Ribuan Calon Dokter Spesialis Mengalami Depresi, Beban Pendidikan dalam Kapitalisme?

Ribuan Calon Dokter Spesialis Mengalami Depresi, Beban Pendidikan dalam Kapitalisme?

Penulis: Rindyanti Septiana, S.H.I.

Muslimah News, OPINI — Mengagetkan! Ribuan calon dokter spesialis mengalami gejala depresi. Hal ini terungkap setelah Kemenkes melakukan skrining kesehatan jiwa yang melibatkan 12.121 mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit vertikal pendidikan di Indonesia. Skrining dilakukan pada 21, 22, dan 24 Maret lalu.

Hasilnya, 22,4% atau 2.716 peserta PPDS tercatat mengalami gejala depresi, 1,5% atau 178 orang mengalami depresi sedang-berat, sedangkan 0,6% atau 75 orang terkena depresi berat. Dua pekan terakhir sebelum skrining, 51% peserta PPDS merasa Lelah, 38% mengalami gangguan tidur, 35% kurang tertarik melakukan apa pun, 25% merasa murung, muram, atau putus asa, dan 24% merasa kurang nafsu makan atau terlalu banyak makan. (BBC Indonesia, 17-4-2024).

Pada periode yang sama, sebanyak 3,3% atau 399 peserta PPDS merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun. Ada 2,7% yang merasakan hal itu selama beberapa hari, 0,4% selama lebih dari separuh waktu, serta 0,2% yang merasakannya hampir setiap hari.

Mengapa kondisi tersebut bisa dialami oleh mahasiswa PPDS? Bisa-bisa sebelum lulus menjadi dokter spesialis, mereka malah berakhir menjadi pasiennya.

Penyebab Depresi

Tampaknya, beban pendidikan yang dialami calon dokter spesialis sudah cukup lama dirasakan, tetapi baru ini muncul ke permukaan setelah hasil skrining dilakukan. Mereka menghadapi jalinan tekanan kompleks yang membuat kewalahan. Jadwal padat sering kali melebihi 80 jam per minggu, akhirnya kurang tidur dan sedikit atau tanpa waktu istirahat yang cukup.

Tantangan akademis berat dengan tugas kuliah yang intensif dan ujian juga menuntut dengan skala penilaian ketat. Tekanan terus-menerus untuk berprestasi telah menciptakan lingkungan kompetisi dan keraguan diri yang tiada henti. Tidak hanya itu, biaya pendidikan dokter spesialis yang terdiri dari uang kuliah tunggal (UKT) dan iuran pengembangan institusi (IPI) juga menyumbang beban berat bagi mereka.

UKT untuk program dokter spesialis di UI mulai dari Rp12,1 juta per semester, sedangkan IPI paling murah dari Rp22 juta yang harus dibayarkan sekali saat awal pendaftaran. Sementara itu, mereka harus menanggung biaya hidup yang juga meningkat, bahkan ada yang menjadi tulang punggung keluarga.

Siti Nadia Tarmizi selaku Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes mengatakan pada periode Juli—Desember 2023, Kemenkes menerima 216 aduan terkait dugaan perundungan di lingkungan rumah sakit. Sebanyak 109 di antaranya dilaporkan terjadi di RS vertikal, sedangkan 107 lainnya di RSUD, fakultas kedokteran universitas, RS universitas, dan lainnya. Selain itu, perundungan di tengah mahasiswa PPDS turut menjadi salah satu faktor penyebab depresi.

Pandangan Tokoh Kesehatan

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam mengatakan bahwa peserta PPDS menghadapi pasien dengan tingkat sosial dan ekonomi yang bermacam-macam sehingga mereka terpapar risiko terjadi depresi. Beban finansial dari biaya pendidikan sangat berat ditambah meningkatnya biaya hidup, padahal perbincangan tentang bayaran selama pendidikan bagi mereka baru muncul pada 2023.

Menurut Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan Kemenkes RI Arianti Anaya, pembayaran terhadap dokter residen selama pendidikan dokter spesialis dirancang sebagai lompatan perubahan dikarenakan selama ini dokter residen tidak mendapat bayaran.

Elvine Gunawan seorang dokter spesialis kejiwaan mengungkapkan, PPDS disebut berat karena calon dokter spesialis mesti memperdalam ilmunya dalam waktu relatif singkat, kira-kira 4—6 tahun. Selama itu, mereka kewalahan menghadapi beban pembelajaran dan pelayanan, termasuk saat menghadapi pasien dan keluarganya. Sering kali pula, jumlah pasien yang harus ditangani tidak sebanding dengan jumlah dokter atau peserta PPDS yang berjaga, ditambah lagi mereka tidak digaji.

Menurut Japora (2018), UU 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran mengatur bahwa status peserta PPDS termasuk mahasiswa dengan hak-hak yang meliputi memperoleh perlindungan hukum dalam mengikuti proses belajar mengajar, mendapatkan insentif di RS pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran, serta memperoleh waktu istirahat sesuai waktu yang telah ditentukan.

Mereka juga tidak mendapatkan berbagai hak yang diatur dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, seperti hak atas upah yang layak, jam kerja, dan lainnya. Bertumpuknya beban selama pendidikan yang dialami mahasiswa PPDS akhirnya menyebabkan mereka depresi.

Beban Pendidikan dalam Kapitalisme

Dr. Rini Syafri, pengamat kebijakan publik, menilai bahwa semestinya pelaksanaan sistem pendidikan tinggi dan pendidikan dokter spesialis, antikapitalisasi dan komersialisasi. Demikian pula dengan kurikulumnya, steril dari kepentingan bisnis dan korporasi.

Sungguh, betapa lelahnya calon dokter spesialis mengikuti sistem pendidikan dalam kapitalisme yang didedikasikan semata untuk dunia kerja, bahkan perkembangan industri dan korporasi. Hal ini akhirnya menjadi beban berat bagi mereka. Suatu hal yang wajar ditemukan para pelajar, termasuk PPDS yang depresi, dalam menjalani pendidikan.

Beban belajar menjadi residen di RS, perundungan, dan biaya pendidikan yang selangit, membuat masalah yang dihadapi oleh mahasiswa PPDS makin kompleks. Jika ini mereka sebut sebagai lingkaran setan, berarti membutuhkan solusi yang sistemis untuk menuntaskannya.

Walhasil, urgen untuk menghadirkan sistem pendidikan yang sahih. Sistem yang menghimpun paradigma pendidikan sahih, tujuan sahih, kurikulum sahih, hingga peran negara yang sahih sehingga seluruh penyelenggaraan pendidikan berjalan baik.

Sistem pendidikan yang diharapkan ini hanya bisa terwujud dalam institusi Khilafah. Sistem ini akan memfasilitasi dengan baik para pelajar, termasuk calon-calon dokter spesialis yang memang sangat dibutuhkan negara. Sistem pendidikan yang tidak membuat pelajar depresi.

Solusi Sistemis Membutuhkan Penerapan Syariat

Dalam Islam, jaminan akses yang memudahkan masyarakat mendapatkan pendidikan hingga level pendidikan dokter spesialis dibiayai mutlak oleh negara dari baitulmal. Negara mampu secara finansial melakukan fungsi politiknya mencetak dokter dan dokter spesialis secara memadai dari segi kualitas dan jumlah.

Penerapan syariat secara kafah menjadi solusi sistemis memutus “lingkaran setan” dalam dunia kesehatan di negeri ini. Negara akan memenuhi berbagai kebutuhan asasi manusia secara benar, yakni berupa pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan memenuhi segala perkara penting bagi keberlangsungan kehidupan manusia.

Sementara itu, sistem pendidikan dalam Islam berdasarkan akidah Islam yang menjadi dasar pemikirannya. Output-nya menghasilkan pelajar yang keimanannya kukuh dan pemikiran Islamnya mendalam (tafaqquh fiddin); jauh dari kata depresi atau mengalami gangguan kejiwaan. Outcome-nya (pengaruh) ialah keterikatan pelajar dengan syariat Islam.

Dampaknya, tercipta masyarakat yang bertakwa. Sungguh, Islam satu-satunya solusi yang semestinya diambil oleh umat untuk mengakhiri persoalan pendidikan, termasuk gangguan kejiwaan yang terus bermuncul di tengah pelajar.

Khatimah

Khilafah telah membuktikan berhasil melahirkan banyak ilmuwan dan pakar di berbagai bidang tanpa harus menghadapi berbagai persoalan yang menyebabkan mereka depresi dan terbebani. Mereka hidup sesuai fitrah dan berbagai kebutuhannya didukung penuh oleh negara.

Khalifah pun memahami dengan baik sabda Rasulullah saw, “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR Muttafaq’alaih). Dengan demikian, niscaya kesehatan mental akan terjaga, yakni kesehatan pikiran dan perasaan yang dapat menyehatkan seluruh jasad warga negaranya. [MNews/Gz]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *