Tarif Listrik Naik, Buah dari Kebijakan Liberal

Tarif Listrik Naik, Buah dari Kebijakan Liberal

Penulis: Juanmartin, S.Si., M.Kes.

Muslimah News, OPINI — Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), resmi menetapkan kenaikan tarif listrik untuk golongan kaya seperti R2 dan R3 atau golongan 3.500 Volt Ampere ke atas. Adapun kenaikan tarifnya menjadi Rp1.699 per Kwh atau naik 17,64% dari sebelumnya Rp1.444,70 per Kwh. Kenaikan tarif listrik ini resmi berjalan pada 1 Juli 2022.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan (Dirjen Ketenagalistrikan) Kementerian ESDM Rida Mulyana menyebutkan khusus untuk hari ini pihaknya fokus kepada tarif listrik golongan yang nonsubsidi, di mana sejatinya terdapat 13 golongan tarif listrik. (CNBC Indonesia, 14/6/2022)

Rida menjelaskan, pelanggan listrik PLN nonsubsidi saat ini ada 13 golongan. Sementara, penyesuaian ini hanya diterapkan pada 5 golongan. Pemerintah berdalih, selama ini bantuan pemerintah diberikan untuk semua golongan tarif pelanggan dalam bentuk subsidi maupun kompensasi. Konon, sejak tahun 2017, tidak pernah ada kenaikan tarif listrik untuk seluruh golongan tarif pelanggan.

Meski demikian, kenaikan tarif ini mendapat reaksi dari masyarakat termasuk ekonom Rizal Ramli. Meski berdalih bahwa tarif listrik tidak pernah naik selama lima tahun terakhir, tetapi kondisi ini telah diprediksi, mengingat liberalisasi masif di bidang kelistrikan.

Liberalisasi Kelistrikan

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyatakan, penyesuaian tarif yang pemerintah lakukan bertujuan untuk mewujudkan tarif listrik yang berkeadilan. Negara memberikan kompensasi kepada masyarakat yang berhak, sementara masyarakat mampu membayar tarif listrik sesuai keekonomian.

Meski demikian, kebijakan ini sesungguhnya merupakan buah dari kebijakan pemerintah yang liberal. Hadirnya pihak swasta dalam mengelola listrik di negeri ini berakar dari sistem kapitalisme liberal. Bahkan, pemerintah sendirilah yang merumuskan kebijakan dengan memberikan ruang kepada swasta untuk terlibat dalam memberikan pelayanan kelistrikan kepada rakyat. 

Sejak 2002, pemerintah mengeluarkan UU No. 20 yang menunjukkan adanya keinginan  pemerintah untuk memprivatisasi sektor kelistrikan. Dalam UU tersebut, pemerintah bermaksud menyerahkan pengurusan sektor kelistrikan kepada swasta. Untungnya, UU tersebut batal karena adanya tuntutan judicial review dari elemen masyarakat.

Upaya liberalisasi listrik berlanjut pada 2009. Pemerintah merumuskan UU mengenai ketenagalistrikan dan menyebutkan bahwa negara bukanlah pemain tunggal dalam mengelola kelistrikan. Pihak swasta boleh terlibat dalam menyediakan energi listrik bagi rakyat. Kebijakan ini memberi atmosfer kondusif bagi para pebisnis.

Selanjutnya setelah UU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan dan berlaku pada November 2020, negara memberikan kemudahan investasi bagi investor swasta dalam negeri maupun asing dalam bidang energi listrik. Alhasil, tarif listrik naik di tingkat konsumen karena keterlibatan swasta.

Hal ini kian menguatkan cengkeraman swasta –termasuk asing dan aseng— terlebih setelah pembangunan megaproyek pembangkit listrik 35.000 MW pada 2015 dengan skema PPA (Power Purchase Agreement). PLN wajib tetap membayar energi listrik yang tidak terjual sesuai ketentuan PPA yang menjadi kesepakatan bersama pihak swasta.

Alhasil, kebijakan menaikkan harga listrik secara bertahap adalah pilihan telak.  Kebijakan ini pemerintah tempuh semata agar APBN tidak terbebani dalam membayar harga jual listrik kepada swasta. Ini pula yang menjadi akal-akalan pemerintah dalam menetapkan kenaikan tarif listrik per 1 Juli 2022.

Kesalahan Sistemis

Problem di atas sesungguhnya terjadi karena dua hal. Pertama, alih tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Dalam kapitalisme, negara memberikan celah pihak swasta untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Tentu saja, spirit swasta dalam memberikan pelayanan adalah spirit bisnis alias mencari keuntungan. Dengan berorientasi pada keuntungan dalam pelayanan, wajar jika akhirnya pemerintah menarik subsidi listrik secara bertahap. Melalui skema dengan menggunakan berbagai istilah yang soft, pemerintah menghapus subsidi dan menaikkan tarif listrik bagi masyarakat.

Kedua, konsep kepemilikan dalam sistem kapitalisme membuat aset-aset strategis negara dapat dikelola bahkan dimiliki oleh individu tertentu. Apa konsekuensi saat kepemilikan umum beralih menjadi kepemilikan pribadi? Ya, tentu saja aroma bisnis yang menyeruak. Di sisi lain, rakyat justru harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mengakses layanan yang mereka inginkan.

Kondisi ini kian parah karena masalah internal PLN yang selama ini berwenang dalam mengelola listrik negara. Belum lagi sarana dan prasarana serta pembangunan infrastruktur kelistrikan kian menambah karut-marut tata kelola listrik serta pendistribusiannya di tengah-tengah masyarakat.

Solusi Islam

Pelayanan yang negara berikan dalam sistem pemerintah Islam berangkat dari kesadaran bahwa tugas negara –dalam hal ini penguasa sebagai pihak berwenang—adalah mengurus rakyat (ri’ayah syu’unil ummah) dan menjadi pelayan/penggembala rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/pemimpin adalah laksana penggembala dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyat (yang digembalakannya).” (HR Imam Al-Bukhari)

Atas hal ini, maka setiap pemimpin dalam Islam akan menempuh berbagai upaya dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Dalam memenuhi kebutuhan rakyat, mereka akan bersandar pada syariat dan menjalankan amanah kepemimpinan dalam suasana keimanan.

Syariat Islam menegaskan bahwa negara tidak boleh mengalihkan tanggung jawabnya kepada individu atau pihak-pihak tertentu. Sebab, pengalihan tanggung jawab tidak lain merupakan bentuk kelalaian dalam menjalankan amanah. Dalam sistem kapitalisme, negara justru hanya berfungsi sebagai regulator yang menjembatani kepentingan para pebisnis alih-alih mengelola aset negara secara mandiri dalam memenuhi kebutuhan rakyat.

Selanjutnya, syariat mengatur konsep kepemilikan dengan membagi tiga jenis kepemilikan yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Atas dasar ini, individu tidak akan memiliki kewenangan dalam memiliki apa pun yang terkategori sebagai harta milik umum.

Listrik termasuk harta milik umum, karena seluruh rakyat menjadikannya sebagai kebutuhan asasi. Atas indikasi tersebut, negara tidak akan membolehkan individu untuk memiliki dan mengelolanya.

Negaralah yang memiliki wewenang untuk mengelola kepemilikan umum ini dan mendistribusikannya secara merata kepada seluruh rakyat, miskin ataupun kaya. Sebab, seluruh rakyat memiliki hak yang sama dalam pemenuhan kebutuhan mendasarnya.

Hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme. Kenaikan tarif dasar listrik pada beberapa golongan pelanggan dengan dalih masyarakat mampu dan mendapat layanan kelistrikan tanpa subsidi sesungguhnya merupakan kebijakan zalim. Sebab, selain kondisi rakyat yang telah terbebani masalah ekonomi lainnya, kebijakan tersebut akibat liberalisasi dan privatisasi aset strategis negara.

Khatimah

Perombakan tata kelola inilah yang seharusnya pemerintah tempuh. Banyak ekonom yang telah bersuara atas kebijakan liberal khas kapitalisme. Sayangnya, sistem positif ini masih terus dipertahankan meski kian tampak kerusakannya.

Jika rakyat terus merasakan impitan hidup di bawah sistem kapitalisme, langkah terbaik adalah mulai mendiskusikan konsep Islam dalam mengelola kebutuhan rakyat secara sempurna dan menyeluruh. [MNews/Has]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *