Cakupan Vasektomi Kurang karena Budaya Patriarki, Benarkah?

Cakupan Vasektomi Kurang karena Budaya Patriarki, Benarkah?

Penulis: Juanmartin, M.Kes.

Muslimah News, OPINI — Kampanye mengenai KB pria atau vasektomi menjadi perbincangan belakangan ini. Hingga beberapa tahun setelah pencanangannya, cakupan vasektomi masih terbilang kurang. Rendahnya cakupan ini membuat sejumlah pihak menganalisis penyebabnya. Bagi kalangan feminis, realitas ini menjadi ruang untuk menggulirkan opini kesetaraan.

Mereka berasumsi bahwa budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat menjadi penyebab kaum pria tidak melakukan KB. Bagi mereka, ini menyuguhkan fakta betapa perempuan masih tertindas. Pengaturan jarak kelahiran hanya dibebankan kepada perempuan, sedangkan kaum pria tidak. Benarkah asumsi ini? Bagaimana pandangan Islam mengenai peran suami dan istri dalam mengatur keluarga, termasuk jarak kelahiran?

Menelaah Faktor Sosial

Masyarakat ibarat sebuah lanskap sosial dengan beragam kompleksitasnya. Norma, nilai, agama, hingga kepercayaan kerap disebut sebagai penopang dalam hidup bermasyarakat. Keputusan dalam bertindak kerap merujuk pada faktor-faktor tersebut.

Masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam memiliki pandangan khas mengenai jumlah anak yang mereka dambakan dalam ikatan pernikahan. Oleh karenanya, rantai kritik kaum feminis saat menyoroti relasi suami-istri tidak pernah lepas dari aspek ajaran agama.

Bagi pejuang feminis, agama—khususnya syariat Islam—dianggap kerap merecoki upaya untuk merealisasikan kesetaraan. Terlebih lagi, syariat Islam dengan sejumlah hukumnya telah mendudukkan laki-laki pada posisi superior atas perempuan. Untuk mendukung asumsinya, pejuang feminis berdalih dengan ayat maupun hadis seraya menerapkan metodologi yang justru jauh dari kultur berpikir sahih ala Islam. Alih-alih sejalan dengan syariat, kesimpulan yang mereka peroleh justru kerap jauh dari syariat.

Kompleksitas masyarakat ini seharusnya menjadi sebab pentingnya standardisasi hukum yang memahami fitrah manusia. Tentu saja, agama adalah rujukan tertinggi manusia dalam bertindak. Agamalah yang menjadi spirit norma maupun nilai yang berkembang di masyarakat. Teks suci (Al-Qur’an) bukanlah doktrin, tetapi kalam Allah yang mengarahkan perbuatan manusia.

Dalam Islam, konsekuensi keimanan adalah menjadikan aturan Sang Pencipta sebagai referensi dalam bertindak, dengan rida dan kepatuhan. Ini adalah realisasi penghambaan, bukan keterpaksaan.

Logika Feminis

Bagi pejuang kesetaraan (gender equality), pemicu atas masalah kekerasan terhadap perempuan adalah ketimpangan peran antara laki-laki dan perempuan. Budaya patriarki telah memosisikan superioritas laki-laki atas perempuan. Menurut mereka, peran perempuan yang melulu berkiprah di sektor domestik turut berkontribusi memicu kekerasan pada perempuan.

Untuk itulah feminis senantiasa hadir dan memunculkan sensitivitas gender di setiap isu, termasuk dalam program KB. Penetapan kebijakan yang tidak bias gender adalah bagian dari isu yang mengiringi perjuangan kaum feminis.

Jika kita menelaah secara jernih, Islam sesungguhnya memiliki tuntunan bagaimana merealisasikan keluarga berencana. Hanya saja, sikap emosional yang menonjol pada pejuang feminis membuat mereka membingkai syariat berdasarkan perasaan. Ini berujung pada penafsiran-penafsiran ayat-ayat Allah yang mengikuti kehendak manusia, sesuai zamannya.

Sementara itu, dalam bingkai syariat, keluarga dituntut untuk merencanakan bagaimana menggapai kebahagiaan dunia, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan di akhirat kelak bersama seluruh anggota keluarga.

Lantas, bagaimana Islam memberikan tuntunan khas bagi suami istri dalam mengatur rumah tangga, termasuk dalam merencanakan jarak kelahiran?

Perspektif Islam

Salah satu ulama kontemporer, K.H. Shiddiq al-Jawi menjelaskan bahwa KB dapat dipahami sebagai aktivitas individual untuk mencegah kehamilan (man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana (alat). Misalnya dengan kondom, IUD, pil KB, dan sebagainya. KB juga dikenal dengan istilah tanzhim an-nasl atau pengaturan kelahiran.

Hukum KB dalam arti tahdid an-nasl (pembatasan kelahiran), yaitu sebagai sebuah program nasional untuk membatasi jumlah populasi penduduk (tahdid an-nasl), hukumnya haram. Tidak boleh ada sama sekali ada suatu undang-undang atau peraturan pemerintah yang membatasi jumlah anak dalam sebuah keluarga (Lihat Prof. Ali Ahmad as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah a-Mu’ashirah, [Mesir: Daruts Tsaqafah – Maktabah Darul Qur’an], 2002, hal. 53).

Adapun hukum KB dalam arti tanzhim an-nasl (pengaturan kelahiran), yaitu aktivitas yang individu masyarakat jalankan (bukan dijalankan karena program negara) untuk mencegah kelahiran (man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana, hukumnya mubah, bagaimanapun juga motifnya (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, hlm. 148).

Dalil kebolehannya antara lain hadis dari sahabat Jabir ra. yang berkata, ”Dahulu kami melakukan ‘azl (sanggama terputus) pada masa Rasulullah ﷺ sedangkan Al-Qur’an masih turun.” (HR Bukhari).

Hanya saja kebolehannya disyaratkan tidak adanya bahaya (dharar). Kaidah fikih menyebutkan: Adh-dhararu yuzaal (Segala bentuk bahaya haruslah dihilangkan) (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazha’ir fi al-Furu’, [Semarang: Maktabah Usaha Keluarga], hlm. 59).

Kebolehan pengaturan kelahiran juga terbatas pada pencegahan kehamilan yang bersifat temporal (sementara), misalnya dengan pil KB dan kondom. Adapun pencegahan kehamilan yang bersifat permanen (sterilisasi), seperti vasektomi atau tubektomi, hukumnya haram sebab Nabi ﷺ telah melarang pengebirian (al-ikhtisha’), sebagai teknik mencegah kehamilan secara permanen yang ada saat itu (Muttafaq ‘alaih, dari Sa’ad bin Abi Waqash ra.).

Atas dasar ini maka kita bisa mendudukkan isu vasektomi ini dalam dua kerangka masalah. Pertama, melihat pandangan syariat Islam mengenai hal ini. Kedua, melakukan tindakan konter opini atas asumsi feminis yang mendudukkan isu vasektomi untuk menggaungkan ide kesetaraan.

Islam sesungguhnya menempatkan perempuan dalam posisi mulia. Rahim yang Allah karuniakan pada perempuan adalah sebab tumbuhnya kasih sayang dan kekalnya cinta antara suami dan istri. Tidak ada unsur superioritas dalam hal ini karena Allah pun membebankan sejumlah kewajiban yang berat pada laki-laki.

Dengan kewajiban mereka masing-masing, Allah akan mengganjar pahala atas setiap ketaatan keduanya pada syariat. Islam tidak mengenal ide kesetaraan karena baik laki-laki maupun perempuan, keduanya adalah hamba yang mengemban sejumlah taklif dan akan Allah minta pertanggungjawaban di akhirat kelak. Wallahualam. [MNews/Rgl]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *