Moral Pemerintah Ambruk? Oligarki Lahir dari Demokrasi

Moral Pemerintah Ambruk? Oligarki Lahir dari Demokrasi

Perselingkuhan penguasa dan pengusaha pun bukan hanya terjadi di Indonesia, hampir di seluruh negara di dunia mengalami hal yang sama. Oleh karenanya, yang patut kita kritisi bukan sekadar moral yang hilang dari para pejabat, tetapi juga sistem yang melanggengkan praktik ini.

Penulis: Kanti Rahmillah, M.Si.


Muslimah News, OPINI — Ekonom senior Faisal Basri memprediksi pemerintah Joko Widodo-Ma’ruf Amin akan ambruk secara moral sebelum 2024. Pasalnya, mayoritas elite di lingkaran pemerintah sudah tidak bisa menutupi skandal-skandal yang telah mereka lakukan. Apalagi konflik kepentingan yang makin tercium tajam menjadikan “moral” mati suri ditelan keserakahan.

Faisal menyebut, oligarki itu mirip dengan koalisi jahat sehingga jika koalisi jahat itu tidak langgeng, mereka akan saling bukan-bukaan karena pembagiannya tidak merata. “Teman-teman KPK tahulah, ya, yang biasa enggak dapet, melapor,” ujarnya. Ia pun memprediksi, saat ini elite di lingkaran oligarki sedang dalam fase buka-bukaan dan akan saling membuka borok satu sama lain. (tempo.co, 28/1/2022)

Hal ini bisa jadi manuver politik untuk Pilpres 2024 atau memang watak asli para pemangku kebijakan yang hanya memikirkan harta dan kuasa. Bau busuk perilaku elite berkuasa memang makin pekat tercium rakyat. Hati nurani, rasa malu, empati, tanggung jawab, semua seolah barang langka yang sulit didapat. Lantas, apa yang menjadi penyebab dan bagaimana cara agar para pejabat kembali memiliki karakter seorang pemimpin sejati?

Despotic Leviathan

Konflik kepentingan yang paling berbahaya adalah kala pejabat negara ikut berbisnis. Sebenarnya tidak masalah pejabat melakukan bisnis karena berbisnis dan menyelesaikan amanah umat adalah amalan yang terpisah. Namun, yang menjadi masalah adalah adanya abuse of power (penyalahgunaan wewenang), yaitu ketika si pejabat menggunakan jabatannya untuk berbisnis.

Akhirnya, jika negara dan pasar berkolaborasi, batasannya akan menjadi blur atau bias. Bahkan, Faisal melihat kekuatan negara dan korporasi di Indonesia sudah menyatu sehingga negara berpotensi menjadi despotic leviathan, yaitu raksasa zalim yang memiliki kekuatan luar biasa. Misalnya saja dalam kepengurusan Kamar Dagang dan Industri (Kadin).

Terbaru, komposisi kepengurusan Kadin sebagai institusi market/korporasi malah diisi oleh pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif. Seperti Ketua MPR Bambang Soesatyo yang merangkap menjadi pengurus Kadin. Pun, Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo yang juga sekaligus menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Kadin. (kumparan.com, 29/1/2022)

Selain polemik struktural Kadin, potensi negara menuju despotic leviathan pun terlihat dari banyaknya proyek-proyek kontroversi yang dibangun menggunakan dana APBN. Sebut saja proyek Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur dan proyek Kereta Cepat Jakarta—Bandung. Dengan mudahnya menggunakan dana APBN. Lantas, siapa yang membuat kebijakan demikian jika bukan para pemangku kebijakan?

Padahal, kedua proyek besar tersebut banyak ditentang oleh masyarakat karena kental dengan kepentingan korporasi dan oligarki. Namun, alih-alih dihentikan, pembangunannya malah menggunakan dana APBN yang tanpa adanya proyek-proyek itu pun sudah defisit. Inilah yang menjadikan rakyat sengsara berlipat-lipat. Sudahlah pajak pada rakyat makin besar, dana APBN pun tidak mengalir deras pada kepentingan rakyat.

Demokrasi Lahirkan Pemimpin Amoral

Kongkalikong antara penguasa dan pengusaha bukan terjadi di era Jokowi saja. Setidaknya, pada masa orde baru kita sudah mengenal istilah konglomerasi bisnis Cina. Konglomerat-konglomerat Cina saat itu berkerumun di sekitar penguasa. Walhasil, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah kerap mempermudah pengusaha untuk mendulang keuntungan yang melimpah.

“Perselingkuhan” penguasa dan pengusaha pun bukan hanya terjadi di Indonesia, hampir di seluruh negara di dunia mengalami hal yang sama. Oleh karenanya, yang patut kita kritisi bukan sekadar moral yang hilang dari para pejabat, tetapi juga sistem yang melanggengkan praktik ini.

Sistem demokrasilah yang paling bertanggung jawab terhadap lahirnya para pemimpin yang amoral. Kontestasinya yang sangat mahal, menyebabkan keterlibatan cukong begitu besar. Bukan sebuah rahasia lagi jika kandidat ingin menang harus menyiapkan cuan yang begitu besar. Inilah yang nantinya akan menghantarkan pada politik transaksional.

Jual-beli jabatan dan jual-beli kebijakan menjadi transaksi “keseharian”. Pengusaha membutuhkan regulasi yang memihak pada bisnis mereka. Sedangkan, kandidat membutuhkan cuan yang melimpah milik para pengusaha untuk bisa memenangkan pertandingan. Simbiosis mutualisme pada mereka telah nyata menjadi parasit bagi umat. Keberadaan mereka sangat mengganggu karena senantiasa menghisap sari-sari makanan milik inangnya (umat).

Demokrasi Lahirkan Oligarki

Selain menghantarkan pada perselingkuhan pengusaha dan penguasa, sistem demokrasi pun yang paling bertanggung jawab terhadap lahirnya para oligarki. Asasnya yang sekuler menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan maka wakil rakyat yang terpilih, bisa membuat kebijakan apa pun tanpa batasan.

Termasuk kebijakan yang melindungi kepentingan mereka, seperti wacana kebijakan presiden tiga periode. Patut diduga hal tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap oligarki karena mereka harus memastikan agar kekuasaan hanya berputar pada “klan” mereka saja. Inilah yang menyebabkan oligarki terus menggurita dan kuat mencengkeram di setiap sektor.

Pembagian kekuasaan menjadi yudikatif, eksekutif, legislatif yang diciptakan untuk mencegah terjadinya kekuasaan tunggal, pada kenyataannya malah membentuk oligarki. Lihatlah bagaimana hakim mahkamah konstitusi sering terlibat dalam skandal politik.

DPR sebagai lembaga legislasi sering dianggap memuluskan kepentingan oligarki. Sebut saja UU Omnibus Law yang disebut para pakar merupakan UU yang menguntungkan oligarki. Eksekutif  pun sama, misalnya dengan “memukul” ormas yang berbeda pendapat dan menstigmanya dengan label “pemberontak”.

Oleh karena itu, menjadi tidak heran jika politik akomodasi sangat kental dalam sistem demokrasi. Rezim yang berkuasa lebih baik membagikan “kue” politiknya daripada harus “mengurusi” oposisi yang sering kali berbeda pandangan. Terciptalah koalisi gemuk dalam tubuh parlemen. Namun, anggota koalisi yang memiliki kepentingan masing-masing akan saling mencabik jika keadaan tidak menguntungkan mereka.

Sungguh hina apa yang dilakukan para pejabat demi mempertahankan posisinya sehingga slogan “dari, oleh, dan untuk rakyat” hanya berlaku bagi segelintir elite berkuasa. Oleh karenanya, telah jelas bahwa sistem demokrasilah yang menumbuhsuburkan praktik oligarki dan melahirkan para pejabat amoral. 

Penguasa Amanah

Berbeda dengan sistem demokrasi yang akan senantiasa melahirkan oligarki dan penguasa yang amoral, Islam dengan aturannya yang paripurna akan melahirkan penguasa yang amanah dan mencegah terjadinya praktik oligarki oleh segelintir elite.

Keyakinan kuat ini setidaknya disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, karena kedaulatan berada di tangan syarak. Artinya, sumber kebijakannya adalah Al-Qur’an dan Sunah yang sudah tidak diragukan lagi kebenarannya. Penguasa menyandarkan seluruh keputusannya pada syarak sehingga akan tercipta suatu kebijakan yang bebas dari kepentingan segelintir elite.

Kedua, landasan dalam beramal adalah akidah Islam, termasuk menjadi pemimpin atau anggota partai politik. Inilah yang menjadi jaminan akan terlahir penguasa yang amanah karena motivasi mereka adalah pahala, bukan materi. Alhasil, yang akan mencalonkan diri adalah mereka yang memiliki kapabilitas tinggi dan merasa mampu menyelesaikan amanah umat.

Sebab, bagi kaum muslim, jabatan adalah ladang pahala yang akan menghantarkan mereka pada surga. Di saat yang sama, sekaligus menghantarkan mereka pada neraka jika nyatanya lalai dalam mengembannya. Oleh karena itu, bagi individu yang memiliki niat selain Allah Swt. atau lemah dalam memimpin, mereka tidak akan berani mencalonkan diri.

Ketiga, fungsi penguasa dalam Islam adalah melindungi dan mengurus urusan umat sehingga fokus kerja mereka adalah mengakomodir kepentingan umat, bukan korporat. Kontestasi yang tidak membutuhkan biaya mahal pun akhirnya menegasikan peran para cukong untuk terlibat. Inilah yang menjadi jaminan kebijakan yang lahir akan selalu pro umat.

Oleh karena itu, wahai kaum muslim, sesungguhnya Indonesia akan benar-benar ambruk dari segala sisi jika masih terus dipaksakan menerapkan sistem demokrasi. Sebab pada faktanya, demokrasilah yang menjadi biang kerok atas seluruh permasalahan. Sungguh, keadilan dan kesejahteraan secara merata hanya bisa dirasakan dalam sistem pemerintahan Khilafah Islamiah. Wallahualam. [MNews/Has]

Share

One thought on “Moral Pemerintah Ambruk? Oligarki Lahir dari Demokrasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *