Mahalnya Gula Akibat Kacaunya Tata Niaga

Mahalnya Gula Akibat Kacaunya Tata Niaga

Penulis: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si.

Muslimah News, OPINI — Berdasarkan data panel harga pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada Selasa (23-4-2024) pukul 13.01 WIB, dari 20 komoditas terdapat dua komoditas yang harganya naik dan 18 komoditas turun. Komoditas yang naik harga ialah bawang merah dan minyak goreng curah. Sementara itu, harga beberapa komoditas seperti cabai merah keriting, bawang putih bonggol, ikan kembung, beras premium, dan gula konsumsi menurun dibandingkan harga kemarin. (Katadata, 23-4-2024).

Harga Gula Ugal-ugalan

Khusus untuk gula, meski menurut data Bapanas (23-4-2024) terpantau sedikit turun (Rp18.070 per kg), tetapi dua pekan terakhir ini terpantau naik ugal-ugalan. Sebagai informasi, per Jumat (19-4-2024), harga gula rata-rata harian nasional di tingkat eceran naik Rp20 ke Rp18.090 per kg. Sepekan sebelumnya (12-4-2024), harga gula masih Rp17.950 per kg.

Secara rata-rata bulanan, harga gula saat ini melampaui harga tertinggi pada 2023 yang tercatat mencapai Rp17.270 per kg pada Desember. Pada April 2024, harga rata-rata bulanan nasional tercatat di Rp17.950 per kg, naik dari harga Maret 2024, yakni Rp17.820 per kg. Lonjakan harga gula ini berlanjut sejak Agustus 2023 lalu, yang tercatat masih di Rp14.700 per kg. Artinya, harga rata-rata bulanan sudah mengalami kenaikan sekitar 22,10%.

Perihal ini, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menyebut, kenaikan harga gula di tingkat konsumen terjadi karena ketersediaannya yang kurang, ditambah pemerintah tidak memiliki stok atau cadangan gula nasional. Setiap kali impor pun pemerintah ternyata tidak menyisihkan simpanan stok gula untuk cadangan. Akibatnya, saat harga gula tengah bergejolak seperti saat ini, pemerintah tidak bisa melakukan intervensi harga.

Permainan Harga

Mengutip CNBC Indonesia (18-4-2024), pemerintah melalui Bapanas telah menetapkan harga acuan pembelian (HAP) gula di tingkat konsumen yang semula Rp16.000 per kg kini menjadi Rp 17.500 per kilogram. Sementara khusus untuk wilayah Maluku; Papua; dan wilayah Tertinggal, Terluar, dan Perbatasan, ditetapkan sebesar Rp18.500 per kg.

Keputusan kenaikan harga ini menyusul adanya permintaan dari Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) untuk merelaksasi harga gula karena pihaknya mengaku sulit menjual gula sesuai HAP yang ditentukan, sedangkan harga beli dari produsen gula sudah tinggi. Aprindo menilai jika relaksasi tidak diberikan kelangkaan gula akan terjadi di ritel. Untuk itu, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menyebut penetapan HAP gula yang baru ini akan hingga 31-5-2024. Dengan demikian, ia memastikan gula tidak akan langka di ritel.

Mencermati gejolak harga gula ini tampak jelas adanya fenomena permainan harga. Selain sebagai dampak dari ketiadaan cadangan gula nasional beserta kendali di pihak pemerintah, pedagang (besar) malah jadi begitu mudah menekan pemerintah sehingga dengan kata lain lagi-lagi para kapitalis yang ternyata berperan lebih kuat mengendalikan fluktuasi harga gula di pasaran.

Jelas, persoalan gula bukan lagi sekadar stok dan mahalnya harga. Lebih dari itu, ada persoalan sistemis yang turut memengaruhi, yakni kacaunya tata niaga gula di pasaran yang ternyata tersebab intervensi pemodal di tingkat kebijakan politik gula. Tidak heran, solusi yang diambil oleh pemerintah juga pada akhirnya memihak pengusaha, bukan malah rakyat luas.

Industri Strategis

Gula adalah salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Gula juga termasuk salah satu kebutuhan pokok masyarakat, khususnya sebagai sumber kalori. Peran penting gula juga dapat dilihat dari sisi ketahanan dan keamanan pangan, penyerapan investasi, serta luasnya keterkaitan dalam industri hilir, seperti industri makanan, minuman, gula rafinasi, farmasi, kertas, particle board, dan bio-energy.

Permintaan gula dalam negeri sendiri terus meningkat. Jika dibandingkan dengan negara produsen gula dunia lainnya, tingkat efisiensi industri gula Indonesia pada saat ini menempati urutan ke-15 dari 60 negara produsen gula dunia. Potensi ini tentu menarik bagi dunia bisnis di dalam negeri sendiri.

Demikian halnya, industri gula sejatinya adalah industri yang efektif dalam meningkatkan pendapatan tenaga kerja dan rumah tangga di wilayah perdesaan. Industri gula juga sangat terkait dengan sumber daya lokal, sehingga dapat dikembangkan sebagai high value commodity bagi pemberdayaan ekonomi rakyat.

Oleh sebab itu, keberadaan industri gula adalah aset ekonomi dan sekaligus sebagai aset sosial yang penting. Realitas ini semestinya membawa konsekuensi bagi pemerintah untuk menjamin ketersediaan gula di pasar domestik dengan tingkat harga yang terjangkau bagi seluruh kelompok pendapatan masyarakat.

Tata Niaga Gula dalam Khilafah

Secara global, selain sebagai komoditas strategis, gula adalah komoditas yang sarat politis. Tingkat kepentingan terhadap peranan gula tecermin dalam upaya setiap negara di dunia untuk melindungi produksi gula domestiknya dari pengaruh internasional.

Semestinya, pemerintah kita berandil lebih besar dibandingkan saat ini. Namun, besarnya kemaslahatan umat di balik sektor pergulaan, malah membuat pemerintah lebih memihak para kapitalis.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, potensi keuntungan yang dapat dikeruk dari komoditas gula memang sangat tinggi. Belum lagi seputar impor gula yang juga menjadi lahan subur bagi kalangan kapitalis lain yang berperan sebagai importir yang tentu memperoleh rente impor ketika kebutuhan gula nasional mengandalkan impor.

Semua itu jelas berbeda dengan tata niaga gula berdasarkan ideologi Islam yang diterapkan oleh Khilafah Islamiah. Khilafah memahami bahwa gula adalah salah satu bahan pangan pokok yang menjadikannya komoditas strategis. Khilafah akan mengurus gula sebagai bagian dari urusan masyarakat secara keseluruhan.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Melalui mandat ini, Khilafah berperan menjamin terpenuhinya kebutuhan gula rakyat, baik skala rumah tangga maupun industri, sekaligus menjamin ketersediaannya. Khilafah akan memastikan pelaksanaan aspek hulu hingga hilir industri gula, yakni pengelolaan pertanian tanaman tebu serta jaminan peremajaan dan pembangunan pabrik gula.

Khilafah juga memfasilitasi riset teknik produksi gula. Jika memang ada tanaman selain tebu yang juga berpotensi menghasilkan gula, Khilafah tentu akan mendorong riset di sektor ini. Begitu pula riset medis dan nutrisi terkait konsumsi gula per individu. Penting bagi Khilafah untuk memastikan gula tidak hanya berakhir sebagai kambing hitam penyakit degeneratif.

Selanjutnya, Khilafah memastikan kecukupan stok dalam negeri dan pada saat yang sama mengerem arus ekspor untuk sementara. Jika harga gula mahal, Khilafah berperan mengawasi rantai pasok. Jangan sampai ada pedagang-pedagang nakal yang memainkan harga, melakukan penimbunan, bahkan monopoli yang bisa menyebabkan mahalnya harga gula.

Khilafah juga bisa mengambil langkah berupa subsidi kepada industri maupun rumah tangga rakyat, agar mereka mampu membeli/menstok gula sesuai kebutuhan. Andai memang memerlukan impor gula, Khilafah tentu harus memastikan sifatnya sementara sehingga impor tidak menjadi basis kebutuhan gula di dalam negeri. Wallahualam bissawab.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *