[Kabar] Apa Gunanya Demo Kalau Nyatanya BBM Tetap Naik? Begini Jawaban Pengamat

[Kabar] Apa Gunanya Demo Kalau Nyatanya BBM Tetap Naik? Begini Jawaban Pengamat

Muslimah News, NASIONAL — Aksi demo penolakan kenaikan harga BBM telah terjadi di mana-mana, bahkan masih ada rencana aksi kembali yang dilakukan elemen mahasiswa dan masyarakat.

Sebagaimana diberitakan, wacana kenaikan harga BBM ini telah diluncurkan jauh hari. Presiden Jokowi beralasan, pemerintah telah berupaya sekuat tenaga melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia. Namun, masalahnya, menurutnya, anggaran subsidi dan kompensasi BBM pada 2022 telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502 triliun. Angka itu diprediksi akan meningkat terus. Apalagi, BBM jenis Pertalite masih dinikmati oleh para pengguna mobil pribadi, padahal itu hanya boleh digunakan oleh rakyat miskin.

Ada hal menggelitik yang disampaikan pengamat kebijakan publik Retno Sukmaningrum, S.T, M.T.. Ia mengutip pertanyaan yang muncul dalam sebuah diskusi kecil kalangan muslimah menyoroti aksi penolakan tersebut, “Apa gunanya demo, kalau nyatanya BBM tetap naik?”

Narasi Dusta Rezim

Menjelaskan hal tersebut kepada MNews, Senin (05/09/2022), Retno menyatakan, justru di situlah titik kritis perlu dilakukannya demo menolak kebijakan tersebut. “Pertama, agar masyarakat sadar bahwa narasi yang dibangun oleh rezim hari ini adalah narasi dusta dan zalim,” ujarnya .

Ia menguraikan, bagi masyarakat yang masih mau berpikir, tentu akan membaca ketidaklogisan kebijakan penguasa.

“Negeri ini negeri yang kaya dengan tambang minyak. Logikanya jika harga minyak dunia naik, yang punya minyak harusnya dapat untung banyak. Kenapa justru sebaliknya sekarang masyarakat harus membeli mahal?” tanyanya retorik. 

Di sinilah masyarakat perlu dipahamkan, imbuhnya, bahwa memang sebagian BBM negeri ini masih ada yang mengimpor.

“Konsekuensinya jika harga minyak dunia naik, maka  harga ditentukan pasar dunia. Namun, sebenarnya kita pun memiliki sumur-sumur minyak yang cukup banyak,” paparnya.

Akan tetapi, Retno menilai, sejak awal dengan perlunya modal besar dan teknologi, justru tambang-tambang minyak kita dikelolakan pada swasta asing dengan model Production Sharing Contract (PSC) atau kontrak bagi hasil. “Pemerintahlah yang mengundang para investor asing ini,” katanya.

Konsekuensi Pengelolaan oleh Asing

Ia pun mendedah konsekuensi pengelolaan tersebut terhadap harga minyak yang dikenakan pada masyarakat. “Pertama, jika tim pemerintah yang melakukan negosiasi tidak benar-benar dapat menaksir potensi kandungan minyak itu dengan akurat sehingga dari awal tidak mampu menghitung porsi bagi hasil yang fair, walhasil, proporsi bagi hasil dalam kontrak sudah tidak adil dari awal,” sebutnya.

Kedua, lanjutnya, sebelum bagi hasil dilaksanakan, PSC mengurangi dulu dengan apa yang disebut biaya pemulihan (cost recovery).

“Konsepnya, ini biaya riil yang dikeluarkan PSC sejak eksplorasi hingga produksi. Namun, bisa saja PSC sangat royal dalam meminta cost recovery ini. Kita tahulah “standar gaya hidup” di dunia perminyakan. Jadi, kesannya cost recovery ini biasa di-mark up. Akibatnya, porsi yang dibagihasilkan otomatis lebih kecil,” bebernya.

Ketiga, sebutnya, nilai angka riil produksi hanya diketahui PSC. “Jadi, negara tidak memiliki akses langsung. Walaupun secara teoritis dapat menyewa auditor independen, tetapi ini jarang dilakukan. Akibatnya, angka riil produksi ini sebenarnya rawan dimanipulasi,” ungkapnya.

Akhirnya, ia menyatakan, dengan model pengelolaan tersebut, jelas yang bakal untung adalah para investor, sebaliknya rakyat “buntung” alias merugi.

Beban Pemerintah?

Selanjutnya, Retno menyampaikan alasan kedua pentingnya aksi penolakan ini. “Demo juga merupakan bentuk penyadaran di tengah umat agar mereka tidak termakan dengan narasi rezim yang mendudukkan mereka sebagai beban pemerintah,” tegasnya.

Ia menyayangkan, seolah rakyat “morotin” pemerintah dalam bentuk subsidi. “Padahal, memang merupakan tugas pemerintah untuk mengurusi rakyat, mengelola, dan amanah terhadap harta rakyat,” tukasnya. 

Retno mengingatkan, pemerintah bukanlah makelar yang menjual harta rakyat kepada swasta dalam negeri maupun asing. “Kalaupun makelar, rakyat yang punya harta mestinya masih akan dapat untung. Namun, nyatanya harta rakyat yang dikelola tidak kembali ke rakyat, tetapi dikorupsi dan memperkaya diri sendiri. Sungguh zalim,” kritiknya.

Memang, ia membenarkan, demo sering kali berujung tidak terpenuhinya tuntutan aksi. “Kita sadar betul sedang berhadapan dengan rezim yang bebal, buta, dan tuli. Namun, aksi menyampaikan kebenaran di hadapan kebatilan dan kezaliman ini tetap harus dilakukan,” ujarnya menekankan.

Memenuhi Seruan

Hal ini, ungkapnya, semata untuk memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya agar tetap lantang menyuarakan kebenaran di hadapan kemungkaran.

“Sebagaimana hadis riwayat Muslim, ‘Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Apabila tidak mampu, maka hendaklah ia mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman.,” sitirnya.

Apalagi, Retno menasihati, sungguh ngeri ancaman Allah ketika sikap bisu dan tidak peduli justru mendominasi di saat kemungkaran menguasai kehidupan hari ini.

“Allah berfirman dalam surah Al-Anfal ayat 25, ‘Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.’,” kutipnya.

Oleh karena itu, ia berpesan, teruslah berteriak menyuarakan kebenaran. “Tidak ada yang sia-sia di hadapan Allah, meskipun tuntutanmu tidak bersambut. Setiap seruan kebenaran, semoga menjadi opini yang makin membesar. Membuat umat makin sadar, rezim dalam sistem kapitalisme hari ini bukan habitat yang layak bagi umat mulia. Umat mulia hanya layak hidup dalam sistem mulia,” tandasnya. [MNews/Ruh]

Foto sampul: PKAD

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *