[Tafsir Al-Qur’an] Jangan Mengkhianati Amanah! (Tafsir QS Al-Anfal [8]: 27)

[Tafsir Al-Qur’an] Jangan Mengkhianati Amanah! (Tafsir QS Al-Anfal [8]: 27)

Penulis: K.H. Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Muslimah News, TAFSIR AL-QUR’AN —

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ  ٢٧

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya (Muhammad), juga janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian, sedangkan kalian tahu.” (QS Al-Anfal [8]: 27).

Amanah merupakan ciri khas akhlak seorang muslim. Sifat tersebut memang harus melekat pada diri seorang muslim. Pasalnya, amat banyak nas yang memerintahkan kaum muslim untuk menjaga dan menunaikan amanah. Sebaliknya, Islam melarang keras bersikap sebaliknya, yakni mengkhianati amanah. Ayat ini adalah di antaranya yang menjelaskan persoalan tersebut.

Sabab an-Nuzuul

Ayat ini berkenaan dengan Abu Lubabah bin Abdul Munzir ketika diutus Rasulullah saw. ke Bani Quraizah. Dia diminta untuk menyampaikan pesan beliau agar mereka tunduk di bawah hukum Rasulullah saw.. Lalu Bani Quraizah meminta saran dari Abu Lubabah mengenai hal tersebut. Abu Lubabah mengisyaratkan kepada mereka dengan tangannya ke arah tenggorokannya, yang maksudnya ialah disembelih, yakni mati. Kemudian Abu Lubabah sadar bahwa dengan perbuatannya itu berarti dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya. Ia pun bersumpah bahwa dirinya tidak akan makan hingga mati atau Allah menerima tobatnya.

Lalu Abu Lubabah pergi ke masjid Madinah dan mengikat dirinya di salah satu tiang masjid. Itu dilakukan selama sembilan hari hingga tidak sadarkan diri karena kepayahan. Lalu Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya bahwa tobat Abu Lubabah diterima. Kemudian orang-orang datang kepada dia menyampaikan berita gembira bahwa Allah Swt.  telah menerima tobatnya. Mereka bermaksud akan melepaskan ikatannya dari tiang masjid itu. Namun, Abu Lubabah bersumpah bahwa jangan ada seorang pun yang melepaskan dirinya dari tiang masjid itu selain Rasulullah saw. dengan kedua tangannya sendiri. Akhirnya, Rasulullah saw. melepaskan ikatannya, lalu berkatalah Abu Lubabah, “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah bernazar bahwa seluruh hartaku akan aku habiskan untuk sedekah.” Rasulullah lalu bersabda,

“Cukuplah bagimu dengan menyedekahkan hartamu sepertiganya saja.”1

Dalam riwayat dari Jarir bin Abdullah bahwa Abu Sufyan keluar dari Makkah. Lalu Jibril datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Sungguh Abu Sufyan berada di tempat itu dan itu.”

Kemudian Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat, “Sungguh Abu Sufyan berada di tempat itu dan itu. Oleh karena itu, pergilah kalian ke sana (untuk mengadang dia) dan rahasiakanlah.”

Namun, ada seorang laki-laki munafik yang menulis surat kepada Abu Sufyan, “Sungguh Muhammad sedang membuntuti kalian. Waspadalah!”

Kemudian Allah menurunkan ayat ini.2

Akan tetapi, menurut  Wahbah az-Zuhaili, hadis ini ghariib jidd[an] (asing sekali). Yang lebih sahih tentang  turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan Abu Lubabah.3

Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ ٢٧

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya (Muhammad).”

Seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Wahbah az-Zuhaili berkata, “Wahai orang-orang yang beriman dan membenarkan Allah Swt., Rasul-Nya, dan Al-Qur’an.”4

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini berlaku umum. Sekalipun ayat ini turun berkenaan dengan sebab khusus, menurut jumhur ulama, yang harus diambil adalah keumumam redaksinya, bukan kekhususan sebabnya. Intinya, ayat ini menyeru semua orang yang beriman.5 Mereka semua dilarang berbuat khianat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya.

Secara bahasa, kata « الْخَوْنِ » bermakna « النَّقْصُ », sebagaimana kata « الْوَفَاء » bermakna « التَّمَامَ » (kesempurnaan). Di antaranya ada kalimat: « تَخَوَّنَه », artinya « تَنَقَّصَه » (menguranginya), kemudian digunakan untuk menyebut kebalikan dari « الْأَمَانَة وَالْوَفَاء » (amanah dan menepati janji). Sebabnya, jika kalian mengkhianati seseorang dalam suatu hal, kalian akan membuat dia kekurangan dalam hal itu.6

Penjelasan serupa juga diterangkan oleh Al-Biqa’i. Kemudian dikatakan kata al-khawn pun berubah menjadi « نقصاً خاصاً » (pengurangan secara khusus). Adapun mengkhianati Rasul dengan melakukan perbuatan ghulûl dan lainnya.7

Menurut Ar-Raghib al-Asfahani, kata « الخِيَانةَ » dan « النّفاق » memiliki pengertian yang sama. Hanya saja, kata al-khiyânah digunakan untuk menyebut « العهد والأمانة » (perjanjian dan amanah). Adapun an-nifâq digunakan untuk mengungkapkan perkara agama. Dalam perkembangan berikutnya penggunaan kedua kata itu saling bercampur. Kata al-khiyânah lawan dari al-haqq (kebenaran) dengan membatalkan perjanjian secara diam-diam. Kata al-khiyânah juga merupakan kebalikan dari al-amânah.8

Menurut Imam Al-Qurthubi, pengertian al-khiyânah adalah « الْغَدْرُ وَإِخْفَاءُ الشَّيْءِ » (pengkhianatan dan menyembunyikan sesuatu). Di antara yang bermakna demikian adalah firman Allah Swt.,

“Dia mengetahui pandangan mata yang khianat.” (QS Al-Mukmin [40]: 19).

Rasulullah saw. juga bersabda,

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelaparan karena itu adalah seburuk-buruknya teman tidur, dan dari khianat karena itu adalah seburuk-buruknya orang kepercayaan.” (HR An-Nasa‘i). 9

Lalu apa yang dimaksud dengan mengkhianati Allah Swt. dan Rasul-Nya dalam ayat ini? Ada beberapa penjelasan yang dikemukakan oleh para mufasir. Menurut Al-Jazairi dalam Aysar at-Tafâsîr, yang dimaksud adalah menampakkan keimanan dan ketaatan, tetapi melakukan pelanggaran ketika tidak terlihat orang lain.10

An-Nasafi memaknai kalimat mengkhianati Allah sebagai perbuatan yang menelantarkan fardu-fardu-Nya, sedangkan mengkhianati Rasul adalah dengan melupakan beliau.11

Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Az-Zamakhsyari. Menurut Az-Zamakhsyari, mengkhianati Allah Swt. adalah dengan meninggalkan fardu-fardu-Nya dan mengkhianati Rasul saw. adalah dengan tidak mengikuti beliau.12

Kemudian Allah Swt. berfirman,

وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ  ٢٧

“…(juga) janganlah kalian mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian.”

Huruf al-wâwu di sini merupakan al-‘athf. Oleh karena itu, sebagaimana dijelaskan Al-Baghawi dan As-Samarqandi dalam tafsir mereka, ayat ini bermakna: « وَلَا تَخُونُوا أَمَاناتِكُمْ » (dan janglah mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian).

Kata « الْأَمَاناتِ »,  merupakan bentuk jamak dari kata « لْأَمانَة » yang berarti « كل حق يجب أداؤه إلى الغير » (setiap hak yang wajib ditunaikan kepada yang lain).13

Menurut Ibnu ‘Abbas, al-amânah adalah  « الْأَعْمَالُ الَّتِي ائْتَمَنَ الله عَلَيْهَا الْعِبَادَ » (amal-amal yang dipercayakan Allah Swt. kepada hamba). Itu adalah fardu-fardu.14

Dengan demikian, mengkhianati amanah  adalah dengan cara tidak melaksanakan fardu-fardu tersebut, melepaskan diri dari hukum-hukumnya dan dari mengikuti sunahnya serta menyia-nyiakan hak-hak orang lain.15

Ibnu Katsir menegaskan bahwa khianat mencakup semua dosa, baik yang kecil maupun besar, yang lâzim (yang tidak terkait dengan orang lain) maupun yang muta’addi (yang terkait dengan orang lain). Kaum mukmin dilarang melakukan semua itu.16

Kata al-amânât dalam ayat ini merupakan bentuk jamak yang di-mudhaf-kan. Bentuk semacam ini memberikan makna umum. Artinya, semua amanah kalian, baik dalam perkara ibadah, akhlak, muamalah, dan lain-lain.

Dalam bidang muamalah, amanah memiliki cakupan yang amat luas. Dalam adab bergaul, misalnya, menjaga rahasia teman yang dia tidak ingin disebarluaskan merupakan amanah. Rasulullah saw. bersabda,

بِالْحَدِيْثِ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ

“Jika seseorang menceritakan suatu cerita, kemudian menengok (ke kanan dan ke kiri), perkataan itu adalah amanah.” (HR At-Tirmidzi).

Dalam hubungan suami dengan istri, masing-masing di antara mereka ada amanah yang harus ditunaikan. Memberikan nafkah dan menjadi qawwâm merupakan amanah yang wajib ditunaikan oleh suami. Sebaliknya, menaati suami dan menjaga harta beserta kehormatannya merupakan amanah bagi istri.

Amanah juga ada dalam jual beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan muamalah maaliyyah lainnya. Tidak boleh bagi pedagang mengkhianati pembeli dengan mengurangi takaran atau timbangan, menyembunyikan cacat barang,  atau menyamarkan akad. Pembeli pun tidak boleh mengkhianati penjual dengan mengurangi pembayaran atau menunda pembayaran utang ketika jatuh tempo, padahal dia memiliki kemampuan.

Amanah juga terdapat dalam pemegang jabatan dan kekuasaan. Ketika Abu Dzar ra. meminta agar diberikan jabatan, beliau bersabda,

“Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan), padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat, amanah jabatan itu adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan tugas dengan benar.” (HR Muslim).

Rasulullah saw. juga menegaskan bahwa setiap pemimpin akan ditanya atas orang-orang yang diserahi untuk mengurus mereka. Semua amanah itu wajib ditunaikan. Abu Hurairah ra. berkata bahwa  Nabi saw. pernah bersabda,

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakan kepadamu dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu.”  (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Amanah adalah sifat orang-orang beriman, sedangkan khianat adalah sifat orang-orang munafik. Anas bin Malik ra. berkata,

“Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki (sifat) amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya.” (HR Ahmad).

Rasulullah saw. mencela orang yang mengkhianati amanah. Demikian tercelanya hingga mengkhianati amanah merupakan salah satu ciri orang munafik. Abu Hurairah ra. berkata bahwa Nabi saw. pernah  bersabda,

“Tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia ingkar;  dan jika diberi kepercayaan, ia berkhianat.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: « وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ » (sedang kalian tahu). Huruf al-wâwu merupakan al-hâl (keadaan), sedangkan maf’ûl-nya dihilangkan. Artinya: Sedangkan kalian mengetahui buruknya akibat khianat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya dan amanah-amanah yang dipercayakan kepada kalian. Oleh karena itu, kalian harus menjauhi khianat dalam semua jenisnya agar kalian mendapatkan rida Allah Swt. dan pahala-Nya.17

Artinya: Sedangkan kalian tahu bahwa dengan demikian kalian telah berkhianat dan kalian mengetahui apa dampak dari pengkhianatan tersebut. Kalian juga bisa membedakan antara yang baik dan buruk. Kalian juga tahu apa saja kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh khianat. Dengan kata lain, pengkhianatan itu adalah sesuatu yang muncul dari kalian secara sengaja, bukan karena lupa atau lalai.

Semoga kita terjauhkan dari sifat tersebut. Wallahualam bissawab. [MNews/Rgl]

Catatan kaki:

1        Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-’Azhîm, 4 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 41; Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl Al-Qur‘ân, vol. 13 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 481

2        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl Al-Qur‘ân, vol. 13, 480

3        Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 9 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 297

4        Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 9, 297. Lihat juga Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl Al-Qur‘ân, vol. 13, 480

5        Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-’Azhîm, 4, 41

6        Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 2 (Riyadh: Maktabah Abikan, 1998), 213

7        Al-Biqa’i, Nazhm al-Durar, vol. 8 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 261

8        Al-Asfahani, Al-Mufradât fî Gharîb Al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 305

9        Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur‘ân, vol. 7 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 395

10      Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 2 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa Hikam, 2003), 300

11      An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Nafais, tt), 640

12      Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 2, 213

13      Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 9, 296

14      Al-Wahidi, Al-Wasth fî Tafsîr Al-Qur‘an al-Majîd, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1994), 453; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 4, 41; Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 7, 395; Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 306

15      Az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 9, 297

16      Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-’Azhîm, 4, 41

17      Sayyid Thanthawi, At-Tafsîr al-Wasîth li Al-Qur‘ân al-Karîm, vol. 6 (Dar an-Nahdhah, 1998), 81. Lihat juga Al-Harari, Hadâiq ar-Rûh wa ar-Rayhân, vol. 10 (Beirut: Dar Thawq al-Najah, 2001), 389

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *