[Kabar] Akademisi: Kasus Pencatutan Nama Dosen Bukti Menguatnya Liberalisasi Pendidikan Tinggi

[Kabar] Akademisi: Kasus Pencatutan Nama Dosen Bukti Menguatnya Liberalisasi Pendidikan Tinggi

Muslimah News, NASIONAL — Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) Abdul Haris menyatakan pemerintah sedang menyelidiki dugaan seorang dosen Universitas Nasional (Unas) Jakarta yang mencatut nama dosen Universitas Malaysia Terengganu (UMT) dalam publikasi ilmiahnya.

Akademisi asal Yogyakarta Aridhanyati Arifin, S.T., M.Cs. menilai kasus ini serta kasus lain yang merusak nama perguruan tinggi menjadi bukti menguatnya liberalisasi pendidikan tinggi.

“Transaksi jual beli nilai, mendongkrak nilai, joki ujian, plagiasi tugas, plagiasi jurnal, pencatutan nama, mafia jurnal, menjadi bukti menguatnya liberalisasi pendidikan tinggi,” ungkapnya kepada MNews, Rabu (24-4-2024).

Menurutnya, liberalisasi inilah yang merusak iklim akademik sehingga jatuh hina menjadi ladang bisnis kejahatan. “Pendidikan tinggi yang semestinya menjadi tempat lahirnya intelektual calon pemimpin yang ber-akhalakul karimah, bertransformasi menjadi sekedar pencetak ijazah dan buruh terdidik yang siap kerja,” kritiknya.

Ia menjelaskan, liberalisasi pendidikan di Indonesia masuk seiring arus globalisasi dunia, bermula dari Indonesia yang bergabung dengan WTO dan meratifikasi GATS pada 1994. “Sejak saat itu, sektor pendidikan yang semula nirlaba, berubah menjadi jasa yang mencari laba,” imbuhnya.

Perubahan itu, lanjutnya, berdampak pada lahirnya kapitalisasi sektor pendidikan tinggi dengan ciri perubahan kurikulum yang berorientasi pasar yang makin liberal dan sekuler, makin tingginya biaya pendidikan tinggi, berubahnya relasi pemerintah terhadap pendidikan tinggi dalam skema penta helix yang intinya merupakan pelepasan tanggung jawab pemerintah, hingga hanya menjadi regulator semata.

“Namun, jauh sebelum 1994, sekularisme liberalisme telah lama masuk ke dalam dunia pendidikan kita. Pasca-Indonesia merdeka, nilai-nilai sekuler liberal yang menjunjung kebebasan diwariskan oleh penjajah Belanda, masuk ke dalam kurikulum pendidikan kita. Maka, bagaimana mungkin integritas akademisi dapat diharapkan dari paham yang mengusung pemisahan agama dari kehidupan?” ulasnya.

Refleksi Kekuatan Akidah

Ia lalu membandingkannya dengan Islam. “Islam memandang integritas seorang akademisi sebagai refleksi dari kekuatan akidahnya yang termanifestasi pada perilakunya,” ungkapnya.

Integritas seorang akademisi muslim, ucapnya, cerminan dari kepribadian Islam yang hadir dalam setiap aspek kehidupannya, bukan dalam kehidupan akademisnya saja. “Seseorang tidak akan diakui atau ditolak kealimannya (keahlian, kepakaran) dalam suatu bidang ilmu jika ia terbukti melanggar syariat Islam,” jelasnya.

Ia menambahkan, meskipun secara disiplin akademik, akademisi merupakan orang yang jujur dalam risetnya, amanah sebagai dosen, produktif publikasinya. “Tetapi jika ia menista agama atau menyimpang orientasi seksualnya, maka seluruh reputasinya berikut ilmu, kepakaran, keahliannya, tidak akan diakui,” jelasnya.

Hal ini ia sebut pernah terjadi pada masa peradaban Islam era kekhalifahan yang lalu, “Seorang intelektual muslim kehilangan legitimasi kepakarannya karena kemaksiatan yang dilakukannya,” ucapnya mencontohkan.

Sistem Kondusif

Menurutnya, lahirnya akademisi berintegritas tinggi membutuhkan hadirnya sistem yang kondusif dan peran negara. Sistem kondusif inilah yang menurutnya dapat menumbuhsumburkan para akademisi untuk menjadikan halal-haram sebagai standar perbuatannya sehingga ia selalu dalam ketakwaan.

“Sistem kondusif itu pun mampu mewujudkan iklim bagi para akademisi untuk menjadikan rida Allah sebagai tujuan hidup dan standar kebahagiaannya, bukan standar materi,” urainya.

Tugas menghadirkan sistem kondusif ini, jelasnya, tidak bisa dibebankan pada institusi perguruan tinggi, apalagi individu masing-masing, melainkan juga menjadi tugas negara. Negara bukan sekadar menjadi regulator, tetapi negara benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pengayom dan pengurus rakyat. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya,” jelasnya mengutip sabda Rasulullah (saw.).

Oleh karena itu, ucapnya, akademisi yang berintegritas tinggi dan istikamah tidak mungkin hadir di sistem sekuler seperti sekarang. Ia pun meyakinkan bahwa arus liberalisasi pendidikan tinggi yang menyebabkan akademisi berintegritas rendah hanya mungkin dihentikan jika negara ini mengadopsi sistem Islam. “Hanya sistem Islamlah yang kondusif melahirkan akademisi berintegritas tinggi,” ujarnya.

Sistem Islam yang komprehensif ini, sambungnya, menjamin pendidikan tinggi berada dalam tanggung jawab negara mulai dari penentuan visi misi pendidikan, profil akademisi lulusan, penyediaan tenaga pengajar, sarana prasarana, pembiayaan, dan arah riset, tidak akan diserahkan kepada pasar ataupun arus globalisasi.

“Sistem Islam juga menjamin kesejahteraan para akademisi. Sejarah Islam mencatat para khalifah setiap masa kekhalifahan Islam memberikan gaji fantastis kepada para dosen dan guru. Misalnya, Khalifah Umar bin Khaththab menggaji seorang guru sebesar 15 dinar (atau setara Rp86.085.960 menurut kurs emas per 20 April 2024, ed.) dan 1 dinar setara 4,25 gram emas,” paparnya.

Contoh lainnya, sebutnya, Khalifah al-Mutawakkil pada era Kekhalifahan Abbasiyyah yang menggaji seorang guru sebesar 50.000 dinar di luar gaji rutin sepanjang hidup, tempat tinggal, makanan, dan hadiah lainnya .

“Institusi pendidikan tinggi pada masa kekhalifahan fokus pada penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar tanpa konsentrasinya terpecah mengurusi pembiayaan pendidikan. Demikian pula para mahasiswa, fokus belajar tanpa diganggu masalah biaya maupun budaya pop liberal yang mendistorsi niat dan motivasi siswa,” bebernya.

Menurutnya, inilah yang membuat iklim pembelajaran dan riset menjadi kondusif, baik di kalangan dosen maupun mahasiswa sehingga tidak heran pada era peradaban Islam banyak inovasi ilmu dan penemuan-penemuan.

“Jadi, liberalisasi pendidikanlah yang merusak integritas akademisi. Solusi tuntasnya adalah menyetop liberalisasi pendidikan. Hanya sistem Islam yang mampu melahirkan akademisi berintegritas tinggi dan istikamah,” pungkasnya. [MNews/IA].

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *