Polemik Bea Cukai, Fenomena “Pemalakan Legal” oleh Negara?

Polemik Bea Cukai, Fenomena “Pemalakan Legal” oleh Negara?

Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.

Muslimah News, OPINI — Beberapa waktu lalu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu menuai kritik dari warganet di media sosial. Hal itu terjadi setelah beberapa orang mengaku dikenai bea masuk atau pajak atas kiriman barang dari luar negeri hingga ratusan juta rupiah.

Sejumlah kasus yang sempat viral di antaranya pengiriman sepatu berharga Rp10 juta yang kena pajak Rp30 juta, pengiriman action figure, dan hibah alat pembelajaran tunanetra dari perusahaan Korea Selatan untuk sebuah sekolah luar biasa (SLB) di Jakarta yang dikenai bea masuk sebesar Rp361 juta.

Akibatnya, akun media sosial Bea Cukai pun diserang warganet dengan menyebutnya sebagai “tukang palak berseragam” dan “mafia terhormat”. Selain mengeluhkan kinerja dan pelayanan, mereka membandingkan dengan instansi lain di Indonesia, yakni Damkar dan TNI yang mereka nyatakan sebagai instansi yang dicintai rakyat. (Tempo, 29-4-2024).

Tanggapan Sri Mulyani

Terkait berbagai keluhan yang diterima DJBC, Menkeu Sri Mulyani Indrawati pun buka suara. Ia mengaku sudah meminta lembaga tersebut untuk terus memperbaiki pelayanan dan mendengarkan masukan masyarakat. Ia juga menjelaskan bahwa tugas DJBC terdiri dari empat hal, yaitu revenue collector (menghimpun pendapatan dari bea masuk atau pajak), trade facilitator (fasilitator perdagangan), industrial assistance (mendukung industri dalam negeri), dan community protector (menjaga masyarakat).

Ia pun menginstruksikan DJBC untuk terus bekerja sama dengan para pemangku kebijakan. Ia sangat menghargai dan berterima kasih atas masukan yang diberikan untuk memperbaiki kinerja DJBC. Ia menekankan agar DJBC harus terus berkomunikasi, mengedukasi, dan menjelaskan bahwa DJBC melakukan banyak peraturan yang merupakan aturan dari berbagai kementerian atau lembaga. Menurutnya, ini memang sebuah tugas rumit, yang kadang mengganggu kenyamanan masyarakat, tetapi dengan tujuan untuk menjaga perekonomian Indonesia.

Meski demikian, ada benang merah yang bisa kita tarik dari pernyataan Sri Mulyani tersebut. Faktanya, bea cukai adalah salah satu sumber APBN. Dengan kata lain, sejatinya bea cukai memang telah menjadi “instrumen pemalakan” terhadap rakyat.

Revisi Permendag 36/2023

Di antara penyebab polemik bea cukai ini berawal dari keberadaan Permendag 36/2023 yang diklaim mengancam sejumlah komoditas impor yang Indonesia butuhkan. Mengutip laman resmi Kemendag (30-4-2024), Mendag Zulkifli Hasan mengatakan bahwa revisi Permendag 36/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor telah selesai. Diketahui, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto dalam keterangan resminya menyatakan bahwa DJBC turut mendukung penuh revisi Permendag 36/2023 tersebut.

Zulkifli menyebutkan, Permendag 36/2023 kini telah berganti menjadi Permendag 7/2024. Revisi tersebut mengubah tiga poin utama pada peraturan sebelumnya, yakni barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI), aturan larangan dan pembatasan (lartas) impor barang serta barang bawaan penumpang dari luar negeri.

Dalam Permendag 7/2024 terdapat beberapa komoditas yang tidak lagi masuk dalam lartas impor seperti premiks fortifikan atau bahan penolong tepung terigu, bahan baku industri, pelumas dan lainnya. Namun demikian, ia menyampaikan, barang-barang seperti komputer, ponsel ataupun gawai lainnya tetap mendapat pembatasan impor, khususnya pada bawaan penumpang dari luar negeri.

Terkait dengan barang kiriman PMI, Permendag 7/2024 tidak lagi mengatur daftar jenis dan jumlah barang kiriman, asalkan sesuai ketentuan nilai barang yang ditetapkan, yakni 1.500 dolar AS per tahun per PMI. Sementara untuk barang bawaan penumpang luar negeri, aturannya akan ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK), khususnya perihal ketentuan barang yang bebas bea masuk dan pajak.

Sumber APBN

Dalam APBN kita saat ini, bea cukai turut berkontribusi melalui pendapatan negara berupa penerimaan bea masuk, bea keluar, dan cukai. Sampai dengan Agustus 2023, penerimaan kepabeanan dan cukai masih menunjukkan kinerja yang terjaga baik, sebesar Rp171,57 triliun, meskipun terdapat penurunan 16,8% (yoy). Penurunan ini disebabkan oleh penerimaan bea keluar dan cukai yang sempat melambat.

Berdasarkan perinciannya, bea keluar terkumpul Rp6,84 triliun, atau turun 80,27% (yoy) karena penurunan harga CPO, kebijakan flush out 2022, dan volume ekspor mineral. Adapun cukai terkumpul sebesar Rp131,81 triliun, atau turun 5,58% (yoy) karena penurunan produksi rokok golongan I yang menyebabkan penurunan penerimaan hasil tembakau.

Sementara itu, penerimaan bea masuk tetap positif, yaitu sebesar Rp32,92 triliun, atau naik 3,01% (yoy), yang didukung kenaikan tarif efektif dan menguatnya kurs USD volume ekspor mineral. Sebagai informasi pula, penerimaan Bea Cukai kita sampai dengan Maret 2024 telah mencapai 21,5% dari target, yaitu sebesar Rp69 triliun.

Selain berkontribusi dalam mengumpulkan penerimaan negara, mengutip laman resmi Bea Cukai (26-9-2023), instansi tersebut terus berupaya mendukung investasi dan UMKM. Pemerintah, melalui Bea Cukai, hingga Agustus 2023 telah memberikan insentif kepabeanan sejumlah Rp20.130 miliar dan fasilitas penanaman modal Rp4,770 miliar. Untuk pemberdayaan UMKM, instansi ini tengah membina 3.941 UMKM, dengan 810 di antaranya telah berhasil melaksanakan ekspor.

Pajak dan Bea Cukai dalam Paradigma Islam

Dalam paradigma sistem ekonomi kapitalisme, bea cukai diposisikan sama dengan pajak, bahkan sama-sama menjadi sumber utama APBN. Tidak heran, penampilan bea cukai dan pajak tidak ubahnya lahan bisnis penguasa terhadap rakyatnya. Pantaslah jika kedua instansi yang bersangkutan disebut instansi “pemalakan legal” atas rakyat.

Fenomena ini bisa kita katakan ironi karena saat ini tingkat inflasi sedang tinggi, sedangkan sektor-sektor publik, seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan migas juga sarat kapitalisasi. Ini menggambarkan hubungan rakyat dengan penguasa benar-benar seperti penjual dan pembeli. Jika sektor pajak dan bea cukai juga lantas menjadi andalan penguasa untuk mengisi kas APBN, “pemalakan legal” tadi justru bisa lebih parah, yakni menjadi perampokan harta rakyat oleh negara.

Sebaliknya, dalam sistem ekonomi Islam, sejatinya terdapat perbedaan antara posisi pajak dengan bea cukai dalam postur penerimaan negara, begitu pula tata cara pemungutannya. Namun, porsinya bukanlah sebagai sumber utama kas negara karena masih ada jalur lain yang menjadi pemasukan kas negara (Khilafah), yakni zakat, ganimah, fai, kharaj, usyr, jizyah, khumus, rikaz, serta tambang.

Pada saat yang sama, sektor-sektor publik dalam Khilafah bersifat memudahkan dan menyejahterakan rakyat, serta bisa gratis karena dikelola berdasarkan mandat kekuasaan yang mengurusi urusan umat. Dengan kata lain, ini menegaskan bahwa hubungan penguasa dengan rakyat di dalam Khilafah tidak menurut paradigma bisnis.

Dalam Islam, bukannya tidak ada pajak (dharibah). Hanya saja, sumber-sumber pendapatan yang telah ditetapkan syariat untuk baitulmal (kas negara) tadi sudah cukup untuk mengatur urusan rakyat dan melayani kepentingan mereka, tanpa harus mengandalkan pajak. Pajak juga bukan harta yang diwajibkan oleh Allah atas kaum muslim dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.

Dengan begitu, Khilafah tidak perlu mewajibkan pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika pemungutan pajak terjadi dalam Khilafah, sifatnya benar-benar kondisional, yakni saat kas negara kosong, dan hanya dikenakan kepada orang kaya.

Sementara itu, bea cukai, dalam Islam penyebutannya hanya cukai (maks), yakni harta yang diambil dari komoditas yang melewati perbatasan negara, baik keluar maupun masuk. Keberadaan cukai juga bukan dalam rangka negara mengumpulkan harta, melainkan sebagai kebijakan politik dalam muamalah demi kepentingan kaum muslim.

Dalam Khilafah, pemungutan bea masuk perdagangan disesuaikan dengan perbedaan pelaku bisnisnya, bukan komoditasnya. Jika pelaku bisnisnya adalah rakyat, baik muslim maupun kafir zimi, komoditas mereka tidak dikenai pungutan apa pun. Kondisi ini berlaku bagi komoditas tersebut masuk ke wilayah Khilafah maupun keluar ke wilayah dar kufur, dengan syarat komoditas tersebut bukan untuk membantu mereka melawan kaum muslim. Untuk diketahui, status dar kufur ini adalah yang secara de jure (secara hukum) memerangi kaum muslim, bukan secara de facto (secara fakta) sebagaimana 15r43l sehingga haram menjalin hubungan perdagangan dengannya.

Selanjutnya, jika pelaku bisnisnya adalah kafir muwahid, mereka akan dikenai cukai sesuai dengan isi naskah perjanjian negeri mereka dengan Khilafah. Sedangkan untuk pelaku bisnis dari negara kafir harbi, Khilafah akan memungut cukai dari mereka sesuai/sejumlah yang negara mereka pungut dari para pelaku bisnis warga Khilafah.

Namun demikian, cukai yang dipungut dari kafir harbi ini mengikuti ketentuan kepentingan Khilafah. Artinya, pemungutan itu bisa diberlakukan, baik dalam nominal yang sedikit maupun banyak, atau malah dibebaskan. Hanya saja dengan catatan, nominal tersebut tidak boleh melebihi jumlah yang negara kafir harbi itu pungut dari pelaku bisnis warga Khilafah. Wallahualam bissawab. [MNews/Gz]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *