[Kabar] Akademisi: Mahasiswa Kesulitan Membayar Biaya Kuliah Adalah Persoalan Sistemis

[Kabar] Akademisi: Mahasiswa Kesulitan Membayar Biaya Kuliah Adalah Persoalan Sistemis

Muslimah News, NASIONAL — Universitas Lancang Kuning (Unilak) Riau kembali menyalurkan beasiswa Cendikia kepada mahasiswa yang kurang mampu pada Jumat (8-3-2024). Sumber dana beasiswa berasal dari gaji sertifikasi dosen yang disisihkan. Penyerahan dilakukan di aula gedung Rektorat Unilak.

Lebih dari 110 dosen Unilak ikut berpartisipasi menyisihkan gaji untuk 36 mahasiswa yang tersebar di sembilan fakultas Unilak. Setiap fakultas diseleksi dan dipilih sebanyak empat orang mahasiswa yang memiliki nilai akademik yang baik dan dari keluarga yang kurang mampu. Sejak diluncurkan delapan tahun lalu, total penerima beasiswa hampir 400 orang.

Masalah Sistemis

Akademisi sekaligus pengamat sosial ekonomi Yeni Asropi, Ph.D. memandang, banyaknya mahasiswa yang kesulitan membayar biaya kuliah adalah masalah sistemis.

“Fakta begitu banyaknya mahasiswa yang mengalami kesulitan membayar biaya kuliah saat ini, bukan bersifat kasuistik, tetapi merupakan masalah sistemis karena sifatnya sangat meluas dan belum ada solusi tuntas,” ungkapnya kepada MNews, Selasa (19-3-2024)

Berbagai upaya, lanjutnya, telah dilakukan, termasuk oleh para dosen yang layak mendapat apresiasi, tetapi sangat terbatas karena solusi ini bersifat individual.

“Oleh karenanya, untuk mencari solusi yang tuntas, kita perlu melihat akar masalah dari biaya pendidikan tinggi yang makin lama makin memberatkan masyarakat,” tuturnya.

Meroketnya biaya pendidikan yang harus dibayar oleh mahasiswa, menurutnya, merupakan dampak dari sudut pandang kapitalisme yang menggolongkan pendidikan sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan.

“Melalui UU 7/1994, Indonesia telah meratifikasi perjanjian WTO, General Agreement on Trade in Service (GATS), dan layanan pendidikan termasuk dua belas sektor layanan jasa yang bisa diperdagangkan. Dalam pandangan kapitalisme sekuler, apa pun bisa menjadi tambang uang, termasuk ilmu,” ungkapnya.

Knowledge-Based Economy (KBE) yang digagas negara-negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 1996 di Paris, menempatkan ilmu pengetahuan sebagai komoditas ekonomi dan distandarisasi sesuai kebutuhan bisnis, bukan tanggung jawab negara.

“Melalui konsep KBE, institusi internasional seperti Bank Dunia menangkap peluang berinvestasi dalam sektor yang penting dalam produksi ilmu pengetahuan, yakni pendidikan tinggi. Kemudian Bank Dunia merancang strategi reformasi pendidikan tinggi untuk kemudian diterapkan di sejumlah negara berkembang, seperti Argentina, Guinea, Romania, Chile, Tunisia, Vietnam, Yordania, Mozambique, Sri Lanka, Ethiopia, dan Indonesia,” bebernya.

Ia menerangkan, meski dikatakan sebagai bentuk new economy yang menjanjikan terbukanya peluang bagi negara-negara miskin dan berkembang untuk mencapai kemajuan melalui produksi pengetahuan, KBE tidak ubahnya sebagai bentuk baru kapitalisme ekonomi di abad ke-21.

“Strategi reformasi pendidikan tinggi merupakan bentuk neoliberalisme ekonomi yang mendorong pemerintah untuk melakukan desentralisasi, privatisasi, dan komersialisasi sektor pendidikan tinggi di negaranya,” imbuhnya.

Dampak komersialisasi sektor pendidikan tinggi ini sangat nyata, jelasnya, ketika kampus didorong menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PT-BH) dengan dalih bahwa kampus diberi kewenangan melibatkan masyarakat dan kalangan industri untuk pembiayaan pendidikan tinggi.

“Walhasil, biaya pendidikan tinggi makin mahal sehingga makin sulit diakses. Menurut data BPS 2021, angka partisipasi kuliah hanya mencapai 31,19% dari populasi usia kuliah (19—23 tahun). Mahasiswa yang sedang kuliah di berbagai perguruan tinggi pun makin banyak yang kesulitan membayar biaya pendidikan,” urainya.

Solusi Islam

Dalam kondisi inilah, tutur Yeni, dibutuhkan solusi tuntas yang berasal dari Islam. “Syariat Islam merupakan solusi seluruh problematika manusia, termasuk biaya pendidikan,” ucapnya.

Ia mengutarakan, fakta pendidikan masa penerapan Islam sangat berkualitas dan bebas biaya, menjadi ladang pahala bagi seluruh pihak yang terlibat, dan menyebarkan ilmu pengetahuan ke seluruh dunia sebagai rahmatan lil ‘alamin.

“Hal yang membedakan antara Islam dengan kapitalisme, yakni pembiayaan pendidikan dalam Islam adalah untuk seluruh tingkatan sepenuhnya dan merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara,” ujarnya.

Secara ringkas, lanjutnya, di dalam Islam, pendidikan disediakan secara gratis oleh negara. “Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw. yang diriwayatkan Bukhari, ‘Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.’ Atas dasar itu, negara harus menjamin setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dengan mudah,” tuturnya.

Negara, jelasnya, wajib menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. “Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tidak langsung, maka untuk pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara,” ungkapnya.

Bahkan, jelasnya, sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya.

“Sejak abad ke-4 H, para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya, seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan “iwan” atau auditorium, asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan,” katanya.

Dalam pandangan Islam, tambahnya, pendidikan termasuk dalam hak dasar rakyat sehingga pemenuhannya harus dijamin. “Pendidikan tidak boleh dilepaskan mengikuti “selera pasar” layaknya kebutuhan akan barang mewah dan membiarkan yang mampu membayar leluasa untuk menikmatinya. Sedangkan yang tidak mampu harus “rela” berpangku tangan,” ujarnya.

Padahal, ia mengingatkan, pendidikan itu penting dan seluruh rakyat haruslah terdidik sebab pendidikan pada dasarnya adalah salah satu metode untuk mendapatkan ilmu. “Ilmu diperlukan untuk menjalankan kehidupan. Ilmu pula yang menjadi pembeda kualitas suatu bangsa,” cetusnya.

Sumber Pembiayaan

Lebih lanjut, paparnya, sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara, yakni baitulmal.

“Ada dua sumber pendapatan baitulmal, pertama, pos fai (harta perampasan perang yang diperoleh tanpa melalui pertempuran-red.) dan kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan maupun perjanjian damai-red) yang merupakan kepemilikan negara, seperti ganimah (harta perampasan perang yang diperoleh melalui pertempuran-red.), khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah (pajak yang dikenakan kepada nonmuslim yang tinggal di dalam Khilafah dengan syarat tertentu), dan dharibah (pajak),” bebernya.

Kedua, sebutnya, pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).

“Sedangkan pendapatan dari pos zakat tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat,” ujarnya.

Biaya pendidikan Islam juga, lanjutnya, biasanya diperoleh dari wakaf. “Meskipun pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya, khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Bagdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf,” urainya.

Jadi, ia menyimpulkan, pembiayaan pendidikan dalam sistem Islamlah jawaban dari benang kusut komersialisasi pendidikan dalam sistem sekuler kapitalisme.

“Oleh karenanya, sebagai intelektual muslim diharapkan makin termotivasi untuk mengkaji solusi syariat dalam segala masalah kehidupan dan berperan dalam dakwah menegakkan kembali peradaban Islam,” pungkasnya. [MNews/Ruh]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *