[Editorial] Transportasi Aman, Nyaman, dan Murah, Hak Seluruh Warga Negara

[Editorial] Transportasi Aman, Nyaman, dan Murah, Hak Seluruh Warga Negara

Muslimah News, EDITORIAL Tradisi mudik tampaknya bisa menjadi parameter untuk menilai bahwa kualitas sistem transportasi di Indonesia masih sangat bermasalah. Betapa tidak, tiap tahun, tradisi ini selalu menyisakan cerita sedih. Mulai dari kemacetan parah, biaya yang sangat mahal, hingga berbagai tragedi kecelakaan lalu lintas (lakalantas) yang memakan banyak korban jiwa.

Ironisnya, pemerintah selalu mengeklaim sudah melakukan berbagai upaya mitigasi untuk mengeliminasi kasus dan dampaknya. Namun kenyataannya, alih-alih membaik, dari tahun ke tahun kondisinya malah makin parah.

Untuk musim mudik Lebaran tahun ini saja, kemacetan mengular di mana-mana, tidak terkecuali di berbagai ruas jalan tol. Harga tiket pun melonjak naik hingga 300%. Sementara itu, jumlah lakalantas angkanya masih tembus ribuan kasus, meski diklaim mengalami penurunan dari tahun lalu. Rilis data Korlantas Polri hingga 14-04-2024 menyebut, sepanjang Operasi Ketupat ini ada 2.419 kasus laka dengan korban meninggal sebanyak 358 orang.

Bukan Sekadar Teknis

Ada banyak hal yang diklaim telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi berbagai problem mudik Lebaran, terutama untuk Lebaran tahun ini yang disebut-sebut oleh Kemenkominfo sebagai mudik termeriah sepanjang sejarah. Bisa dibayangkan, sekira 193,6 juta orang atau 71,7% penduduk Indonesia diperkirakan melakukan aktivitas mudik tahun ini.

Kemenhub, misalnya, telah menyiapkan sarana angkutan hingga 33.369 buah. Juga memastikan kesiapan terminal, pelabuhan, dan bandara, sekaligus membuat sistem yang diharapkan mampu memperlancar arus mudik, seperti pembatasan terhadap kendaraan angkutan barang, termasuk truk tiga sumbu, penerapan skema ganjil genap, sistem contraflow dan sistem satu arah, hingga program mudik gratis dan pemberian diskon 20% pada tarif tol.

Pemerintah pun berbangga bahwa upaya ini telah berhasil menurunkan kasus lakalantas pada musim Lebaran ini. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyebut jumlah kecelakaan lalu lintas dalam libur Lebaran tahun ini menurun 15% dibandingkan libur Lebaran tahun lalu. Angka ini tentu masih butuh divalidasi, mengingat suasana mudik, khususnya arus balik, masih belum selesai.

Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Perhubungan dan Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) saat melakukan peninjauan sekaligus rapat koordinasi kesiapan pelaksanaan operasional arus balik Lebaran 2024 di Kantor Jasa Marga KM 70, Cikampek, Jawa Barat, Kamis (11-4-2024). Menhub mengatakan, ada peningkatan rata-rata kecepatan dan waktu tempuh antara tahun ini dengan tahun lalu sebagai hasil positif dari upaya yang dilakukan oleh kepolisian dan Jasa Marga, serta stakeholder yang lain.

Ia mencontohkan, kecepatan rata-rata Jakarta-Semarang pada puncak mudik 2024 adalah sebesar 67,59 km/jam atau meningkat 12,5% dari puncak mudik 2023 (64,14 km/jam). Adapun waktu tempuhnya, tercatat 6 jam 54 menit atau lebih cepat 17,5% dari puncak mudik 2023 yang mencapai 8 jam 12 menit.

Sementara itu, Menko PMK mengatakan, penanganan arus mudik tahun ini secara umum berjalan lancar disertai ada perbaikan-perbaikan dari banyak sisi. Namun, ia mengakui masih terdapat beberapa permasalahan, terutama yang diakibatkan oleh kenaikan jumlah pemudik, ketakdisiplinan pemudik, khususnya yang melalui pelabuhan penyeberangan sebagaimana kasus di Pelabuhan Bakauheni, maupun semua hal yang melatari kasus lakalantas seperti muatan berlebih, sopir ugal-ugalan, kelelahan, dan sebagainya.

Tampak dalam hal ini, sorotan pemerintah masih fokus pada perkara-perkara teknis menyangkut kelancaran arus mudik dan balik Lebaran. Sementara itu, realitasnya, problem transportasi bukan sekadar masalah teknis karena menyangkut hak-hak publik yang wajib diselesaikan pemerintah hingga tuntas. Tentu bukan hanya untuk momen tertentu saja semisal Lebaran, karena hakikatnya sektor transportasi menyangkut aktivitas harian yang semestinya bisa diakses oleh seluruh rakyat dengan aman, nyaman, dan biaya terjangkau.

Problem Sistemis

Ada banyak faktor yang menyumbang berbagai persoalan di bidang transportasi, baik pada kondisi tidak normal seperti momen Lebaran maupun pada situasi normal. Namun, semua faktor ini mengerucut pada satu problem besar yang menjadi akar permasalahan, yakni kapitalisasi sarana dan prasarana transportasi yang kian hari berjalan makin kental.

Diakui atau tidak, selama ini pembiayaan pembangunan infrastruktur, termasuk sarana prasarana transportasi di Indonesia mengandalkan inverstasi asing dan kapitalisasi pembiayaan di pasar modal. Maklum, keuangan negara sudah lama tidak baik-baik saja.

Terkait investasi asing, pengesahan UU Cipta Kerja menjadi bukti betapa pemerintah rela memberi karpet merah pada perusahaan-perusahaan multinasional untuk berbisnis di berbagai bidang, termasuk bidang infrastruktur, khususnya jalan tol. Akibatnya, tidak semua warga negara bisa mendapatkan hak publiknya, kecuali mereka yang mampu membayar. Adapun wilayah-wilayah terpencil jangan harap bisa masuk prioritas kecuali di sana ada ceruk bisnisnya.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi di Indonesia pada kuartal IV-2023 mencapai Rp365,8 triliun. Angka ini naik 16,2% secara tahunan (year on year/yoy). Sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi tercatat sebagai satu dari lima sektor yang paling dilirik asing, yakni sebesar US$1,4 miliar, setara Rp19,4 triliun.

Adapun terkait pasar modal, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat perkembangan pembiayaan infrastruktur, utilitas, dan transportasi di pasar modal dari tahun ke tahun menunjukkan pertumbuhan signifikan. Ada ratusan perusahaan yang terlibat atau bermain pada sektor infrastruktur, utilitas, dan transportasi dengan kapitalisasi pasar (market capitalization), mengingat sektor ini sangat menguntungkan. Tahun 2019 saja, dari 653 perusahaan yang tercatat di BEI, ada 74 perusahaan di antaranya masuk dalam kategori infrastruktur, utilitas, dan transportasi dengan kapitalisasi pasar senilai Rp865 triliun.

Bukan hanya pembiayaan, operator pembangunan dan layanan sektor ini pun nyaris sepenuhnya di-handle swasta. Kalaupun BUMN terlibat, tetap saja paradigmanya adalah “setengah swasta”. Tidak heran jika paradigma hitung dagang begitu sangat kental. Sarana dan prasarana transportasi disediakan, hanya sebatas untuk menghasilkan cuan.

Pemerintah selalu berdalih bahwa swastanisasi merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Selain terkait urusan modal, manajemen bisnis diperlukan semata demi meningkatkan layanan dan meningkatkan efisiensi pengelolaan. Alhasil masyarakat dihadapkan pada pilihan-pilihan; layanan baik, tetapi berbiaya mahal, atau biaya murah, tetapi layanan seadanya (?).

Masalahnya, masyarakat terkadang tidak punya pilihan. Sarana prasarana yang terbatas membuat mereka terpaksa mengambil opsi layanan “rasa swasta” atau memilih nekat berangkat menggunakan fasilitas seadanya. Tidak heran jika tiap tahun ada fenomena mudik naik motor dengan penumpang dan bawaan yang berisiko mengalami kecelakaan.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa negara sudah kehilangan daya urus atas rakyatnya. Paradigma sekuler kapitalisme sudah mengooptasi pemikiran para penguasa sedemikian rupa sehingga mereka membangun hubungan dengan rakyatnya bukan seperti penggembala dan yang digembala, melainkan sebagai regulator yang memandang semua urusan dengan kacamata pengusaha, termasuk dalam memenuhi hak-hak rakyatnya.

Negara dalam pandangan para penguasa dianggap sebagai sebuah perusahaan. Dengan konsep reinventing government ala David Osborne dan Ted Gaebler, mereka mengubah cara birokrasi sedemikian rupa dengan dalih agar pelaksanaan pemerintahan dapat berjalan secara akuntabel, responsif, inovatif, profesional, dan entrepreneur, padahal yang diuntungkan tentu saja para pemilik modal yang bersekutu dengan penguasa.

Paradigma Kepemimpinan Islam

Khalifah atau Amirulmukminin Umar bin Khaththab ra. yang saat itu kekuasaannya meliputi Jazirah Arab, Persia, Irak, Mesir, dan Syam (sekarang: Suriah, Yordania, Lebanon, dan Palestina) pernah berkata, “Demi Allah jika ada seekor keledai di negeri Irak jatuh terperosok di jalan, aku khawatir keledai itu akan menuntut pertanggungjawaban saat hari kiamat kelak.”

Kata-kata itu sejatinya mewakili prinsip kepemimpinan dalam Islam yang tidak hanya memiliki dimensi duniawi, tetapi juga dimensi ukhrawi. Pelaksanaan seorang penguasa atas kepemimpinannya di dunia akan membawa konsekuensi pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Pemimpin dalam Islam berperan sebagai raa‘in (pengurus/penggembala) sekaligus junnah (perisai/penjaga) bagi seluruh rakyatnya. Bahkan dari perkataan Umar ra. tersebut tampak bahwa tanggung jawab kepemimpinan dalam Islam itu tidak hanya menyangkut urusan manusia, tetapi juga urusan hewan dan alam semesta lainnya.

Paradigma inilah yang menuntun para khalifah dari masa ke masa untuk berusaha sekuat tenaga memenuhi hak-hak rakyatnya dan menyejahterakan mereka dengan layanan prima. Hal ini bisa diwujudkan sejalan dengan pelaksanaan syariat Islam secara kafah yang menjamin kehidupan yang serba harmonis dan penuh berkah.

Dalam pandangan Islam, seluruh kebutuhan dasar, seperti sandang, pangan, dan papan hingga keamanan dan layanan publik lainnya, ada dalam jaminan negara. Negara wajib memastikan setiap individu bisa mengakses kebutuhan dasar dan layanan publik ini dengan mudah dan murah. Termasuk di dalamnya ketersediaan sarana dan prasarana transportasi yang sudah menjadi urat nadi bagi kehidupan masyarakat. Setiap individu pun harus bisa mendapatkannya dengan layanan yang mudah, aman, nyaman, dan murah, bahkan gratis.

Dengan kata lain, negara haram mengapitalisasi layanan transportasi publik seperti yang terjadi saat ini. Negara pun haram membiarkan individu atau swasta menguasai transportasi publik, termasuk menjadikan jalanan umum sebagai sumber pemasukan yang akan memberatkan warga negaranya.

Negara justru diberi amanah memaksimalkan upaya agar hak-hak itu bisa ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Hal ini niscaya, karena syariat Islam mengatur sistem keuangan yang memungkinkan negara punya modal besar untuk mewujudkannya.

Islam menetapkan bahwa kekayaan alam, seperti tambang emas, nikel, timah, batu bara, bijih besi, dan lain sebagainya yang ada di perut bumi Nusantara, serta hasil hutan dan lautan adalah hak milik umum yang wajib dikelola dengan sebaik-baiknya oleh negara. Demikian pula ada banyak pos pemasukan APBN lainnya yang bisa digunakan negara untuk membiayai seluruh kebutuhan masyarakatnya.

Dengan modal itulah Islam akan melakukan berbagai riset dan pengembangan hingga semua layanan publik yang diberikan bagi rakyatnya bisa membawa kebaikan dan menjauhkan mereka dari kemudaratan. Alhasil, umat Islam selalu terdepan dalam berbagai bidang kehidupan hingga mereka tampil sebagai sebaik-baik umat. Sementara itu, peradabannya menjadi mercusuar peradaban-peradaban lainnya.

Hal tersebut tercatat dalam sejarah emas peradaban Islam. Jalan canggih beraspal sudah dikenal di kota Baghdad sejak abad ke-8 M. Ketika suatu wilayah di-futuhat, tata kota pun dibuat sedemikian rupa hingga memudahkan rakyat memenuhi berbagai keperluannya. Bahkan yang fenomenal pada masanya, Khilafah Utsmani di bawah Abdul Hamid II membangun Hijaz Railway dan Baghdad Railway yang menghubungkan Istanbul, ibu kota Khilafah hingga Makkah, melewati Damaskus, Palestina, hingga Madinah. Tujuannya adalah memangkas waktu perjalanan ibadah haji dari beberapa bulan menjadi beberapa hari.

Khatimah

Jelas ada perbedaan diametral antara paradigma kepemimpinan sekuler kapitalisme dengan sistem kepemimpinan Islam. Penerapan sistem sekuler kapitalisme hanya berhasil memberi harapan kosong tentang kesejahteraan dan kebahagiaan. Kezaliman dan kerusakan justru terjadi secara sistemis dan struktural di berbagai bidang kehidupan. Sementara itu, sistem kepemimpinan Islam telah terbukti membawa kemaslahatan dan keberkahan bagi umat manusia selama belasan abad lamanya. [MNews/SNA]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *