Ikatan Pernikahan Mempererat Tali Kekerabatan

Ikatan Pernikahan Mempererat Tali Kekerabatan

Penulis: Ummu Nashir N.S.

Muslimah News, KELUARGA — Pernikahan bukanlah perkara yang main-main dalam agama Islam. Allah Swt. menyebut pernikahan sebagai sebuah perjanjian yang kuat dan kukuh (mitsaqan ghalizha). Allah Swt. menyebutkannya dalam QS An-Nisa: 21, “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.”

Dari ayat ini, kita bisa melihat bahwa ikatan yang kuat merupakan janji suci antara seorang laki-laki dan perempuan dalam simpul pernikahan yang sah. Oleh karenanya, sebagai pasutri, keduanya harus selalu menjaga ikatan itu agar tetap kuat, langgeng, dan bahagia.

Salah satu rukun nikah dalam Islam adalah adanya wali, khususnya bagi mempelai perempuan. Dengan demikian, baik secara langsung atau tidak, sesungguhnya pernikahan dalam Islam tidak hanya melibatkan dua individu (mempelai laki-laki dan perempuan) saja, tapi juga keluarga besar dari kedua belah pihak. Setelah ada ikatan pernikahan, biasanya dua keluarga besar ini memiliki ikatan yang kuat.

Pernikahan Menyatukan Dua Hati Manusia dan Dua Keluarga

Ketika pernikahan syar’i terjadi, pada saat itu terjadi pula penyatuan dua sosok manusia yang berbeda, baik dari segi karakter, latar belakang keluarga, dan budaya. Sering kali terjadi di masyarakat, bersatunya perbedaan tersebut justru menjadikannya indah. Nabi saw. sebagaimana manusia biasa pada umumnya, juga melakukan pernikahan dan menikahkan anak-anaknya. Biasanya dalam setiap pernikahan yang dihadiri, Rasulullah saw. senantiasa mengingatkan kedua mempelai bahwa pernikahan merupakan salah satu cara untuk mempererat tali kekerabatan. Begitu pula ketika Baginda Rasulullah saw. menikahkan putrinya, Fatimah Az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib.

Ya, memang melalui pernikahan, Allah Swt. tidak hanya menautkan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Akan tetapi, Allah juga menautkan dan mempererat silaturahmi dan kekerabatan di antara kedua keluarga besar tersebut. Sebelum menikah, kita hanya memiliki satu keluarga. Akan tetapi setelah menikah, kita memiliki dua keluarga. Pernikahan dapat mempererat tali kekerabatan antara pihak keluarga besar suami dengan pihak keluarga besar istri. Dengan demikian, akan memperkuat kelanggengan rasa cinta dan kasih sayang di antara kedua belah pihak keluarga.

Sesungguhnya, syariat Islam yang diturunkan Allah Swt. melalui pernikahan tidak hanya menjaga jiwa (hifdzun nafs). Akan tetapi, syariat Islam juga menjaga kemuliaan keturunan manusia secara nasab (hifdzun nasl). Oleh karena itu, banyak hukum atau aturan Islam yang berkaitan dengan pergaulan hidup atau interaksi sosial. Adanya aturan ini juga untuk melanggengkan kekerabatan karena manusia terlahir sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Di sinilah pentingnya menjaga kekerabatan yang secara bahasa serumpun dengan kata karib sebagai serapan dari Bahasa Arab yang bermakna dekat atau sesuatu yang didekatkan.

Seseorang bisa dekat atau didekatkan dengan adanya ikatan pernikahan atau sebab lainnya. Namun, tidak jarang kekerabatan merenggang, bahkan terputus karena berbagai keadaan atau persoalan kehidupan tanpa penyelesaian yang benar sesuai syariat. Tidak dapat dimungkiri bahwa manusia menghadapi berbagai persoalan hidup, terlebih ketika aturan hidupnya tidak mampu memberikan solusi secara mendasar dan menyeluruh. Ini sebagaimana yang terjadi kini ketika sistem kehidupan tidak diatur oleh Islam, tetapi diatur oleh sistem sekuler kapitalisme, sistem aturan yang dibuat oleh manusia.

Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini terbukti tidak solutif, tidak menjamin terpenuhinya berbagai kebutuhan hidup manusia, seperti kebutuhan dasar dan pemenuhan naluri manusia secara benar. Kapitalisme telah menyebabkan retaknya hubungan kekerabatan, semisal karena muamalah, utang piutang, dan tidak terjaganya nasab karena pergaulan bebas. Adanya tali pernikahan dalam kapitalisme, alih-alih merekatkan tali persaudaraan dan kekerabatan, sebaliknya malah merenggangkan karena sifat materialisme dan individualismenya.

Pandangan Islam tentang Silaturahmi, Seperti Apa?

Silaturahmi adalah amalan yang diperintahkan oleh Allah Swt. bagi kaum muslimin. Ini sebagai upaya untuk menyambung ikatan kekerabatan di antara keluarga, baik yang dekat hubungan darahnya, jauh karena nasab (garis keturunan), atau karena pernikahan. Menjaga dan mempererat tali silaturahmi merupakan kunci surga. Ini sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturahmi.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam suatu riwayat, Rasulullah saw. juga menjelaskan tentang silaturahmi guna menambah pemahaman umatnya, “Silaturahmi bukanlah yang saling membalas kebaikan. Tetapi seorang yang berusaha menjalin hubungan baik meski lingkungan terdekat (relatif) merusak hubungan persaudaraan dengan dirinya.” (HR Bukhari).

Bentuk silaturahmi bukan sekadar berbagi materi. Namun seperti dikatakan Imam An-Nawawi, bahwa silaturahmi adalah kebaikan terhadap kerabat sesuai keadaan orang yang hendak menghubungkan dan keadaan orang yang hendak dihubungkan. Bisa berupa kebaikan berbagi harta, bisa juga berupa bantuan tenaga, pemikiran, terkadang sekadar mengunjunginya, memberi salam, dan cara lainnya. (Syarah Shahih Muslim II, hal. 201).

Keberkahan Mempererat Tali Kekerabatan

Islam sangat menganjurkan untuk menyambungkan tali persaudaraan atau kekerabatan. Silaturahmi adalah suatu konsep penting dalam syariat Islam untuk merekatkan hubungan kekerabatan. Silaturahmi juga dipandang sebagai salah satu aspek utama dalam meraih ketakwaan bagi seorang muslim. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat sejuta hasad-menghasad, selain dari orang yang senantiasa berusaha untuk saling menyambung silaturahmi.” (HR Al-Hakim). 

Dalam hadis yang lain, dari Jubair bin Muth’im ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahim.” (HR Bukhari Muslim). “Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturahmi. (HR Bukhari Muslim). Hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diperluas rezekinya, hendaklah ia saling menyambung silaturahmi.” (HR Bukhari).

Hadis-hadis ini menjelaskan keutamaan silaturahmi, di antaranya Allah akan melimpahkan kualitas pada umur kita dan membuka pintu rezeki. Sebaliknya, apabila kita memutuskan tali silaturahmi, murka Allah sangat besar. Oleh karena itu, jangan pernah kita memutuskan tali silaturahmi, karena jalan kita untuk meraih surga akan terhalang.

Hadis-hadis ini juga menunjukkan bahwa hubungan yang baik dengan sesama saudara atau kerabat dan menyambungkan tali silaturahmi adalah salah satu kunci untuk mendapatkan keberkahan dalam rezeki. Ketika seseorang menjalin hubungan baik dengan keluarga, baik karena nasab atau keturunan, maupun karena ikatan pernikahan, ini akan menjadi jalan keberkahan rezeki. Berkah dalam arti bertambahnya nilai kebaikan, bukan sekadar banyaknya materi, karena setiap orang telah ditentukan jatah rezekinya.

Sungguh, betapa dahsyatnya keutamaan silaturahmi atau menyambung tali kekerabatan. Itulah sebabnya kita diperintahkan Allah untuk menyambung tali kekerabatan. Sebaliknya, kita diharamkan memutuskan silaturahmi. Oleh karenanya, sudah seharusnya kita senantiasa melakukan silaturahmi dengan keluarga. Kita bisa saling berkunjung atau berkomunikasi intens melalui berbagai sarana telekomunikasi. Hal ini bisa kita lakukan setiap waktu, terlebih saat Idulfitri. Ini merupakan momen yang sangat baik, karena biasanya anggota keluarga sedang berkumpul.

Hanya saja harus dipahami oleh setiap keluarga muslim bahwa menjaga kekerabatan berbeda dengan ashabiyah, yaitu fanatisme terhadap suku atau golongan. Menjalin silaturahmi tidak lain adalah menyambungkan tali kekerabatan. Di dalam Islam terdapat dua jenis kekerabatan, yaitu kerabat yang mewarisi seseorang jika orang tersebut meninggal.dunia. Mereka dikenal dengan istilah dzawil furudh. Ada juga kerabat yang memiliki hubungan silaturahim (dzawil arham).

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani di dalam Kitab An-Nizham Ijtma’i fi al-Islam menjelaskan bahwa mereka yang termasuk kelompok dzawil arham adalah kerabat yang terdiri dari sepuluh orang. Mereka adalah saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, kakek dari pihak ibu, anak laki-laki dari anak perempuan, anak laki-laki dari saudara perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari saudara laki-laki ayah, saudara perempuan ayah, saudara laki-laki ibu yang seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan juga yang menjadi keturunan salah seorang dari mereka.

Khatimah

Demikianlah, telah sangat jelas bahwa pernikahan tidak hanya menggabungkan dua insan manusia dalam sebuah ikatan yang kuat. Akan tetapi, pernikahan juga menggabungkan dua keluarga sehingga terjalin ikatan kekerabatan. Pernikahan juga merupakan bagian dari silaturahmi. Dalam syariat Islam, silaturahmi adalah aspek penting untuk menjaga kekerabatan bagi kehidupan seorang muslim. Hubungan yang baik dengan sesama tidak hanya menciptakan lingkungan sosial yang sehat, tetapi juga berkontribusi pada meningkatkan rezeki dan memanjangkan umur. Dalil-dalil tentang hal ini telah sangat rinci dan jelas. 

Sudah seharusnya setiap pasutri terus berusaha memperkuat tali kekerabatan dengan keluarga pasangannya. Ini karena menjaga silaturahmi adalah suatu tindakan yang diperintahkan oleh Allah Swt. dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. untuk melanggengkan persaudaraan. Tali kekerabatan yang kuat akan mendukung tercapainya kesuksesan kehidupan di dunia dan akhirat. Wallahualam bissawab. [MNews/YG]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *