[Tapak Tilas] Potret Serambi Madinah, Dahulu dan Kini

[Tapak Tilas] Potret Serambi Madinah, Dahulu dan Kini

Penulis : Siti Nafidah Anshory, M.Ag.

Muslimah News, TAPAK TILAS — Jika Aceh berjuluk Serambi Makkah, maka Gorontalo yang ada di Sulawesi bagian utara berjuluk Serambi Madinah. Konon julukan tersebut diberikan Buya Hamka, salah seorang ulama karismatik sekaligus politisi dan sastrawan ternama di Nusantara.

Ada dua alasan mengapa julukan ini diberikan. Pertama, hiruk pikuk masyarakat yang ramai beribadah dan memenuhi masjid-masjid, juga lantunan ayat suci yang terdengar menggema di setiap pelosok masjid di Gorontalo, mirip dengan Kota Madinah. Kedua, orang Gorontalo beliau sebut layaknya kaum Ansar. Mereka begitu terbuka menerima Islam sebagai agama kerajaan-kerajaan di Gorontalo, serta begitu ramah menyambut para pendatang yang merantau atau hijrah ke Gorontalo.

Keislaman Penduduk Gorontalo

Masuk Islamnya penduduk Gorontalo tidak bisa dilepaskan dari peran Raja Gorontalo ke-7 yang bernama Amai (berkuasa tahun 1535—1550). Ia masuk Islam sebelum menjadi raja sekira tahun 1495. Hal ini diketahui dari umur situs sejarah berupa Masjid Hunto Sultan Amai yang dibangun sebagai mahar pernikahannya.

Sejarah mencatat, ia menjadi muslim awalnya untuk memenuhi syarat lamaran kepada puteri Raja/Sultan Palasa Ogomonjolo (Kumonjolo) bernama Boki Owutango yang memiliki pertalian darah dengan para sultan dari Kesultanan Ternate. Adapun Kesultanan Ternate sendiri, saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di timur Nusantara dan terhubung dengan gerakan dakwah massif para dai Khilafah di Pulau Jawa (Walisanga).

Bukan hanya Amai yang masuk Islam, bahkan para pengikutnya dari kalangan raja-raja kecil pun disyaratkan masuk ke dalam Islam. Raja-raja kecil itu berjumlah delapan orang yang disebut Olongia Walu Lontho Otolopa, terdiri dari Raja Tamalate, Raja Lemboo, Raja Siyendeng, Raja Hulangato, Raja Siduan, Raja Sipayo, Raja Soginti dan Raja Bunuyo.

Selain masuk Islam, saat itu Raja Amai disyaratkan agar seluruh kerajaan Gorontalo diubah menjadi kesultanan Islam yang menerapkan isi Al-Qur’an. Tidak heran jika pasca-pernikahannya, lalu menjadi raja, ia beserta pengikutnya segera melakukan perombakan institusi politik Kerajaan Gorontalo hingga berubah menjadi kesultanan Islam.

Perlu dipahami bahwa pernikahan para pemimpin kerajaan merupakan salah satu strategi atau pintu masuk penyebaran Islam di Nusantara kala itu. Namun, tentu bukan sekadar seremonial karena setelah itu para dai Islam mengawal keislaman para mualaf dengan pembinaan intensif yang efeknya nampak dari konsistensi mereka memegang ajaran Islam dan menyebarluaskannya.

Itulah yang terjadi pada Raja Amai beserta pengikutnya. Meski awalnya masuk Islam karena syarat pernikahan, tetapi mereka menjadi muslim yang baik dan melakukan tugas dakwahnya dengan baik. Tentu yang pertama kali menjadi sasaran dakwah mereka adalah rakyat Gorontalo sendiri. Karakter rakyat Gorontalo yang sangat open mind membuat mereka mudah menerima ajaran Islam. Hingga berbondong-bondonglah mereka masuk ke dalam ajaran Islam. Tidak heran jika Sultan Amai diberi gelar Ta Olongia Lopo Isilamu, yang berarti Raja yang Mengislamkan Negeri.

Pusat Penyebaran Islam

Pada masa kekuasaannya, Sultan Amai diketahui banyak mengirim utusan ke Makkah untuk berhaji sekaligus menuntut ilmu-ilmu Islam. Lalu ia mendirikan lembaga pendidikan Islam pertama yang dikenal dengan nama Pondok Pesantren Limboto di Gorontalo.

Perhatiannya yang besar pada dakwah Islam ini menyebabkan kesultanannya dengan cepat menjadi pusat penyebaran ajaran Islam sebagaimana halnya Kesultanan Gowa, Ternate, Tidore, dan Bone. Bahkan diketahui bahwa di antara kesultanan-kesultanan tersebut terjalin hubungan politik atas dasar Islam dan hubungan misi dakwah ke daerah-daerah sekitar.

Namun, selain menjadi pusat dakwah, pada masa kejayaannya Gorontalo pun menjadi pusat perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi (bagian utara). Wilayah pengaruhnya meliputi Bolaang Mongondow (Sulut), Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara.

Dalam konteks politik pun, Kesultanan Gorontalo di bawah kepemimpinan Sultan Amai diketahui punya hubungan pergaulan yang cukup luas. Selain menjalin hubungan politik.dengan kesultanan yang ada di wilayah Sulawesi dan Maluku Utara, Sultan Amai pun diketahui menjalin hubungan politik dengan Kesultanan Aceh dan Demak di Jawa.

Kebijakan politik Sultan Amai terus berlanjut meskipun ia sudah mangkat. Para sultan penggantinya, mulai dari puteri Matolodulakiki, Sultan Eyato dan Suktan Botutihe, mereka meneruskan kebijakan politik Sultan Amai, yakni menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mereka pun menerapkan prinsip “Adati hula-hulaa to saraa, saraa hula-hulaa to Qur’ani” hingga hubungan antara negara, agama dan adat tampak begitu kuat di Gorontalo.

Begitu pun dengan aktivitas dakwah.  Penyebaran agama Islam terus berlanjut, salah satunya tampak dari banyaknya ulama-ulama yang datang dari berbagai daerah. Di antaranya adalah Syekh Yusuf Tajul Khalwati, Syekh Abdul Wahab Rokan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, dan Syekh Muhammad Nuh al-Makassari.

Kentalnya ruh Islam pada masyarakat Gorontalo sangat berpengaruh pada jiwa perlawanan terhadap penjajahan. Pada masa-masa berikutnya, muncul dari Gorontalo nama-nama tokoh yang dikenal gigih berjuang melawan Belanda atas dasar spirit Islam, antara lain Nani Wartabone, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Abdul Wahid Hasyim, K.H. Masjkur, dan K.H. Idham Chalid, dll.

Lain Dahulu Lain Sekarang

Saat ini, umat Islam di Gorontalo memang masih mayoritas. Semboyan yang diasas oleh Sultan Amai, yakni “Adati hula-hulaa to saraa, saraa hula-hulaa to Qur’ani”, yang artinya adat istiadat bersandar pada syariat Islam, syariat Islam bersandar pada Al-Qur’an pun masih tetap menjadi spirit masyarakat Gorontalo, hingga kota ini masih disebut-sebut sebagai Kota Islam.

Namun, kehidupan masyarakat Gorontalo hari ini tidak luput dari gempuran peradaban sekuler yang membuat spirit Islam dan kemuliaannya sebagai salah satu representasi Islam makin memudar. Berbagai problem kehidupan mulai dari sektor ekonomi, politik, pergaulan, hukum, lingkungan, dan sebagainya juga mencengkeram sebagaimana wilayah-wilayah lain yang tidak kental dengan ruh Islam.

Semua ini tentu harus menjadi bahan renungan, khususnya bagi kaum muslim di Gorontalo sana. Kunci kemuliaan mereka sejatinya lekat dengan Islam, yakni Islam yang bukan hanya pengakuan dan dipraktikkan hanya pada aspek ritual, melainkan Islam yang dipahami sebagai ideologi termasuk pada aspek politik kenegaraaan. [MNews]

Dinarasi ulang dari berbagai sumber tulisan.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *