya dapat ampas.

Dampak Limbah

Anggota DPR Papua John NR Gobai menjelaskan perubahan yang terjadi di Kokonao, Kabupaten Mimika. Limbah tailing Freeport telah menyebar luas dan menimbulkan pengendapan hingga ke Mimika Barat. Ia mengatakan terjadi pendangkalan di muara-muara sungai, baik yang ada di dalam area Freeport maupun yang di luar. Setidaknya, masyarakat di tiga distrik di Kabupaten Mimika, yaitu Mimika Timur Jauh, Jita dan Agimuga, merasakan dampaknya. (VOA Indonesia, 1-2-2023)

Koordinator umum Komunitas Peduli Lingkungan Hidup (Lepemawi) Timika, Adolfina Kuum mengungkap bahwa setiap hari Freeport membuang 300 ribu ton limbah tailing ke sungai. Akibatnya, masyarakat tidak lagi bisa mengakses transportasi sungai karena terjadi sedimentasi dan pendangkalan. Sebanyak 23 desa di tiga kecamatan terdampak, di antaranya sungai tercemar, warga mengalami krisis air, hilangnya mata pencarian, ikan mati massal, gangguan penyakit menular, pulau keramat hilang, sungai dan laut terdegradasi, serta desa-desa dikepung oleh limbah tailing.

Bagi warga Papua, khususnya wilayah Mimika, sungai adalah tempat mereka hidup dan mencari nafkah. Bagaimana jadinya jika tempat penghidupan mereka terganggu oleh ulah korporasi membuang limbah tanpa peduli nasib masyarakat yang hidup di dalamnya? Perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan kesejahteraan jelas kian jauh dari harapan.

Merespons hal ini, wakil ketua DPR RI Dedi Mulyadi menjanjikan dua hal pada masyarakat korban limbah tailing Freeport. Pertama, DPR akan melakukan investigasi langsung ke lokasi terdampak limbah. Kedua, DPR akan mengundang pihak-pihak terkait, seperti PT Freeport, Kementerian Lingkungan Hidup, dan kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mengonfirmasi hal ini.

Keserakahan Kapitalis

Fakta pembuangan limbah tailing Freeport yang menghancurkan penghidupan masyarakat Papua mengonfirmasi satu hal, yakni keserakahan kapitalisme adalah “kutukan SDA” yang sebenarnya. Pihak yang paling bertanggung jawab jelas penguasa yang memberi lampu hijau eksploitasi tambang emas Freeport. Diketahui, pembuangan limbah tailing mendapat izin dari pemerintah provinsi Papua.

Dalam surat keputusan Gubernur No. 540/2002, ada empat sungai yang masuk dalam izin itu, yaitu Aghawagon, Otomona, Ajkwa dan Minajerwi. Dalam dokumen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tercatat bahwa PT Freeport sejak 1974—2018 telah mengalirkan limbah tailing melalui Sungai Aghawagon dan Sungai Ajkwa. Limbah ini kemudian ditempatkan di Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) seluas 230 kilometer persegi.

Pada 2019, pemerintah Indonesia mengambil alih kepemilikan Freeport melalui divestasi 51% saham. Namun, hal itu tidak mengubah fakta eksploitasi dan penjajahan SDA asing di atas tanah pribumi. Rakyat Papua yang seharusnya merasakan dampak kekayaan alam malah mendulang penderitaan berkepanjangan selama lebih dari 50 tahun. Ini karena penerapan sistem kapitalisme yang membuka lebar pintu liberalisasi SDA dan investasi asing. Sifat bawaan kapitalisme yang rakus dan serakah akan selalu berujung pada kerugian banyak pihak, terutama manusia dan lingkungan.

Menurut data penelitian dari Global Forest Watch, Universitas Maryland, AS, pada 2001—2020, Provinsi Papua kehilangan 438 ribu hektare hutan. Terdapat empat jenis perizinan usaha yang berdampak besar pada deforestasi Papua, yaitu pertambangan, hutan tanaman industri (HTI), hak pengusahaan hutan (HPH), dan perkebunan kelapa sawit.

Hampir 80% wilayah Papua merupakan wilayah usaha pertambangan. Sebanyak 20% dari seluruh tanah Papua telah dibebani izin atas empat jenis konsesi tersebut. Tidak akan ada asap tanpa api. Nyaris, di semua wilayah usaha tambang di Indonesia selalu menghasilkan konflik dengan masyarakat setempat, seperti hak tanah terampas, kemiskinan membayangi, dan kerusakan lingkungan yang menimbulkan bencana di mana-mana.

Semua itu direstui melalui kebijakan politik ekonomi kapitalisme demokrasi. Keserakahan kapitalis korporasi makin menjadi tatkala penguasa negeri mengeksekusi regulasi dan UU yang memberi karpet merah bagi asing mengamankan kepentingannya. Seperti halnya UU Cipta Kerja yang tetap melenggang meski ditentang banyak kalangan. Fakta kerusakan sistem kapitalisme terlalu tampak kasat mata jika mau dibantah. Bagaimanakah seharusnya pengelolaan SDA yang tepat?

Rumus Islam

Dalam pengelolaan SDA, Islam memberikan aturan dan rumus baku yang jelas dan gamblang. Pertama, pengelolaan SDA berprinsip pada kemaslahatan umat. Pengelolaan dan pemanfaatannya harus memperhatikan AMDAL sehingga tidak merusak lingkungan di sekitar wilayah pertambangan.

Kedua, kekayaan alam seperti barang tambang, minyak bumi, laut, hutan, air, sungai, jalan umum yang jumlahnya banyak dan dibutuhkan masyarakat, merupakan harta milik umum. Hal ini merujuk pada hadis Nabi ﷺ, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud).

Ketiga, pengelolaan harta milik umum dapat dilakukan dengan dua cara, yakni (1) masyarakat memanfaatkannya secara langsung, semisal air, jalan umum, laut, sungai, dan benda-benda lain yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Dalam hal ini, negara melakukan pengawasan agar harta milik umum ini tidak menimbulkan mudarat bagi masyarakat; dan (2) negara mengelola secara langsung. Hal ini dilakukan pada SDA yang membutuhkan keahlian, teknologi, dan biaya besar, seperti barang tambang, dll. Negara dapat mengeksplorasi dan mengelolanya agar hasil tambang dapat didistribusikan ke masyarakat. Negara tidak boleh menjual hasil tambang—sebagai konsumsi rumah tangga—kepada rakyat untuk mendapat keuntungan. Harga jual kepada rakyat sebatas harga produksi.

Keempat, negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan kekayaan alam yang menjadi milik umum kepada individu, swasta, atau asing.

Kelima, sektor pertambangan menjadi salah satu pos penerimaan Baitulmal. Pos milik umum ini dikhususkan dari penerimaan negara, seperti fai, kharaj, jizyah, dan zakat. Distribusi hasil tambang hanya dikhususkan untuk rakyat, termasuk untuk membiayai sarana dan fasilitas publik.

Demikianlah pengelolaan SDA dalam sistem Khilafah. Hasil pengelolaan tambang yang dikelola berdasarkan syariat Islam akan dinikmati rakyat dengan mudah dan murah. Sementara itu, hasil pengelolaan tambang yang dikelola kapitalisme justru lebih banyak dinikmati kapitalis ataupun korporasi. [MNews/Gz]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *