[Editorial] Mimpi Zero Korupsi dalam Sistem Sekuler Demokrasi

[Editorial] Mimpi Zero Korupsi dalam Sistem Sekuler Demokrasi

Muslimah News, EDITORIAL — Baru-baru ini, Transparency International (TI) merilis hasil penilaian Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) 2022 bagi 180 negara di dunia. Kali ini, Indonesia memperoleh skor 34 dengan peringkat ke-110 dari seluruh negara yang dinilai.

Sejak empat tahun terakhir, skor IPK Indonesia memang selalu jeblok. Pada 2019, skor ada di angka 40 dengan peringkat ke-85 dari 180 negara. Lalu 2020 skornya anjlok menjadi 37 dengan peringkat jatuh menjadi ke-102. Sementara itu, pada 2021 skornya naik 1 poin menjadi 38 dengan peringkat ke-96. Lalu kembali melorot pada 2022.

IPK sendiri didefinisikan sebagai data indikator komposit yang digunakan untuk mengukur persepsi korupsi di sektor publik di berbagai negara di dunia. Skala penilaiannya adalah angka 0—100. Makin rendah skornya, tingkat korupsi berarti makin naik. Sebaliknya, makin besar nilai skornya, berarti korupsi makin minim. Skor 100 menunjukkan negara tersebut bebas dari korupsi.

Walhasil, dengan skor tersebut, Indonesia masih termasuk negara dengan korupsi cukup tinggi. Bahkan untuk kawasan regional Asia Tenggara, skor IPK Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia, Timor Leste, dan Vietnam. Di antara 11 negara ASEAN, Indonesia menempati peringkat ketujuh. Peringkat pertama diduduki oleh Singapura dengan skor 83.

PR Besar

Anjloknya skor IPK Indonesia mendapat tanggapan yang beragam. Ada yang menganggap naik turun penilaian ini sebagai sesuatu yang wajar. Namun, ada juga yang menganggapnya sebagai alarm bahaya yang mesti segera diselesaikan.

Terlebih penurunan skor 2022 ini merupakan penurunan paling drastis sejak TI melakukan penilaian IPK pada 1995. Sedangkan sepanjang masa itu, Indonesia tidak pernah mendapat skor baik. Skor tertinggi pernah diperoleh Indonesia pada 2019, itu pun dengan IPK hanya 40.

Ini semua menunjukkan Indonesia masih punya PR besar terkait budaya korupsi. Nyaris semua rezim pemerintahan, termasuk pada era reformasi, gagal melakukan upaya pemberantasan korupsi, terutama korupsi politik, sejalan dengan kian menguatnya cengkeraman korporatokrasi di dunia politik.

Sebagaimana dimaklumi, nyaris semua bidang kekuasaan di negeri ini telah dikuasai atau disetir para pebisnis dan pejabat yang menyambi sebagai makelar proyek. Akibatnya, berbagai kebijakan dan perundang-undangan yang dikeluarkan sarat dengan konflik kepentingan yang ujung-ujungnya menguntungkan para pemilik modal.

Inilah salah satu pemicu maraknya berbagai kasus korupsi di negeri ini. Di antaranya bahkan terkategori megaskandal yang merugikan keuangan negara hingga ratusan triliun rupiah.

Dalam catatan Kejaksaan Agung RI, kerugian negara akibat perkara korupsi yang berhasil ditangani mencapai Rp144,2 triliun dan USD61.948.551. Di antaranya berasal dari kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO), korupsi pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia, korupsi PT Duta Palma Nusantara, dan lain-lain. Adapun yang belum terungkap dipastikan jauh lebih banyak lagi.

Terbukti hingga saat ini, kasus OTT yang melibatkan pejabat, baik yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif hingga yudikatif terus saja bermunculan. Tidak terkecuali kasus-kasus yang melibatkan aparat penegak hukum, bahkan pun mereka yang duduk di lembaga KPK yang sejatinya merupakan lembaga pemberantas praktik rasuah.

Bahkan budaya korupsi sudah mewabah dari level atas hingga bawah. Suap menyuap, mark up, fee proyek, perjalanan dinas, mafia kasus, dan sejenisnya, menjadi kian lumrah. Sampai-sampai, untuk mendapatkan sebagian layanan publik pun tidak lepas dari uang pelicin agar bisa kelar secepatnya.

Wajar jika mimpi memberangus korupsi seakan kian jauh dari harapan. Konsep trias politika yang diyakini mampu mencegah perilaku tiran dan korup pada kekuasaan politik demokrasi nyatanya cuma jadi teori tanpa arti. Aparat hukum yang diharapkan bisa mencegah pelanggaran, malah tidak luput jadi bagian kerusakan.

Problem Global

Indonesia memang tidak sendirian menghadapi problem korupsi. Budaya korupsi sejatinya telah menjadi problem global yang dihadapi mayoritas negara-negara yang ada di dunia. Studi yang dilakukan TI menyebutkan, sejak 2017 sekitar 95% negara hanya membuat sedikit atau bahkan tidak ada kemajuan dalam upaya melawan korupsi. Artinya, korupsi masih menjadi problem utama di hampir semua penjuru bumi.

Eropa Timur bahkan dipandang sedang mengalami titik terendah akibat merajalelanya kasus-kasus korupsi. Tidak terkecuali Rusia, juga negara-negara yang kini sedang terlibat konflik politik. Semuanya sangat rentan akan ancaman korupsi, mengingat akuntabilitas pemerintahan yang menurun drastis.

Adapun kelompok yang dinilai bersih dari korupsi, diwakili oleh negara semisal Denmark, Finlandia, Selandia Baru, Singapura, Swiss, dan Belanda. Tidak dimungkiri, tingkat kesejahteraan materi dan integritas penegakkan hukum di negara-negara tersebut, memang dikenal sangat tinggi.

Hanya saja, bukan berarti negara-negara tersebut aman dari ancaman korupsi, atau punya komitmen dalam pemberantasan tindak korupsi. Beberapa negara di antaranya justru sedang mengalami penurunan dalam hal pencegahan dan penindakan korupsi. Terutama, terkait munculnya berbagai skandal pelanggaran yang dilakukan pejabat publik, menguatnya lobi-lobi politik, serta menurunnya sistem integritas politik.

Singapura yang dikenal tidak toleran terhadap pelaku korupsi, nyatanya dikenal sebagai tempat pelarian bahkan surga bagi buron pelaku korupsi. Begitu pun dengan Swiss, sejak lama bank-bank yang ada di sana dikenal sebagai tempat terbaik untuk menyimpan harta hasil korupsi. Dengan begitu, sejatinya tidak ada satu pun negara yang serius memberangus korupsi di muka bumi.

Butuh Sistem Antikorupsi

Lepas dari itu semua, korupsi memang merupakan kejahatan serius yang harus menjadi perhatian kita semua. Korupsi bisa membahayakan kehidupan masyarakat banyak, mengganggu keberlangsungan pembangunan, termasuk menyebabkan terhambatnya layanan publik. Bahkan, pada taraf tertentu, banyaknya kasus-kasus korupsi bisa memicu instabilitas politik dan ekonomi sebuah negara akibat menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Munculnya gerakan global melawan korupsi sejatinya merupakan pengakuan bahwa ada yang salah dengan sistem kehidupan yang diterapkan secara global ini. Betapa tidak, sistem ini tegak di atas landasan kebebasan dan sekularisme yang menafikan halal haram.

Dalam aspek ekonomi, misalnya, penerapan sistem kapitalisme global telah menumbuhsuburkan praktik persaingan tanpa batas dan memicu ketidakadilan, gap sosial, serta berbagai kezaliman. Kekuasaan dalam sistem ini bahkan menjadi alat untuk meraih materi sebanyak-banyaknya hingga menjadi ajang rebutan para pemilik modal.

Kepemimpinan dalam sistem ini tidak lagi dimaknai sebagai amanah dan pertanggungjawaban, tetapi hanya menjadi alat mewujudkan kepentingan. Tidak heran jika sistem politik hari ini begitu mengagungkan iklan dan pencitraan hingga untuk menjadi politisi membutuhkan biaya super mahal.

Bahkan, dalam sistem ini, transaksi politik berkelindan dengan transaksi bisnis hingga celah korupsi terbuka begitu lebar. Jangan tanya soal ketakwaan atau aspek moral individual karena dalam sistem ini negara abai soal keduanya.

 Tambahan lagi, tidak ada sanksi yang menjerakan karena sistem sanksi pun dibuat oleh manusia dengan berbagai kepentingan. Sementara itu, penegakannya bertumpu pada individu-individu yang sudah disekulerkan hingga hukum pun bisa diperjualbelikan dan koruptor bisa bebas berkeliaran.

Oleh karenanya, perlu ada koreksi mendasar atas tata kehidupan sekarang, berikut aturan-aturan hidup yang ditegakkan. Tawaran terbaik tentu datang dari Islam yang tegak di atas paradigma yang benar, karena datang dari Zat Yang Maha Benar. Paradigma ini tidak lain adalah akidah Islam yang memancarkan berbagai aturan yang bukan hanya kuratif mengatasi persoalan, tetapi secara preventif, menutup rapat celah berbagai kecurangan.

Jalan Islam

Terkait korupsi, Islam punya beberapa lapis pagar. Pertama, dimulai dari asas kekuasaan dan kepemimpinan. Islam menetapkan keduanya harus tegak di atas landasan keimanan kepada Allah Swt.. Konsekuensinya, kekuasaan dan kepemimpinan hanya berfungsi untuk menegakkan aturan-aturan Islam, bukan untuk mengejar materi atau kepentingan.

Adapun perannya adalah menjaga dan melayani umat, bukan dijaga dan dilayani. Dengan begitu, tidak akan ada fenomena rebutan kekuasaan yang berorientasi duniawi, karena kepemimpinan adalah amanah berat berdimensi ukhrawi. Dengan demikian, di lapis ini, celah korupsi tidak ada lagi.

Pagar kedua, penerapan aturan Islam sebagai konsekuensi iman, baik oleh pemimpin maupun rakyatnya, termasuk oleh semua aparat penegak hukum. Jaminan zero korupsi ini berangkat dari aturan Islam yang begitu komplit dan sempurna, meliputi seluruh aspek kehidupan, mulai dari politik, ekonomi, keuangan, sosial, hukum dan sanksi, hankam, dan sebagainya.

Penerapannya dipastikan membawa kebaikan, berupa jaminan kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki hingga orang per orang, bukan secara agregat atau rata-rata seperti dalam sistem sekarang. Pengaturan kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, misalnya, membuat rakyat begitu mudah memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Bahkan, berbagai layanan publik bisa mereka akses secara gratis dengan birokrasi yang memudahkan. Sistem penggajian pegawai, aparat, dan pejabat pun benar-benar memadai. Hal ini sejalan dengan paradigma kepemimpinan Islam seperti dijelaskan tadi hingga taraf kehidupan masyarakat Islam terkenal begitu tinggi.

Penyimpangan memang dimungkinkan terjadi. Namun, penerapan aturan Islam secara paripurna, termasuk sistem sanksi Islam yang dikenal sangat berat, menjadikan penyimpangan tersebut minimal sekali. Mereka yang berpotensi curang atau kriminal akan berpikir seribu kali untuk melakukan penyimpangan ketika tahu konsekuensi yang akan terjadi. Walhasil, penerapan sistem sanksi Islam ini menjadi lapis ketiga yang menutup celah pintu tindak korupsi.

Namun, lebih dari itu semua, lapisan pagar utama sejatinya tegak oleh individu-individu, baik dalam posisi sebagai pemimpin maupun yang dipimpin. Tidak lain berupa lekatnya ketakwaan yang dikondisikan oleh sistem kemasyarakatan dan budaya amar makruf nahi mungkar sebagai wujud kontrol sosial.

Dengan prinsip ini, peradaban dalam masyarakat Islam sarat dengan nilai-nilai kebaikan, seperti sifat kanaah dan takut melakukan kemaksiatan. Tidak seperti peradaban sekuler yang menempatkan materi sebagai puncak kebahagiaan tertinggi.

Adapun keberadaan lembaga pengawas bersama sistem pengawasannya dalam negara Islam memang dimungkinkan, sebagaimana pernah ditegakkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra.. Beliau pernah menunjuk Muhammad bin Maslamah sebagai auditor kekayaan pejabat sebagai salah satu bentuk tanggung jawab menjaga rakyatnya. Beliau pun menerapkan sistem pembuktian terbalik untuk memastikan pertambahan kekayaan pejabat hingga akhir jabatannya bukan berasal dari tindakan curang.

Khatimah

Inilah gambaran singkat cara Islam mengeliminasi tindak korupsi. Penerapan Islam yang bertumpu pada ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan penegakan syariat secara konsisten oleh negara, insyaallah akan menjadi jaminan terwujudnya kebaikan di seluruh sisi kehidupan sebagaimana kita harapkan. [MNews/SNA]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *