Kasus Diabetes Anak Melonjak, Sistem Keamanan Pangan dan Dunia Kesehatan Anak Terkoyak

Kasus Diabetes Anak Melonjak, Sistem Keamanan Pangan dan Dunia Kesehatan Anak Terkoyak

Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.

Muslimah News, OPINI — Masih lekat jejak digital kasus gagal ginjal akut pada anak dan makanan fenomenal “ciki ngebul”, kita harus kembali terhenyak dengan melonjaknya kasus diabetes anak.

Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kasus diabetes pada anak melonjak drastis sampai 70 kali lipat pada 2023, jika dibandingkan pada 2010. Prevalensi kasus pada Januari 2023 adalah 2 per 100.000 jiwa. Sebagai pembanding, prevalensi pada 2010 sebesar 0,028 per 100.000 jiwa dan 0,004 per 100.000 jiwa pada 2000. (Kompas, 3-2-2023).

Tidak pelak, dunia kesehatan anak beserta sistem keamanan pangan ibarat menuju titik nadir. Bagaimanapun, saat ini perannya dalam penjagaan kualitas generasi turut terkoyak.

Mother of All Disease

Perihal ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, diabetes merupakan mother of all diseases ‘ibu dari segala penyakit’ karena diabetes bisa memicu penyakit kronis lainnya. Budi juga menyebutkan, diabetes yang tidak dirawat bisa menjalar menjadi strok, gagal ginjal, bahkan penyakit jantung.

Berdasarkan data, penderita diabetes di Indonesia saat ini mencapai 13% total penduduk sekitar 270 juta, jumlah tersebut setara dengan 35 juta jiwa. Berdasarkan usia, sebaran kasus diabetes pada anak yang paling tinggi berada pada usia 10—14 tahun dengan porsi 46,23%. Selanjutnya, usia 5—9 tahun sebesar 31,05%, usia 0—4 tahun sebanyak 19%, dan usia lebih dari 14 tahun sebesar 3%.

Berdasarkan jenis kelamin, sebaran kasus diabetes pada anak lebih banyak didominasi oleh perempuan dengan persentase 59,3% dan laki-laki 40,7%. Jika dikalkulasikan, semua persentase tersebut bukanlah angka yang sedikit.

Oleh karena itu, sebagai pencegahan, Budi mengimbau agar tidak terlalu banyak makan makanan yang mengandung gula. Selain itu ditambah olahraga fisik minimal 30 menit sehari selama 5 kali dalam seminggu.

Penyakit Degeneratif Menjamur

Mencermati pernyataan Menkes, penyakit diabetes pada anak ini muncul bukan semata karena keturunan, melainkan karena kesalahan pola makan/konsumsi. Diabetes anak hanyalah puncak gunung es. Penyakit tersebut tidak sendiri. Penyakit degeneratif lainnya turut menjamur.

Setelah beberapa waktu lalu, muncul gagal ginjal akut (GGA) pada anak, saat ini kasus kanker anak juga mengancam. Menurut data, leukemia merupakan jenis kanker yang paling banyak menyerang anak-anak. Di Indonesia, jumlah penderita leukemia mencapai 14,2 per 100.000 orang.

Parahnya, kanker anak ini berbeda dengan kasus kanker pada orang dewasa karena kanker anak ternyata tidak dapat dicegah. Ketua Unit Kerja Koordinator Hematologi Onkologi IDAI dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A.(K) pun mengingatkan agar pola hidup dan makan makanan yang sehat harus tetap diajarkan sejak anak-anak sehingga dapat terhindar dari berbagai jenis kanker yang timbul pada usia dewasa. Ini masih belum pendetailan data pada seluruh penyakit degeneratif—khususnya pada anak—secara satu per satu.

Kontraproduksi Impor Gula

Namun demikian, kita juga harus menyadari bahwa gula adalah komoditas pangan strategis. Impor gula menunjukkan bangsa kita memiliki ketergantungan tinggi terhadap gula. Kuotanya pun meningkat seiring bertambahnya industri-industri mamin (makanan dan minuman) tiap tahunnya. Berdasarkan data dari Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI), stok gula rafinasi di dalam negeri tinggal 30.000 ton hingga akhir tahun 2022.

Sebagaimana kita ketahui, bahan baku untuk produksi gula rafinasi adalah gula kristal mentah yang selama ini stok produksi dalam negeri dianggap tidak mampu memenuhi. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat kebutuhan gula di dalam negeri pada 2022 mencapai sekitar 6,48 juta ton yang terdiri atas 3,21 juta ton gula kristal putih (GKP) dan 3,27 juta ton gula kristal rafinasi (GKR). Dari jumlah total tersebut (6,48 juta ton), produksi nasional hanya mampu memenuhi 2,2 juta ton per tahun. Akibatnya, ada defisit gula sebesar 3,8 juta ton yang diklaim harus dipenuhi dari impor.

Akhirnya per Januari 2023, pemerintah memutuskan akan mengimpor 4.641.000 ton gula. Rincian volume impornya meliputi 991.000 ton gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi; gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri mamin sebanyak 3,6 juta ton; serta 50.000 ton lagi gula untuk kebutuhan khusus.

Tidak pelak, kondisi ini menunjukkan bahwa impor gula dianggap satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan industri mamin di dalam negeri. Hanya saja, kondisi ini juga kontraproduktif dengan melonjaknya kasus diabetes anak. Pasalnya, anak-anak pasti suka makanan/minuman manis. Pada saat keran impor gula dianggap mustahil berhenti, sejatinya di sisi lain juga akan timbul bencana kesehatan, khususnya pada anak-anak. Namun apalah daya, dalam sistem ekonomi kapitalisme, tentu kepentingan kapitalis yang lebih diutamakan.

Cukai Minuman Manis

Lebih ironis lagi, Presiden Jokowi menerbitkan aturan mengenai perincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2023, di antaranya berisi target penerimaan cukai dari plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Hal ini tercantum dalam Perpres No. 130/2022 tentang Perincian APBN Tahun Anggaran 2023 yang ditetapkan dan ditandatangani oleh Jokowi pada 30-11-2022.

Jokowi mematok target penerimaan perpajakan 2023 senilai Rp2.021,2 triliun. Penerimaan itu terdiri dari pendapatan pajak serta pendapatan bea dan cukai, dengan lebih dari 30 pos pendapatan. Untuk cukai minuman bergula dalam kemasan ditargetkan sebesar Rp3,08 triliun. Jumlah ini meningkat dibandingkan target 2022 yang besarnya Rp1,5 triliun. Namun sejak 2022, pengenaan cukai tersebut belum berlaku sehingga pendapatannya masih nihil.

Mencermati hal ini, jelas tidak cukup upaya pencegahan diabetes pada anak hanya sebatas himbauan untuk menghindari makanan/minuman manis dan olahraga. Realitasnya, impor gula dan bisnis produk pangan bergula menjadi lahan subur di negeri kapitalis ini. Renten impor maupun cuan produk pangan manis tentu saja terlalu menggiurkan untuk diabaikan.

Halal dan Tayib, Butuh Dukungan Sistemis

Allah Taala berfirman, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (tayib) dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 168).

Ini adalah panduan mutlak bagi konsumsi bahan pangan bagi seluruh manusia. Namun dalam Islam, perintah untuk makan makanan/minuman halal dan tayib tidak berdiri sendiri. Melainkan disertai oleh pengurusan oleh negara secara sistemis dalam rangka menjaga kualitas generasi yang sehat dan kuat.

Allah Taala juga berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An-Nisa [4]: 9).

Rasulullah saw. juga bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan.” (HR Muslim).

Akan tetapi, bagaimana anak-anak tidak terkena diabetes dini jika aturan yang diterapkan penguasa justru mendukung impor gula dan cukai minuman manis bahkan menjadikannya pos strategis bagi APBN? Padahal, kita tahu mayoritas anak menyukai makanan/minuman manis.

Sebagian besar produk makanan/minuman anak-anak pun rasanya manis. Secara fisiologis pun tubuh manusia khususnya anak-anak paling cepat menyerap glukosa. Semua ini jelas kontraproduktif karena aturan yang diterbitkan malah menyalahi implikasi yang timbul dari penerbitan aturan tersebut. Astagfirullah.

Khatimah

Kapitalisme lagi-lagi menuai bumerang sehingga memang tidak selayaknya dibela, alih-alih dipertahankan dan diperjuangkan. Kezaliman demi kezaliman terhadap semua manusia kian terang benderang. Tidak hanya racun pemikiran, kapitalisme juga menghasilkan racun pada makanan yang dikonsumsi manusia yang selanjutnya berwujud penyakit degeneratif. Terlebih jika yang mengonsumsi adalah anak-anak, ini jelas penghancuran generasi sejak dini yang tidak bisa kita biarkan lagi. Wallahualam bissawab. [MNews/Gz]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *