[Editorial] Spirit Kartini, Dibajak Lagi (?)

[Editorial] Spirit Kartini, Dibajak Lagi (?)

Muslimah News, EDITORIAL — “Kegiatan hari ini sebagai peneguhan bagi kita semua. Momentum Hari Kartini kami jadikan tonggak bagaimana impian Kartini untuk menjadikan perempuan-perempuan mampu menentukan nasibnya sendiri.”

Petikan pidato ini disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga saat memberikan sambutan pada acara Musyawarah Nasional (Munas) Perempuan II yang berlangsung di Balai Budaya Giri Nata Mandala, Kabupaten Badung, Bali, 20-4-2024. Acara bertajuk Suara Akar Rumput dalam Membangun (untuk Merawat) Indonesia “Perempuan bagi Bumi Pertiwi” ini dihadiri oleh 1.500 peserta yang datang dari seluruh Indonesia beserta 11 mitra Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat yang Inklusif atau INKLUSI.

Sembilan Fokus Isu

Munas ini digelar sebagai puncak rangkaian peringatan Hari Kartini yang berlangsung sejak 26-3-2024. Acara ini diselenggarakan secara kolaboratif antara Kemen PPPA, Bappenas, ormas sipil, dan mitra INKLUSI.

Dalam pidatonya, Menteri PPPA juga menyebut bahwa acara ini digelar sebagai bentuk penghormatan untuk perjuangan R.A. Kartini yang tanpa lelah terus berjuang untuk mendapatkan kesetaraan perempuan dan laki-laki. Juga menjadi bukti atas komitmen kuat pemerintah untuk memberdayakan perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marginal.

Dalam hal ini, ada sembilan isu strategis terkait perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok marginal yang menjadi fokus pembahasan pada acara ini. Sembilan isu tersebut adalah soal kemiskinan, pekerja perempuan, pencegahan perkawinan anak, pemberdayaan ekonomi perempuan, kepemimpinan perempuan, kesehatan perempuan, perempuan dan lingkungan hidup, perempuan dan anak berhadapan dengan hukum, serta kekerasan pada perempuan dan anak.

Kesembilan isu tersebut memang selalu disebut-sebut sebagai persoalan krusial bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya, termasuk penyandang disabilitas. Misalnya, selama satu dekade terakhir, masih ada gap antara indeks pembangunan manusia (IPM) laki-laki dengan perempuan di Indonesia. IPM laki-laki 76,73 poin, sedangkan IPM perempuan 70,31 poin. Kondisi inilah yang kemudian diklaim telah menyumbang status IPM Indonesia yang ada pada peringkat ke-17 dari negara-negara G20.

Begitu pun dengan indeks pembangunan gender (IPG). Selama satu dekade terakhir, poinnya mengalami kenaikan, tetapi tidak signifikan, yakni dari 89,52 menjadi 91,63. Sementara itu, peringkat Indonesia tetap berada di posisi ke-9 dari 10 negara ASEAN dan peringkat ke-16 dari negara-negara G20.

Adapun terkait tingkat partisipasi perempuan dalam pencalonan pejabat eksekutif maupun legislatif, disebut-sebut untuk mencapai 30% saja begitu sulit. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan tidak aspiratif terhadap kepentingan perempuan, padahal populasi perempuan di Indonesia mencapai separuh dari total jumlah penduduk dengan persentase sebanyak 49,5%.

Inilah sebagian fakta yang diidentifikasi sebagai persoalan krusial yang terjadi pada kaum perempuan dan kelompok rentan, di luar kasus-kasus kekerasan, kualitas kesehatan, dan sebagainya. Melalui munas ini pula, kaum perempuan dan kelompok rentan diharapkan bisa memberi solusi. Lalu hasil kesepakatannya didokumentasi dan diserahkan kepada pemerintah sebagai usulan dalam perencanaan pembangunan 2025—2029 di tingkat nasional dan daerah.

Problem Kacamata

Tidak dimungkiri bahwa kaum perempuan, anak, dan penyandang disabilitas hari ini tidak dalam kondisi baik-baik saja. Problem kemiskinan, kekerasan, diskriminasi, maupun marginalisasi sudah lama menjadi persoalan yang lekat dengan keseharian mereka.

Hanya saja, mengeklaim bahwa itu hanya persoalan perempuan dan mereka yang disebut kelompok rentan, jelas menunjukkan salah kacamata. Apalagi menuding bahwa akar penyebabnya karena ada ketimpangan gender sehingga solusinya adalah mengejar kesetaraan gender di berbagai bidang kehidupan melalui narasi “pemberdayaan” dan emansipasi, terutama di bidang perekonomian.

Terlebih, istilah “kesetaraan dan pemberdayaan” yang terus gaungkan sudah memiliki definisi khas berdasarkan perspektif sekularisme liberalisme. Tepatnya, mereka mengadopsi feminisme yang menilai ketinggian derajat kaum perempuan dari kemampuan menunjukkan eksistensi dan meraih kesetaraan di berbagai bidang kehidupan sebagaimana kaum laki-laki—seakan-akan akar dari semua problem adalah persaingan dengan laki-laki alias dominasi laki-laki.

Perempuan disebut berdaya di bidang politik, misalnya, ketika mereka memiliki posisi tawar dalam pengambilan keputusan dan pengambilan pendapat sebagaimana laki-laki. Oleh karenanya, isu yang diaruskan adalah upaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam pemilu dan keterwakilan perempuan dalam parlemen atau dalam jabatan-jabatan publik agar setara dengan laki-laki.

Pada bidang ekonomi, perempuan berdaya didefinisikan sebagai ‘perempuan yang memiliki kesempatan dan kemampuan sama dalam mengakses faktor-faktor ekonomi dan pekerjaan di berbagai sektor dengan laki-laki’. Oleh karenanya, isu yang diaruskan adalah pemberdayaan ekonomi perempuan melalui bantuan UMKM, buruh perempuan, pendidikan perempuan, dan lain-lain sehingga perempuan punya bargaining power di hadapan laki-laki.

Bahkan hari ini, perempuan dituntut menjadi pengendali ekonomi (economic driver) dengan dalih menyolusi problem kemiskinan, padahal sejatinya mereka jadi bumper ekonomi demi memutar mesin industri kapitalisme global.

Adapun pada bidang sosial, perempuan berdaya digambarkan sebagai ‘perempuan yang memiliki kesetaraan dalam hak berekspresi dan bersuara’. Dengan demikian, diaruskanlah gagasan-gagasan semisal kesetaraan dalam pernikahan dan pergaulan masyarakat, termasuk hak atas qawwamah (kepemimpinan dalam keluarga dan negara), hak atas tubuh dan kebebasan berperilaku, termasuk berpakaian, dsb. semata-mata agar perempuan tidak disepelekan oleh laki-laki.

Jadilah selama ini program-program pemberdayaan perempuan selalu identik dengan aspek-aspek di atas. Lalu berbagai apresiasi pun diberikan kepada perempuan berdaya ini, seperti para perempuan yang mampu jadi menteri, inovator bidang teknologi, pengusaha sukses, berprestasi di bidang olahraga, ajang “putri-putrian”, dan lainnya. Semuanya serba duniawi dan berkaitan dengan sekadar materi.

Ironis, mereka menisbahkan perjuangan merebut kesetaraan tersebut kepada perjuangan R.A. Kartini. Sedangkan jika menyimak ujung dari pergulatan pemikiran ideologi Kartini, beliau yang awalnya takjub oleh pemikiran Barat dan sempat ter-sibghah (tercelup) pemikiran sosialisme, pada akhirnya tunduk pada tuntunan Islam. Akhirnya yang Kartini inginkan hanyalah agar kaum perempuan bisa menjalankan fungsi strategisnya sebagai perempuan, yakni sebagai ibu madrasatul ‘ula dalam status tertingginya sebagai hamba Allah Taala.

Kartini Melihat Kemuliaan Sejatinya Ada pada Islam

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidup. Akan tetapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita agar wanita lebih cakap dalam melakukan kewajiban yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri dalam tangannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat R.A. Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).

Itulah cita-cita Kartini yang tidak (mau) disadari para pejuang emansipasi. Mereka berkali-kali membajak nama Kartini sebagai legitimasi perjuangan yang disetir Barat untuk mengalihkan peran dan fungsi politis strategis perempuan sebagai arsitek peradaban cemerlang.

Ya, mereka benar-benar tidak menyadari bahwa ada skenario besar di balik mainstreaming gagasan kesetaraan gender di dunia Islam. Skenario itu berupa perang pemikiran yang dilancarkan Barat untuk menjauhkan umat dari Islam dan mengukuhkan hegemoni kapitalisme global, salah satunya melalui kaum perempuan.

Semestinya, mereka paham bahwa solusi meraih kesetaraan yang dibungkus narasi pemberdayaan, sejatinya tidak nyambung dengan akar semua problem yang diklaim sebagai problem perempuan. Jika dicermati, munculnya berbagai masalah kemiskinan, kekerasan, diskriminasi, dan marginalisasi di tengah kehidupan masyarakat hari ini justru akibat penerapan sistem hidup dan aturan yang sangat rusak, yakni sistem sekuler kapitalisme neoliberal yang serahim dengan gagasan feminisme.

Sistem ini telah memproduksi berbagai kezaliman dan ketidakadilan yang menimpa mayoritas masyarakat dan menguntungkan segelintir golongan, terutama para pemilik modal. Merekalah yang dengan segala kekuatannya mampu menguasai aset-aset ekonomi, sedangkan rakyat kecil, termasuk kaum perempuan, berebut sisa remah-remah yang ditinggalkan. Mereka benar-benar dimiskinkan secara struktural.

Sistem ini pun telah memproduksi berbagai kerusakan di tengah masyarakat karena interaksi di antara umat tegak di atas sekularisme liberalisme. Berbagai kasus dekadensi moral, seperti pergaulan bebas, seakan lumrah terjadi. Kekerasan pun merebak, baik yang menimpa perempuan, maupun laki-laki, baik di lingkup domestik maupun di kehidupan publik.

Begitu pun dengan kerusakan lingkungan. Kerakusan para pemilik modal tecermin dalam paradigma pembangunan yang sangat eksploitatif. Tidak heran jika berbagai bentuk bencana seakan tidak henti menimpa negeri ini dan dampaknya dirasakan oleh semua pihak, tidak hanya oleh kaum perempuan, anak, dan para penyandang disabilitas.

Oleh karenanya, yang semestinya diperjuangkan untuk menyolusi berbagai persoalan yang dihadapi perempuan dan umat secara keseluruhan bukanlah mewujudkan kesetaraan gender atau pemberdayaan perempuan dalam perspektif feminisme, melainkan segera mencampakkan sistem hidup sekuler kapitalisme neoliberal yang menjadi biang kerok penderitaan umat manusia secara keseluruhan.

Kembali ke Fitrah Islam

Islam adalah satu-satunya solusi bagi seluruh problem kehidupan, termasuk permasalahan yang menimpa laki-laki maupun anak dan perempuan. Islam datang dari Zat yang Menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Dialah Yang Maha Tahu, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang.

Sejarah menunjukkan, penerapan aturan Islam secara kafah terbukti mampu melahirkan kebaikan. Masyarakat—tidak terkecuali kaum perempuan dan mereka yang disebut kelompok rentan—bisa menikmati kehidupan yang sejahtera dan penuh berkah.

Dalam Islam, kaum perempuan menempati posisi tinggi, yakni sebagai arsitek peradaban. Seluruh haknya dijamin sedemikian rupa sehingga mereka bisa mengoptimalkan peran strategisnya tanpa halangan. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan dijamin melalui mekanisme yang jelas, mulai dari jalur wali atau suami hingga oleh negara dengan standar tinggi. Sementara itu, pendidikan, kesehatan, dan keamanan dijamin oleh negara sebagaimana rakyat lainnya.

Walhasil, kaum perempuan punya kesempatan banyak untuk memastikan tupoksinya berjalan dengan baik hingga sejarah peradaban Islam diwarnai kegemilangan dengan lahirnya generasi cemerlang dari tangan kaum perempuan.

Semua itu merupakan dampak positif dari penerapan sistem ekonomi Islam yang adil dan menyejahterakan. Sistem sosial Islam menjaga kebersihan masyarakat, sistem politik Islam memosisikan penguasa sebagai pengurus dan penjaga, sistem sanksi menjamin keamanan masyarakat, dan lainnya.

Terwujudnya sistem inilah yang ditakuti peradaban Barat sehingga mereka terus berusaha menjauhkan umat dari kecemerlangan pemikiran Islam. Salah satu upaya mereka adalah dengan mengarusderaskan pemikiran dan budaya sekuler, salah satunya feminisme di dunia Islam hingga kaum perempuan kehilangan kebanggaan menjadi ibu, arsitek peradaban cemerlang, dan justru sibuk mengejar obsesi kesetaraan yang menjerumuskan. [MNews/SNA]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *