Menguak Pengakuan Keberhasilan Pendidikan Perempuan dalam Kacamata Kesetaraan Gender

Menguak Pengakuan Keberhasilan Pendidikan Perempuan dalam Kacamata Kesetaraan Gender

Penulis: Asy-Syifa Ummu Shiddiq

Muslimah News, OPINI — Perempuan sering dianggap sebagai makhluk kedua dalam pandangan feminisme. Oleh karena itu, perlu ada upaya mewujudkan kesetaraan gender agar kaum hawa tidak lagi diremehkan. Salah satu upayanya adalah memberikan hak kepada perempuan untuk menempuh pendidikan.

Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Suharti, menyampaikan bahwa lembaganya telah meningkatkan kesetaraan akses pendidikan bagi laki-laki dan perempuan. Hasilnya, partisipasi perempuan dalam bidang pendidikan mampu melebihi laki-laki. Pangkalan Data Diktiristek menunjukkan pada jenjang pendidikan tinggi, jumlah mahasiswa perempuan sekitar 3,25 juta orang, sedangkan laki-laki 3,09 juta orang.

Sayangnya, jumlah partisipasi perempuan yang besar dalam dunia pendidikan tidak menunjukkan kesetaraan dengan laki-laki di bidang ekonomi dan publik. Hanya 52—53% perempuan yang terlibat dua aspek itu. Oleh karena itu, masih perlu upaya yang signifikan untuk meningkatkan kesetaraan perempuan dan laki-laki di bidang tersebut (Kompas, 8-3-2024).

Data lainnya justru menunjukkan bahwa tidak banyak perempuan yang mengenyam pendidikan sampai tuntas. Badan Pusat Statistik pada 2020 telah melakukan survei terhadap remaja perempuan usia 10—14 tahun. Dari data itu terlihat, 49,34% remaja perempuan yang tidak atau belum menamatkan SD; 46,22% mengenyam SD; dan 4,45% mengenyam SMP (Katadata, 19-12-2023).

Kesetaraan Gender

Naiknya jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan menjadi dasar para pejuang kesetaraan gender merasa puas. Hanya saja, mereka merasa perlu berupaya maksimal lagi agar kaum perempuan bisa setara dengan laki-laki di bidang ekonomi dan publik. Ini karena mereka menganggap dengan kecilnya partisipasi perempuan dalam ranah itu, membuat perempuan terpinggir dan mengalami diskriminasi.

Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, misalnya, yang disebabkan masalah ekonomi membuat para lelaki mudah melakukan kekejaman, bahkan melakukan pembunuhan pada istrinya. Tidak hanya itu, jika perempuan punya pekerjaan atau memiliki kedudukan di ranah publik, maka ia akan mendapatkan penghormatan dari laki-laki. Suami pun tidak akan berani melirik perempuan lainnya.

Sayangnya, anggapan semacam ini sangat keliru. Kasus yang terjadi justru sebaliknya. Ketika kaum perempuan mendapat pekerjaan dan gajinya lebih tinggi dari laki-laki, mereka justru meremehkan laki-laki. Banyak terjadi pertukaran peran dalam keluarga. Laki-laki menjaga rumah, sedangkan istri justru bekerja, bahkan hingga menjadi TKW. Ujung-ujungnya, tidak sedikit laki-laki yang akhirnya mencari perempuan lain saat ditinggal istri bekerja. Ini menunjukkan bahwa masalah perempuan bukan pada kesetaraan gender, yakni ketika mereka harus bekerja dan berperan serta dalam ranah publik seperti laki-laki.

Melahirkan Masalah Baru

Perhatian khusus pada pendidikan untuk meraih pekerjaan yang baik dan kedudukan di hadapan publik merupakan pandangan yang salah. Jika perempuan hanya memahami mengenyam pendidikan untuk mendapatkan kerja saja atau agar punya kedudukan, maka mereka hanya akan mendapatkan kesuksesan dunia. Secara materi mereka akan mendapatkan, tetapi mereka akan jauh dari sifat tenang.

Masalah lain yang akan dihadapi jika para perempuan sibuk bekerja adalah pendidikan anak-anaknya. Tidak ada seorang pun meragukan bahwa peran pendidikan anak sejak dini dipegang oleh ibu. Ketika peran itu diambil alih orang lain, baik suami, kakek nenek atau bahkan pengasuh anak, ada ikatan yang hilang dalam pendidikannya. Hasilnya, akan lahir generasi yang kurang kasih sayang, bahkan tidak paham benar dan salah. Apabila generasi menjadi demikian, kita dapat membayangkan kondisi yang terjadi 20—30 tahun lagi.

Penerapan Kapitalisme

Pandangan kesetaraan gender ini lahir dari penerapan kapitalisme. Sebuah ideologi yang memandang materi sebagai ukuran kesuksesan. Ideologi ini akan menghalalkan segala cara agar kemajuan masyarakat terus meningkat, utamanya adalah ekonomi. Salah satunya dengan membuat perempuan masuk dalam dunia kerja. Agar tujuan itu tercapai, mereka memberikan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Ini karena salah satu syarat mendapatkan pekerjaan harus lulus pendidikan tertentu.

Sayangnya, dengan penerapan sistem kapitalisme saat ini, justru membuat jarak antara kaya dan miskin menjadi lebar. Orang-orang kaya akan bertambah kaya, sedangkan orang miskin makin terpinggir. Pendidikan, kesehatan hingga segala fasilitas yang ada hanya akan dinikmati oleh orang-orang kaya. Mereka yang tidak punya uang, tidak akan mendapatkan fasilitas terbaik, termasuk pendidikan. Meskipun saat ini ada program wajib belajar sembilan tahun, kualitas pendidikan yang diberikan tidak sebanding dengan sekolah-sekolah swasta yang berbayar mahal. Dengan kualitas pendidikan yang pas-pasan, bisa dibayangkan seperti apa SDM yang dihasilkan. Kalau pun ada yang pandai, hanya satu atau dua orang.

Saat ini memang ada banyak program beasiswa. Namun, program itu tidak bisa mencakup seluruh generasi, termasuk perempuan. Apabila kita membandingkan dengan jumlah SDM perempuan yang ada, beasiswa yang ditawarkan itu terbatas. Dengan kondisi ini, maka tidak salah jika ada yang beranggapan bahwa pendidikan yang ada belum merata, bahkan kualitasnya masih jauh dari baik.

Tidak Ada Perbedaan

Islam sebagai aturan yang sempurna memandang bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama. Letak perbedaan antara keduanya hanya pada keimanan. Sebagaimana firman Allah Swt.,

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.(QS Al Hujurat: 13)

Islam memberikan tugas khusus kepada laki-laki dan juga perempuan. Bagi laki-laki, mereka adalah pemimpin perempuan. Allah memberikan tanggung jawab mencari nafkah di pundaknya. Allah juga mewajibkan laki-laki untuk menjaga keluarganya agar senantiasa taat kepad-Nya. Sedangkan perempuan, Allah memberikan tugas khusus, yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga suaminya.

Allah meletakkan tanggung jawab mendidik anak-anak di tangan perempuan. Masalah nafkah, apabila suami tidak mampu memberikan atau karena alasan syari lain, maka tanggung jawab nafkah di tangan keluarganya. Namun, jika keluarga tidak mampu, maka akan ditanggung negara. Dengan begitu seorang ibu bisa konsentrasi mendidik anaknya.

Allah memberikan tanggung jawab ini sesuai porsi masing-masing. Apabila tugas ini bisa berjalan, maka tidak akan ada masalah di kemudian hari. Bahkan akan melahirkan generasi-generasi terbaik yang akan memimpin bangsa.

Atas dasar pandangan Islam itu, maka negara wajib memberikan pendidikan kepada semua orang. Negara tidak boleh membedakan laki-laki dan perempuan. Namun, sistem pendidikan yang harusnya diberikan adalah sistem pendidikan berbasis Islam, yaitu sistem pendidikan yang akan membentuk seseorang berkepribadian Islam. Dengan begitu, generasi yang akan lahir dari sistem pendidikan Islam ini akan mampu menentukan benar dan salah sesuai pandangan Islam sehingga jika mereka kelak bekerja, akan bekerja tanpa melanggat aturan Allah. Apabila mereka menikah, juga akan menjalankan pernikahan sesuai pandangan Islam.

Islam tidak melarang perempuan bekerja. Jadi, ketika mereka belajar hingga perguruan tinggi, dorongannya adalah menuntut ilmu dan memanfaatkan ilmunya, bukan untuk bisa mencari kerja. Islam membolehkan perempuan bekerja dengan syarat si perempuan tersebut tidak melanggar hukum syarak. Ia tetap bisa menjalankan tanggung jawab sebagai ibu dan pengatur rumah tangga suaminya.

Hanya Islam yang bisa menempatkan kedudukan perempuan sebagaimana mestinya. Dengan Islam juga perempuan tidak perlu berteriak tentang kesetaraan gender. Wallahualam. [MNews]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *