[Kabar[ Aktivis: Kisah Heroik Islam Khalilov Tidak Mengubah Pandangan Negatif terhadap Islam

[Kabar[ Aktivis: Kisah Heroik Islam Khalilov Tidak Mengubah Pandangan Negatif terhadap Islam

Muslimah News, INTERNASIONAL — Penembakan massal di ruang teater Crocus City Hall Krasnogorsk, Oblast Moskwa, sebuah kota di tepi barat Moskwa yang terjadi akhir Maret lalu, telah menewaskan 144 orang dan lebih dari 360 penonton konser terluka.

Di tengah peristiwa penembakan itu, muncul kisah heroik anak sekolah yang menyelamatkan nyawa banyak orang. Siswa muslim asal Rusia, Islam Khalilov (15), mendapat pujian karena menyelamatkan banyak orang dari serangan itu.

Tidak Berubah

Hal itu pun ditanggapi oleh aktivis muslimah Iffah Ainur Rochmah. “Meski seorang pemuda muslim bernama Islam Khalilov dielu-elukan sebagai penyelamat, sebagai pahlawan, tetapi sebenarnya pandangan negatif dan pandangan bahwa Islam adalah sumber terorisme tetap tidak berubah,” tuturnya kepada MNews, Senin (15-4-2024).

Ia menambahkan, ini sama sekali tidak mengangkat citra Islam sebagai satu agama atau sebagai satu keyakinan yang berdampak positif di tengah masyarakat. Menurutnya, penembakan massal yang menewaskan banyak orang ini bukan yang pertama kalinya terjadi di Eropa dan dunia barat lainnya.

“Kita bisa saksikan bahwa berita-berita serupa itu banyak terjadi, baik di negara Eropa Barat, di Eropa Timur, di Australia, bahkan di Amerika. Dari data yang dikumpulkan, secara resmi di Amerika sehari bisa terjadi tiga kali penembakan massal,” bebernya.

Jumlah Senjata

Ia menerangkan, hasil penelitian dari seorang guru kriminologi Universitas Alabama Dr. Adam Lankford menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara penembakan yang terjadi dan jumlah senjata yang dimiliki oleh sebuah negara.

“Lankford hendak mengatakan makin banyak jumlah senjata api yang dimiliki oleh warga di sebuah negara, maka peluang terjadinya penembakan massal atau kasus-kasus sejenis itu akan lebih besar,” tambahnya.

Ia memperkuat penjelasannya itu dengan pernyataan para peneliti di Pusat Studi John Hopkins Centre for Gun Violence Solution bahwa kenaikan kepemilikan senjata api muncul di Amerika dan di negara-negara Barat karena pemikiran masyarakat bahwa memiliki senjata api membuat seseorang merasa aman.

“Artinya kepemilikan senjata api ini menjadi satu problem besar di Amerika,” urainya.

Ia kemudian mencontohkan, pada 2012 ketika penduduk Amerika itu masih sekitar 310 juta jiwa, kepemilikan senjata api sudah di atas 300 juta pucuk senjata.

“Hampir setiap orang di Amerika terhitung memiliki satu senjata api. Ini tentu saja anak-anak tidak dimasukkan dalam daftar yang memiliki senjata api, tetapi orang dewasanya berarti memiliki senjata api lebih dari satu,” tandasnya.

Motif Beragam

Motif pelaku penembakan massal juga bermacam-macam, ujarnya. Ada motif ekonomi, konflik antarpersonal, bahkan di beberapa penelitian dikatakan pada saat musim panas hawa atau cuaca yang sangat panas pun bisa memicu konflik antarindividu.

“Jadi, orang-orang di dunia Barat itu ternyata adalah orang-orang yang ‘sumbu pendek’, gampang tersulut amarahnya. Dan pada saat mereka memiliki senjata api, tersulutnya amarah itu berujung pada tindakan menghabisi nyawa lawan konfliknya,” terangnya.

Kasus lain, lanjutnya, penembakan massal juga terjadi karena masalah kejiwaan, seperti ada orang-orang yang berada dalam keputusasaan tidak mampu menyelesaikan problem hidupnya.

“Ada juga problem orientasi seksual yang menyimpang. Tersebab tidak mendapatkan apa yang dituju dalam hidupnya, mereka lalu melakukan tindakan brutal menghabisi nyawa orang lain, bahkan terjadi penembakan massal,” sedihnya.

Di samping motif-motif di atas, ia juga menyampaikan penembakan massal juga karena merebaknya islamofobia.

“Negara-negara Barat mengaku mereka sudah melakukan perang terhadap islamofobia, tetapi mereka tidak menghubungkan kasus-kasus penembakan massal akibat islamofobia itu masih terus terjadi. Apa yang mereka katakan sebagai perang melawan islamofobia itu hanya lip service, sekadar pemanis politik kepentingan mereka,” kritiknya.

Ia mencontohkan penembakan massal dengan motif islamofobia menjadi driver (pengantar, ed.) pada penembakan 2019.

“Ada dua masjid di Christchurch Selandia Baru yang diserang oleh seorang warga negara Australia yang memiliki paham radikal dan menewaskan 51 orang muslim yang sedang salat Jumat,” tuturnya.

Ia pun meyakini masih banyak kasus islamofobia menjadi pengantar terjadinya penembakan massal.

Sekuler Liberal

Menurutnya, kerusakan yang terjadi di dunia Barat, termasuk terjadinya penembakan massal, lahir dari karakter masyarakatnya yang liberal dan ideologi sekuler yang diadopsinya.

“Di masyarakat Barat yang sekuler bahkan liberal, membunuh manusia untuk mempertahankan diri atau untuk meraih kemaslahatan itu hal yang biasa, bahkan menjadi tradisi mereka dan disokong oleh ideologi dan tata aturan yang diterapkan di negara tersebut,” jelasnya.

Oleh karena itu, ia menampik anggapan bahwa komunitas muslim di negara-negara Barat sebagai biang terorisme, sumber kekacauan, bahkan penebar benih-benih radikalisme.

“Justru pemikiran dan peradaban Barat itu sendirilah yang memunculkan problem-problem tersebut,” tegasnya.

Sebaliknya, di dunia Islam, apalagi ketika nanti Khilafah sudah ditegakkan kembali, lanjutnya, manusia di dalam pemerintahan berdasarkan Islam akan diajarkan sebuah nilai yang sangat mendasar.

“Mengenai bagaimana cara menjaga kehidupan, menjaga jiwa, menjaga agar tidak ada manusia yang darahnya tertumpah, kehilangan nyawa bukan karena perbuatan buruk yang ia lakukan,” terangnya.

Terakhir, ia menekankan akan kerinduan kembalinya tatanan kehidupan rahmatan lil ‘alamin yang memperkenalkan gambaran Islam secara nyata.

“Kita merindukan kembalinya sebuah tatanan kehidupan yang menaungi manusia sebagai rahmatan lil ‘alamin dengan ikhtiar aktif kita untuk memperkenalkan gambaran Islam secara nyata dalam seluruh aspek kehidupan,” pungkasnya. [MNews/IA]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *