Mampukah UU Desa Memajukan Desa?

Mampukah UU Desa Memajukan Desa?

Penulis: Chusnatul Jannah

Muslimah News, OPINI — Presiden Jokowi telah mengesahkan UU 3/2024 tentang Perubahan Kedua atas UU 6/2014 tentang Desa. Aturan tersebut diteken pada 25-4-2024. Dalam aturan tersebut, terdapat perubahan masa jabatan kepala desa yang semula 6 (enam) tahun menjadi 8 (delapan) tahun dua periode. Artinya, kepala desa dapat menjabat hingga 16 tahun.

Aturan tersebut juga mengubah persyaratan kepala desa dalam Pasal 33 UU Desa. Ketentuan itu di antaranya perihal batas pendaftaran kepala desa hanya bisa dilakukan dengan minimal usia 25 tahun. Selain itu, calon kepala desa juga wajib tidak pernah dijatuhi hukuman pidana berdasarkan putusan pengadilan paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih.

Dalam pasal 26 ayat (3) huruf d UU desa disebutkan bahwa kepala desa akan menerima tunjangan purnatugas satu kali di akhir masa jabatannya, sesuai dengan kemampuan keuangan desa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Selain uang pensiun, kades juga berhak atas penghasilan bulanan, tunjangan, hingga jaminan Kesehatan dan Ketenagakerjaan atau BPJS. Dengan ketentuan ini, mampukah UU Desa memajukan desa? Akankah kepala desa menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya?

Poin Kritik

Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) bersyukur karena revisi UU 6/2014 disetujui Pemerintah dan DPR. Mereka mengaku senang dengan perubahan masa jabatan kepala desa yang akan mendorong para kepala desa bisa lebih semangat membangun wilayahnya menjadi lebih baik, yakni tentang kesejahteraan masyarakat, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Membangun desa memang tidak mudah. Akan tetapi, ada beberapa poin kritis yang perlu kita waspadai dari revisi UU ini.

Pertama, masa jabatan kepala desa hingga dua periode (16 tahun) sangat riskan dalam atmosfer sistem kapitalisme demokrasi. Pasalnya, panjangnya periode menjabat tersebut sangat berpotensi membentuk kantong-kantong oligarki kekuasaan di tingkat desa. Bisa jadi juga akan bermunculan dinasti desa dari keluarga yang sama. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat. Keluarga tertentu menguasai desa dengan segala perangkatnya. Alasannya karena mereka memiliki cukup modal untuk mencalonkan diri dalam pilkades.

Kedua, beragam tunjangan seperti uang pensiun, jaminan BPJS, dan lainnya akan mendorong pemilihan kepala desa lebih ketat dan kompetitif. Sebagaimana di tingkat pusat dan daerah, jabatan kepala desa menjadi jabatan yang menggiurkan bagi siapa pun. Mereka akan melakukan segala cara agar dapat memenangkan pemilihan kepala desa. Seperti halnya pemilu dalam demokrasi, tujuan akhir dalam kontestasi adalah meraih kemenangan, meski harus melakukan politik uang atau penyalahgunaan wewenang.

Ketiga, dalam UU 3/2024 mengatur sejumlah syarat wajib bagi individu yang akan menjadi calon kepala desa. Salah satunya ialah calon kepala desa tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau lebih, kecuali lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang.

Secara alamiah, masyarakat cenderung enggan memilih pemimpin yang memiliki riwayat pidana dalam kehidupannya. Akankah calon kades yang memiliki riwayat pidana secara sukarela mengumumkan secara terbuka bahwa ia mantan narapidana? Hal inilah yang akan menimbulkan masalah di kemudian hari seandainya calon kades yang pernah dipidana setelah lima tahun tidak mengungkap riwayat hidupnya secara jujur.

Keempat, beragam fasilitas dan tunjangan yang diberikan kepada kepala desa mestinya berbanding lurus dengan kinerja yang mereka lakukan. Masih banyak PR di negeri ini yang perlu dibenahi, utamanya desa. Terlebih setelah adanya kebijakan dana desa yang dikelola secara mandiri oleh pemerintah desa, bukannya amanah, para oknum kepala desa malah menyalahgunakan dana tersebut untuk kepentingannya sendiri. KPK mencatat sepanjang 2022 terdapat 686 kades yang terjerat korupsi dana desa.

Kelima, tata kelola desa oleh pemerintah desa rawan dimanfaatkan korporasi/ kapitalis dengan iming-iming pengembangan desa, seperti desa wisata, desa ramah lingkungan atau sejenisnya. Hal ini sangat memudahkan bagi kapitalis menggandeng perangkat desa untuk berinvestasi. Alhasil, jika kepala desa dan jajarannya tidak memiliki dasar pengetahuan perihal kepemimpinan, pengaturan keuangan, dan lainnya akan sangat mudah terjebak dengan iming-iming tersebut. Desa menjadi sasaran eksploitasi para kapitalis.

Keenam, pada 2023, jumlah desa tertinggal di Indonesia mencapai 9.238, sedangkan desa berkembang bertambah 11.011. Pengembangan desa sejatinya tetap membutuhkan tangan negara dalam menyediakan infrastruktur publik, layanan kesehatan, sanitasi dan akses air bersih, serta sarana publik lainnya. Tugas tersebut mestinya tidak dibebankan pada pemerintah desa yang notabene terbatas dari aspek pengetahuan, layanan, dan anggaran.

Perspektif Islam

Dalam pemerintahan Islam (Khilafah), setiap penguasa yang berada di bawah komando khalifah akan dipilih secara langsung oleh khalifah, seperti wali (setingkat gubernur), amil (setingkat kabupaten/kota), dan mudir (setingkat desa). Tidak ada pemilihan kepala per desa atau wilayah sebagaimana praktik pemilu demokrasi. Selain untuk efisiensi dan efektivitas waktu, hal itu mencegah terjadinya politik uang, transaksional, dan korupsi.

Dalam Islam, desa adalah bagian wilayah negara. Pemerintahan Khilafah bersifat sentralisasi atau terpusat. Tidak ada otonomi daerah atau desentralisasi sebagaimana dalam demokrasi, termasuk dalam hal pengelolaan dana. Semua pembiayaan dan kebijakan wilayah harus diketahui dan mendapat persetujuan dari Khalifah.

Untuk mengelola desa, negara tidak boleh lepas tangan dalam menjalankan tugas utamanya. Negara wajib menyediakan berbagai sarana publik dari tingkat pusat, daerah, hingga desa. Artinya, semua infrastruktur publik, seperti sekolah, jalan raya, jembatan, lampu penerang jalan, rumah sakit, puskesmas, dan transportasi harus disediakan oleh negara agar seluruh rakyat dapat mengakses dan memanfaatkannya secara mudah dan berbiaya murah, bahkan bisa gratis dalam hal pendidikan dan kesehatan.

Dalam sistem Islam, loyalitas kepemimpinan harus bersandar pada ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan asas kepentingan kelompok, golongan, apalagi kerabat/ keluarga. Para pemimpin di tingkat pusat hingga desa menjalankan tugas dan amanah yang diberikan hanya untuk memenuhi kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya.

Dengan penerapan sistem Islam secara kafah, segala aspek akan terpenuhi, mengingat tujuan kepemimpinan dan kekuasaan adalah dalam rangka menjalankan syariat Allah Taala dengan amanah dan adil. [MNews/Gz]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *