[Tafsir Al-Qur’an] Ramadan, Al-Qur’an, dan Puasa (Tafsir QS Al-Baqarah [2]: 185)

[Tafsir Al-Qur’an] Ramadan, Al-Qur’an, dan Puasa (Tafsir QS Al-Baqarah [2]: 185)

Penulis: K.H. Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Muslimah News, TAFSIR AL-QUR’AN Allah Swt. berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al-Baqarah [2]: 185).

Bulan Ramadan merupakan sayyid asy-syuhûr (penghulu bulan). Bulan tersebut juga disebut sebagai syahr ash-shiyâm (bulan puasa) dan syahr Al-Qur’ân (bulan Al-Qur’an) sebab pada bulan itu umat Islam diwajibkan berpuasa dan Al-Qur’an diturunkan. Hal ini diterangkan dalam ayat di atas.

Kedudukan Al-Qur’an

Allah Swt. berfirman, “Syahr Ramadhân al-ladzî unzila fîhi Al-Qur’ân (Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an)”. Dalam ayat sebelumnya disebutkan bahwa puasa yang diwajibkan atas kaum muslim dikerjakan ayyâm ma’dû-dât (pada beberapa hari tertentu). Kemudian dalam ayat ini ditetapkan bahwa beberapa hari tersebut adalah pada bulan Ramadan.

Ditegaskan pula, pada bulan itu Al-Qur’an diturunkan. Menurut Ibnu ‘Abbas,  turunnya Al-Qur’an yang diberitakan ayat ini adalah peristiwa turunnya Al-Qur’an secara sekaligus dari Al-Lawh al-Mahfûzh ke Bayt al-‘Izzah di langit dunia. Selanjutnya, Al-Qur’an turun kepada Rasulullah saw. selama 23 tahun secara bertahap setiap saat. Penjelasan ini diikuti oleh banyak mufasir.

Sedangkan Asy-Sya’bi dan Ibnu Ishaq berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya adalah awal diturunkannya Al-Qur’an dan diutusnya Rasulullah saw.. Hal ini terjadi pada bulan Ramadan, sebagaimana juga diberitakan dalam QS Al-Qadr [97]: 1.

Kemudian Allah Swt. menerangkan kedudukan Al-Qur’an dengan firman-Nya, “Huda[n] li al-nâs wa bayyinât min al-hudâ wa al-furqân (sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda [antara yang hak dan yang batil])”.

Secara bahasa, kata al-hudâ berarti al-dalâlah (petunjuk). Dalam Al-Qur’an, kata al-hudâ ini dilawankan dengan adh-dhalâl (kesesatan), seperti dalam QS Al-Baqarah [2]: 24 dan 178, Al-A’raf [7]: 30, An-Nahl [16]: 36, dll.. Bahwa Al-Qur’an dinyatakan sebagai hudâ terdapat dalam banyak ayat, seperti QS Al-Baqarah [2]: 2 dan An-Nahl [16]: 89.

Sedangkan frasa “wa bayyinât min al-hudâ”, menurut Asy-Syaukani merupakan athf al-khâshsh ‘alâ al-‘âmm (menambahkan yang khusus kepada yang umum). Artinya, frasa tersebut sesungguhnya termasuk dalam cakupan kata “huda[n]”. Disebutkan secara khusus untuk menunjukkan kemuliaannya.

Telah maklum bahwa Al-Qur’an meliputi ayat muhkamât (yang terang, jelas, dan hanya memberikan satu makna) dan ayat mutasyâbihât (yang samar, bisa menimbulkan lebih dari satu makna). Maka kata “bayyinât” ini merujuk khusus pada ayat yang muhkamat. Demikian penjelasan Asy-Syaukani dalam tafsirnya.

Kata “al-furqân” berasal dari kata al-farq (pembedaan). Sedangkan kata “al-furqân” di sini berarti mufarriqa[an]bayna al-haqq wa al-bâthil (bermakna sesuatu yang membedakan antara yang haq dan batil).

Sebagian Ketentuan Puasa

Allah Swt. berfirman, “Fa-man syahida minkum asy-syahr falyashumhu (oleh karena itu, barang siapa di antara kamu hadir pada bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu)”.

Dijelaskan oleh para mufasir, seperti Az-Zamakhsyari, Ibnu Katsir, Ibnu al-Jauzi, dan Asy-Syaukani, kata hadhara bermakna menetap, tidak sedang bepergian. Kepada mereka, Allah Swt. memerintahkan agar berpuasa.

Kemudian dijelaskan mengenai orang yang diberikan rukhsah tidak berpuasa dengan firman-Nya, “Waman kâna marîdh[an] aw ‘alã safar[in] (dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan ([lalu ia berbuka])”.

Ali ash-Shabuni mengutip pendapat jumhur ulama bahwa sakit yang diperbolehkan tidak berpuasa adalah sakit yang mengantarkan kepada dharar bagi penderitanya, menambah parah penyakitnya, atau dikhawatirkan dapat menyebabkan tertundanya kesembuhan. Demikian pula dengan safar. Safar yang diperbolehkan berbuka adalah safar yang panjang yang pada umumnya dapat mengantarkan pada masyaqqah (keberatan).

Kendati diperbolehkan berbuka, bukan berarti tanpa konsekuensi. Allah Swt. berfirman, “Fa’iddah min ayyãm ukhar (maka [wajiblah baginya berpuasa], sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain).” Mereka diwajibkan mengganti pada hari lainnya.

Kewajiban untuk mengganti pada hari yang lain tentu saja apabila berbuka. Meskipun sakit atau bepergian, tetapi jika tidak berbuka, tidak ada kewajiban untuk mengganti pada hari lain. Frasa ini menjadi salah satu qarînah wajibnya perintah puasa, sebab jika tidak wajib, tentu tidak ada perintah untuk meng-qadanya pada bulan yang lain.

Kemudian Allah Swt. berfirman, “Yurîdul-Lâh bikum al-yusr walâ bikum al-‘usr (Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu).” Kata al-yusr berarti as-sahl (mudah), tidak ada kesulitan di dalamnya.

Dalam konteks ayat ini, kata al-yusr berarti berbuka puasa pada saat safar. Sedangkan kata al-‘usr berarti berpuasa pada saat itu. Demikian menurut Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, dan al-Dhahhak.

Kebolehan berbuka itu merupakan kemudahan yang diberikan Allah Swt. kepada manusia. Menurut Asy-Syaukani, ini termasuk salah satu maksud dan yang diinginkan Allah dalam semua urusan agama-Nya. Ini sejalan dengan firman Allah Swt., “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (TQS Al-Hajj [22]: 78)

Lalu ditegaskan lagi, “Wali-tukmilû al-‘iddah (dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya)”. Dijelaskan Ibnu Katsir bahwa diberikannya rukhsah bagi orang yang sakit dan bepergian untuk tidak berpuasa karena Allah Swt. menghendaki kemudahan bagi kita. Sedangkan perintah untuk mengqada puasa pada bulan yang lain itu dimaksudkan untuk menyempurnakan hitungan bulan puasa.

Setelah semua kewajiban itu dijalankan, kemudian diperintahkan, “Walitukabbirul-Lâh ‘alâ mâ hadâkum (dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu).” Menurut Ibnu Katsir, ini merupakan perintah untuk mengingat Allah ketika telah selesai menunaikan ibadah.

Perintah serupa juga terdapat dalam QS Al-Baqarah [2]: 200, An-Nisa’ [4]: 103, Al-Jumu’ah [62]: 10, dan Qaf [50]: 39–40. Oleh karena itu, sunah mensyariatkan tasbih, tahmid, dan takbir seusai melaksanakan salat wajib.

Kemudian diakhiri dengan firman-Nya, “La’allakum tasykurûn (supaya kamu bersyukur)”. Ini memberikan penegasan bahwa jika telah menuntaskan perintah Allah Swt., mengerjakan yang difardukan, meninggalkan yang dilarang, dan menjaga diri dari batasan-batasan-Nya, diharapkan bisa menjadi orang-orang yang bersyukur.

Semoga kita termasuk orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk, menjalankan puasa Ramadan dengan sempurna, mengagungkan Allah Swt., dan mensyukuri semua nikmat-Nya. Wallahualam bissawab. [MNews/Rgl]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *