[Tapak Tilas] Jejak Islam di Negeri Paman Sam

[Tapak Tilas] Jejak Islam di Negeri Paman Sam

Penulis: Siti Nafidah Anshory, M.Ag.

Muslimah News, TAPAK TILAS — Agama Islam termasuk minoritas di Amerika Serikat. Jumlahnya saat ini diperkirakan hanya 1 persen atau sekitar 4,45 juta orang saja. Mayoritas mereka pun rata-rata merupakan imigran dengan ras yang sangat beragam, terdiri dari kulit hitam, kulit putih, Arab, Asia, dan Hispanik.

Namun,sebuah survey menunjukan, pada beberapa dekade terakhir populasi muslim di AS justru mengalami tren peningkatan secara sangat signifikan, terutama di negara bagian seperti Arizona, Virginia, dan Kanada. Uniknya, hal ini justru terjadi pasca-peristiwa 11/9, dan pasca-okupasi zionis ke Palestina.

Survey juga menunjukkan, bahwa yang bertambah bukan hanya dari sisi kuantitatif populasinya saja. Komunitas muslim di AS hari ini juga mengalami peningkatan dari sisi kualitas. Mereka didominasi oleh kaum profesional dengan level kesejahteraan yang tinggi. Hal ini berbeda dengan populasi muslim di Eropa yang jusfru didominasi oleh para pekerja dengan upah yang sangat rendah.

Diawali Ekspedisi Muslim dan Era Perbudakan

Sejarah masuknya Islam ke Amerika memang penuh perdebatan. Para ahli sejarah berbeda pandangan tentang bagaimana agama Islam ini bisa masuk ke dunia baru ini.

Sebagian mengatakan, Islam datang ke negeri ini sejalan dengan era kolonialisme Spanyol pada abad 16 pascaklaim penemuan benua ini oleh Christoper Colombus pada 1498. Namun ada juga teori yang mengatakan bahwa Islam sudah menjejak di Amerika jauh sebelum era Columbus, yakni ketika Khilafah Islam memelopori berbagai ekspedisi trans Atlantik pada abad 9-10 masehi.

Dilansir republika[dot]co, muslim Spanyol, Dr Youssef Mroueh, dalam paper-nya, Pre-Columbian Muslims in the Americas, menyebut ada beberapa catatan sejarah penjelajahan muslim ke Benua Amerika sejak abad 9-10 Masehi. Di antaranya, apa yang terjadi pada era kekuasaan Khalifah Abdurrahman III (929-961). Sekelompok muslim Afrika saat itu bertolak dari pelabuhan Delba (Palos) menuju ‘samudera gelap dan berkabut’. Setelah lama berlayar, mereka kembali dengan berbagai barang yang berasal dari tanah asing yang aneh yang diduga kuat adalah Amerika.

Bahkan catatan lain menyebut, ekspedisi sudah terjadi pada era Abdullah bin Muhammad (888-912) menjadi emir Cordoba atau Spanyol. Saat itu, tepatnya tahun 889, seorang navigator muslim, Khashkhash bin Said bin Aswad dari Cordoba, berlayar menyeberangi Atlantik hingga mencapai tanah asing (ardh majhuula) dan kembali lagi dengan membawa harta benda yang menakjubkan. Disebutkan, tanah asing itu adalah Amerika.

Namun saat Amerika memasuki era kolonialisme Spanyol, tepatnya tahun 1530, pihak kerajaan banyak mengirimkan para budak muslim berkebangsaan Afrika ke Amerika. Tercatat, budak yang pertama menjejak Amerika bernama Alvar Nunez Cabeza de Vaca, Estevanico, dan Azamor. Estevanico adalah orang Berber dari Afrika Utara yang pergi ke Arizona dan New Meksiko sebagai budak Kerajaan Spanyol. Sedangkan Azamor dan Nunez adalah budak dari Spanyol, yang merupakan sisa-sisa pengaruh Islam yang pernah berkuasa di Spanyol.

Setelah itu migrasi para budak berjalan masif. Mereka dipekerjakan di berbagai lahan pertanian untuk kepentingan pihak kolonial. Jumlah mereka diperkirakan sekitar 40.000 orang. Disebutkan, pada masa kolonialisme tersebut, wilayah Spanyol merupakan wilayah terluas dan terkaya di benua Amerika.

Hal itu terus berlanjut hingga kolonialisme Amerika beralih kepada Inggeris. Dalam bukunya Black Crescent, sejarawan Michael Gomez mencatat bahwa dari sekitar 481.000 orang Afrika yang diimpor ke Amerika Utara Britania selama perdagangan budak, hampir 225.000 berasal dari daerah yang dipengaruhi oleh Islam.

Lalu dalam Servants of Allah, sejarawan Sylviane Diouf juga menulis bahwa hampir 24 persen pria, wanita, dan anak-anak yang menginjakkan kaki di Amerika Serikat berasal dari Senegambia. Bahkan ia menyebut bahwa saat itu wilayah AS berpotensi memiliki proporsi muslim (yang diperbudak) tertinggi.

Perkembangan Selanjutnya

Memasuki abad ke-19, terutama pasca runtuhnya kekhilafahan Utsmani dan Perang Dunia I, bandul sejarah mulai berubah. Meski Inggeris dan sekutunya keluar sebagai pemenang, namun kerugian akibat perang menghancurkan perekonomian mereka sedemikian. Saat itulah Amerika berangsur muncul sebagai kekuatan dunia yang menggeser kekuatan Inggeris dan kawan-kawan.

Pada era itu terjadilah migrasi besar-besaran umat Islam dari wilayah Timur Tengah, semisal Suriah, Yordania, Palestina, dan lainnya ke Amerika. Mereka memilih Amerika lantaran menganggap bisa memperoleh kebebasan di sana. Lalu demi mempertahankan identitasnya, kaum muslim pun membentuk komunitas-komunitas di berbagai negara bagian. Bahkan akhirnya terbentuklah organisasi-organisasi muslim yang lambat laun pengaruh politiknya makin menguat. 

Hal ini sempat membuat kalang kabut pemerintah Amerika Serikat. Terlebih gelombang migrasi muslim pun terus terjadi secara besar-besaran sekira tahun 1920-1930. Ditambah, saat itu juga marak terjadi kerusuhan rasial yang membuat banyak kalangan Afro-Amerika yang akhirnya menjadi mualaf karena tertarik ajaran Islam yang memosisikan manusia secara sejajar.

Situasi ini tentu menjadi soal tersendiri bagi pemerintahan Amerika. Terlebih organisasi-organisasi keislaman makin kuat dan makin berpengaruh di dunia politik. Maka pemerintah pun mulai berpikir memberikan kebijakan khusus untuk membatasi gelombang migrasi ini.

Salah satunya adalah kebijakan penetapan kuota yang diterapkan pemerintah AS pada tahun 1924. UU ini dikenal dengan UU Johnson-Reed yang isinya membatasi jumlah imigran yang diizinkan masuk ke Amerika Serikat melalui kuota asal negara. Namun kebijakan ini kemudian dihapus Presiden Lyndon Johnson karena alih-alih berkurang, arus migrasi justru makin tidak bisa dibendung.

Bahkan, agama Islam makin diminati warga Amerika sendiri. Terlebih ketika tahun 1965 Amerika menerapkan UU Imigrasi dan Naturalisasi yang justru membuka pintu bagi peningkatan imigrasi dari negara-negara mayoritas muslim. Hal ini disebutkan dalam artikel berjudul Factsheet Islam Immigration and The Americab Courts, yang dimuat dalam situs resmi Bridge A Georgetown University Initiative. Disana tertulis pandangan Edward Curtis yabg dikutip dari bukunya Muslim in America: A Short History. Cutis menyebut, dari tahun 1966 hingga 1997, sekitar 2.780.000 orang berimigrasi ke Amerika Serikat dari wilayah-wilayah di dunia dengan populasi muslim yang signifikan. Seorang ahli demografi memperkirakan bahwa sekitar 1,1 juta imigran adalah muslim.

Setelah itu, gelombang migrasi pun terus terjadi termasuk yang berasal dari wilayah-wilayah bekas jajahan Uni Sovyet saat institusi representasi ideologi sosialis komunis itu runtuh pada tahun 1991. Hanya saja, meski jumlah kaum muslim terus meningkat, dan perkembangan Islam di Amerika makin sangat terbuka terutama pasca peristiwa 9/11/2001, bukan berarti nasib umat Islam baik-baik saja.

Menakar Masa Depan Islam

Geliat penambahan jumlah muslim di Amerika hari ini juga tidak bisa dipisahkan dari geliat penambahan kaum muslim di seluruh dunia, terutama dunia Barat. Soal ini Hillary Clinton pernah beberapa kali menyebut, Islam is the fastest growing religion in the world.

Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Pew Research Center yang menemukan bahwa pemeluk Islam diperkirakan akan meningkat 70 persen dari 1,8 miliar pada 2015 menjadi tiga miliar pada 2050.

Selain peristiwa 9/11, serangan Israel atas Gaza Palestina sejak Oktober 2023 lalu hingga sekarang, seakan membuka jalan bagi terealisasinya hal tersebut. Meski islamofobia meningkat, mata dunia tentang Islam dan umatnya kian terbuka termasuk bagi warga Amerika.

Terbukti perbincangan tentang Islam, umat Islam, serta berbagai bantahan atas semua narasi yang selama ini disematkan atas umat Islam, seperti isu terorisme dan radikalisme, begitu ramai di media sosial. Termasuk fenomena orang-orang Barat yang akhirnya memutuskan masuk ke dalam ajaran Islam, serta naiknya kepercayaan diri mereka untuk menunjukkan eksistensi sebagai umat Islam dalam kegiatan-kegiatan ritual dan sosial.

Rusaknya tatanan hidup masyarakat Amerika di bawah kepemimpinan sistem sekuler kapitalisme juga menjadi penguat bagi fenomena munculnya kesadaran beragama. Betapa tidak? Generasi, keluarga, dan masyarakat mereka hancur sejalan dengan kehancuran di berbagai bidang kehidupan, mulai aspek politik, ekonomi, maupun secara moral. Bagi mereka yang berpikir, hal ini memunculkan kengerian akan masa depan keturunan dan peradaban.

Memang berharap Amerika segera berubah menjadi negeri Islam merupakan hal yang terlalu berlebihan. Hal ini mengingat Amerika masih tetap memegang kepemimpinan politik dunia dan posisi negeri-negeri muslim masih ada di bawah telapak kakinya. Bahkan nyaris semua penderitaan dunia, ada peran Amerika di baliknya, termasuk apa yang terjadi di Palestina. Semua ini mengonfirmasi posisi negara Amerika sebagai negara kafir muhariban fi’lan bagi umat Islam di dunia.

Kondisi ini akan berubah, jika dan hanya jika umat Islam punya kekuatan politik adidaya. Kekuatan politik itu bernama negara Khilafah yang akan memobilisir kekuatan umat Islam di seluruh dunia hingga bisa menghadapi kezaliman Amerika secara vis a vis.

Khilafahlah yang akan menyebarkan Islam secara masif ke seluruh dunia termasuk Amerika dengan upaya dakwah dan jihad. Khilafah pula yang akan menghentikan kesombongan Amerika dan memberinya kekalahan yang menghinakan. Wallahualam. [MNews/Nsy]

Share

One thought on “[Tapak Tilas] Jejak Islam di Negeri Paman Sam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *