Arahan Biden untuk Menghentikan Perang di Gaza, Tujuan dan Kesulitannya

Arahan Biden untuk Menghentikan Perang di Gaza, Tujuan dan Kesulitannya

Penulis: Hamad Tabib (Yerusalem)

Muslimah News, ANALISIS INTERNASIONAL — Belakangan, muncul perbedaan nyata antara orientasi pemerintah Amerika yang dipimpin oleh Presiden Biden dan pemerintah Yahudi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Netanyahu, mengenai isu berlanjutnya perang di Gaza. Isu ini berkaitan dengan cara penanganan dan jumlah korban jiwa, serta skala kerusakan dan tragedi kemanusiaan, terutama dalam permasalahan tunawisma, kelaparan, dan penyaluran bantuan pangan.

Isu ini juga berkaitan dengan permasalahan politik yang ada, seperti siapa yang akan memerintah Gaza setelah perang, bagaimana mengakhiri perang, isu memasuki Rafah, penggabungan Otoritas Palestina dan gerakan Ham*s sebagai awal dari “solusi dua negara”, serta isu lain yang termasuk dalam isu militer dan politik.

Tingkat perselisihan ini telah mencapai titik yang mana Netanyahu dituding telah membawa entitas Yahudi pada jurang politik, serta kehancuran dan perpecahan internal dalam entitas Yahudi.

Pada Selasa (9-4-2024), Presiden AS Joe Biden menyatakan pada saluran Amerika berbahasa Spanyol, Univision, ketika ia ditanya mengenai metode Netanyahu dalam menangani perang, “Saya pikir apa yang ia lakukan adalah kesalahan. Saya tidak setuju dengan metodenya.” 

Selama wawancara, Biden mengulangi pernyataannya bahwa tragedi yang terjadi pada Senin (1-4-2024), yakni terbunuhnya tujuh relawan sebuah badan amal yang berbasis di Amerika dalam serangan Israel ke Gaza, sangatlah buruk. 

Ia juga menambahkan, “Saya meminta agar Israel menyerukan gencatan senjata, memberikan akses penuh terhadap makanan dan obat-obatan yang masuk ke negara tersebut selama enam atau delapan minggu ke depan.”

Apa yang membuat perbedaan di sini makin jauh? Mengapa perubahan kebijakan Biden ini bisa terjadi? Dari dukungan penuh dan mutlak terhadap kebijakan entitas Yahudi pada awal perang di Gaza, berubah menjadi tuduhan dan seruan untuk menghentikan perang. Ia juga menyerukan bahwa melanjutkan perang tersebut akan membawa pada kehancuran dan kebinasaan entitas Yahudi. 

Salah satu pilar paling penting yang harus kita jadikan landasan dalam setiap pandangan politik apa pun mengenai Barat beserta tindakan dan perkataannya, bahwasanya politik mereka didasarkan pada pencapaian kepentingan dan tujuannya; tidak memandang pada prinsip-prinsip tertentu, juga tidak memiliki gagasan tetap yang menjadi landasannya. Kesimpulannya, politik mereka didasarkan pada pandangan pragmatis. Inilah yang menjelaskan adanya perubahan opini, bahkan tindakan politik terhadap isu itu sendiri.

Perkara kedua, Amerika akan menjaga entitas Yahudi dan keberlangsungannya dalam setiap kepentingan mereka, tanpa keluar dari hal tersebut. Apabila entitas Yahudi melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang merugikan kepentingan Amerika, Amerika akan melakukan tindakan untuk mengendalikan dan memaksanya kembali pada lingkaran ketaatan, meskipun terkadang harus menggunakan kekuatan pendisiplinan. Ini telah terjadi lebih dari satu kali, seperti pada perang dengan Mesir 1973.

Perkara ketiga, ada negara-negara yang tidak kalah pentingnya dengan Yahudi dalam memelihara kepentingan Amerika, serta melayani mereka untuk mengimplementasikan proyek-proyeknya, seperti Turki, Iran, Mesir, dan Negara-Negara Teluk Arab. Sebagai gantinya, Amerika akan menjaga kumpulan negara ini dari kerusuhan dan perubahan.

Perkara keempat, Amerika memandang isu perang di Gaza seperti peristiwa politik lainnya, yakni dari segi perolehan manfaat bagi kebijakan Amerika; baik dengan bimbingan, pencegahan, intervensi politik dan militer, atau metode lainnya. Amerika mulai berupaya untuk memperoleh manfaat dan mengembangkan rencana ke depannya setelah Gaza. Namun Amerika menghadapi hambatan, dan yang paling berat berasal dari pihak entitas Yahudi. 

Ada banyak alasan yang menjadikan hambatan dari Yahudi ini sebagai hambatan besar bagi Amerika dan proyek-proyeknya dalam perang Gaza. Contohnya saja–tidak terbatas pada hal ini–adanya perubahan yang jelas pada budaya Yahudi, dalam apa yang mereka sebut Tanah Israel (Tanah Perjanjian). Ide ini telah diusung oleh partai-partai ekstremis yang menjadi mayoritas pemerintah di entitas Yahudi, dan pastinya juga akan membentuk sebagian besar opini politik di entitas tersebut. 

Alasan lainnya, situasi politik yang dialami Netanyahu, dari segi tuntutan, pencapaian tujuan perang yang dijanjikan untuk orang-orang Yahudi, serta komitmen dalam apa yang dijanjikan pada partai-partai keagamaan, untuk tidak memberikan konsesi terhadap solusi politik apa pun yang menargetkan “Tanah Israel”–menurut klaim mereka.

Dari dasar-dasar dan pertimbangan politik ini, Amerika, baik ketika dipimpin oleh Partai Republik maupun Partai Demokrat, ingin mencapai kepentingan politiknya terlebih dahulu, tanpa menghiraukan akibatnya atau bahkan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapai hasil tersebut. Kita telah melihat bahwa Amerika terkadang mengambil tindakan yang merugikan sebagian rakyatnya untuk mencapai kepentingan tersebut, seperti yang terjadi pada peristiwa 11 September 2001, juga deklarasi perang di Afganistan dan Irak 2003. 

Di sisi lain, dalam masalah ini kita juga harus melihat perubahan yang terjadi akibat tindakan entitas Yahudi di Gaza, serta kejahatannya yang berulang-ulang pada warga sipil; baik dengan membunuh, membuat kelaparan, atau kekejaman lainnya yang membuat marah masyarakat internasional dan Amerika, bahkan dalam kongres dan organisasi-organisasi masyarakat sipil Amerika secara umum. Hal ini menyebabkan perubahan persepsi partai-partai politik Amerika terhadap peristiwa tersebut.

Kita telah melihat betapa Trump ingin menunggangi gelombang politik ini untuk meraih keuntungan pemilu, yang mana ia tidak dapat melanjutkan dukungan mutlaknya terhadap tindakan-tindakan Yahudi seperti pada awal perang.

Adapun perubahan dari Biden terhadap perang di Gaza, hakikatnya didasarkan pada dua hal.

Pertama, mengarahkan kemudi perang ke arah proyek-proyek Amerika dalam mewujudkan stabilitas politik, memulai proyek-proyek politik dan ekonomi termasuk “solusi dua negara”, mewujudkan normalisasi dengan semua negara di wilayah tersebut, serta menjaga entitas Yahudi dalam sistem politik ini tanpa melampaui batas yang mana hal tersebut dapat mencederai kepentingan Amerika. 

Kedua, memanfaatkan peristiwa ini untuk meraih keuntungan pemilu, terutama karena citranya telah tercoreng dengan memberikan dukungan militer dan moral kepada entitas Yahudi dalam perang kotornya yang telah mencemari reputasi Amerika secara internal dan eksternal, serta menjadi beban berat baginya. 

Dari pertimbangan dan dasar-dasar ini, tampaklah bahwa perubahan pernyataan Biden terhadap perang; penggambarannya terhadap orang-orang Yahudi dan tindakan mereka sebagai tindakan yang sembrono, atau bertentangan dengan kepentingan entitas Yahudi dan hal-hal lain, merupakan sebagian perkara yang mulai diungkapkan oleh Biden.

Biden dan pemerintahannya mungkin akan melangkah lebih jauh jika orang-orang Yahudi tetap keras kepala, menentang Amerika, dan memengaruhi kepentingan vitalnya di Timur Tengah. Masalah ini dapat berkembang ke tingkat disiplin militer yang terkendali melalui negara-negara di sekitarnya, untuk memaksa orang-orang Yahudi tunduk, mematuhi kebijakan dan program Amerika di wilayah tersebut, serta tidak mengganggu mereka.

Kesimpulannya, tindakan Amerika, baik politik, militer, tekanan terhadap Yahudi, atau lainnya, semuanya demi kepentingan Yahudi dan Amerika dengan mengorbankan permasalahan dan kekuatan umat Islam. Sikap penguasa muslim yang menjalankan proyek-proyek ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap Allah, Rasul-Nya, dan umat Islam. 

Rakyat harus menggulingkan penguasa negara-negara yang mengikuti kebijakan dan tindakan Amerika yang mana kebijakan tersebut untuk melayani Amerika dan entitas Yahudi, tetapi mereka tegak menentang umat dan ambisinya.

Rakyat juga harus menyatukan umat dalam satu negara di bawah satu bendera, serta mencabut sekelompok ruwaibidhah dari alat-alat Amerika yang menerapkan kebijakan-kebijakannya dengan mengorbankan kekuatan dan darah umat. 

Rakyat harus menentang proyek-proyek Barat, menghentikan pendarahan di seluruh tubuh umat, serta menyatakan jihad untuk melenyapkan entitas yang jahat dan merusak ini, agar dapat membebaskan umat manusia dari kerusakan dan kejahatannya. 

Firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan mengampunimu. Allah memiliki karunia yang besar.” (QS Al-Anfal: 29). [MNews]

Sumber: Al-Rayah 491, Media Muslim Timur Tengah

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *