Penulis: K.H. Rokhmat S. Labib, M.A.
Muslimah News, TAFSIR AL-QUR’AN — Ibnu Katsir juga menuturkan makna ayat ini adalah melihat Tuhannya dengan terang-terangan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahulLâh di dalam kitab sahihnya:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَاًنًا
Sesungguhnya kalian kelak akan melihat Tuhan kalian dengan terang-terangan.29
Ibnu Umar berkata, “Ahli surga yang paling mulia di sisi Allah Swt. adalah orang yang dapat memandang wajah-Nya pada waktu pagi dan petang.” Kemudian beliau membaca dua ayat ini.30
Ini juga merupakan pendapat jumhur ulama. Yang dimaksud ayat ini adalah melihat Tuhannya dengan matanya tanpa hijab.31
Bahkan menurut Al-Khazin, ulama ahlusunah waljamaah sepakat bahwa melihat Allah terjadi di akhirat. Kaum mukmin melihat Allah Swt. dan tidak bagi kaum kafir. Dalilnya adalah QS Al-Muthaffifin [83]: 15.32
Ibnu Katsir juga menegaskan bahwa ini termasuk perkara yang disepakati oleh para sahabat, tâbi’în, dan salaf al-ummah, sebagaimana juga disepakati oleh para imam.33
Kemudian Allah Swt. berfirman: Wawujûh[un] yawma’idzin bâsirah (Wajah-wajah pada hari itu muram). Jika ada yang wajahnya indah, cerah, berseri-seri, dan riang gembira, ada pula yang sebaliknya. Wajah mereka digambarkan bâsirah (muram). Menurut Qatadah, kata tersebut bermakna kâlihah (murung, muram, cemberut).34
Ibnu Zaid dan Qatadah dalam riwayat lain menafsirkan kata itu dengan ‘âbisah (muram).35 Asy-Syaukani memaknainya sebagai kâlihah ‘âbisah kaîbah (cemberut, merengut, dan bersedih).36
Semua penjelasan tersebut, meskipun berbeda-beda redaksinya, maknanya berdekatan. Pada hari itu ada orang-orang yang berwajah muram, murung, cemberut, dan semacamnya yang menunjukkan kesedihan dan ketakutan. Mereka adalah kaum kafir37 atau kaum fâjir.38
Kemudian disebutkan: Tazhunnu an yuf’ala fâqirah (Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat). Ini menerangkan penyebab wajah mereka muram, murung, dan cemberut. Pasalnya, mereka mengetahui dahsyatnya azab yang akan menimpa mereka.
Menurut Ibnu Athiyah, yang dimaksud dengan wujûh (wajah-wajah) dalam ayat sebelumnya adalah ash-hâb al-wujûh (pemilik wajah).39 Dengan demikian, ayat ini memberitakan kaum yang berwajah muram itu yakin akan ditimpa malapetaka yang amat dahsyat.
Menurut Ibnu Katsir, kata tazhunnu di sini bermakna tastayqînu (meyakini).40 Menurut Al-Jazairi bermakna tûqinu (meyakini, memastikan).41 Imam Al-Qurthubi juga memaknai frasa itu dengan tûqinu wa ta’lamu (meyakini dan mengetahui).42 Mereka meyakini bahwa mereka akan ditimpa fâqirah.
Menurut Mujahid, fâqirah berarti dâhiyah (bencana, malapetaka). Asy-Syaukani memaknai kata ini dengan malapetaka yang besar.43 Abu Bakar al-Jazairi pun menafsirkan kata ini dengan dâhiyah (malapetaka besar yang menghancurkan tulang punggung).44
Menurut Abdurrahman as-Sa’di kata itu bermakna: ‘uqûbah syadîdah (hukuman yang pedih) dan adzâb azhîm (azab yang berat). Oleh karena itu, wajah mereka berubah dan menjadi masam.45
Dengan demikian ayat ini menerangkan bahwa kaum kafir merasa sangat ketakutan yang tecermin dalam wajah-wajah mereka karena dahsyatnya azab yang akan menimpa mereka. As-Suddi berkata, “Mereka sangat yakin bahwa mereka pasti binasa.” Ibnu Zaid juga berkata, “Mereka yakin akan masuk neraka.”46
Beberapa Pelajaran Penting
Pertama: Penyebab manusia mengingkari hari kebangkitan. Ayat ini menyebutkan adanya manusia yang sangat mencintai dunia dan melalaikan akhirat. Sikap itulah yang menyebabkan mereka mendustkan hari kebangkitan dan pembalasan. Oleh karena itu, pengingkaran mereka terhadap hari kebangkitan dan pembalasan sesungguhnya bukan didasarkan pada argumentasi, bukti, dan dalil yang kuat. Mereka tidak bisa membantah berbagai dalil dan bukti yang memastikan adanya hari kiamat.
Kedua: Gambaran wajah-wajah kaum yang bertakwa di akhirat. Wajah mereka pada hari itu sangat indah, elok, cerah, berseri-seri, bercahaya, dan riang gembira. Berita senada juga disebutkan dalam beberapa ayat lainnya (Lihat, misalnya, QS ‘Abasa [80]: 38—42 dan Al-Ghasyiyah [88]: 8—10).
Ketiga: Kenikmatan penghuni surga berupa dapat melihat Allah Swt. dengan penglihatan mereka. Menurut para ulama, ayat ini memberitakan bahwa kaum mukmin akan melihat Allah Swt. di akhirat. Hal ini juga dikuatkan banyak hadis-hadis sahih. Menurut Ibnu Katsir, hadis-hadis itu diriwayatkan melalui berbagai jalur mutawatir menurut para imam ahli hadis sehingga tidak mungkin ditolak atau dibantah.47
Imam An-Nawawi berkata: Ketahuilah sesungguhnya mazhab ahlusunah bersepakat bahwa melihat Allah Swt. adalah mungkin dan tidak mustahil menurut akal. Mereka juga sepakat bahwa itu terjadi di akhirat. Kaum mukmin akan melihat Allah Swt., tetapi tidak bagi kaum kafir.48
Keempat: Wajah kaum kafir dan fâjir di akhirat. Ayat ini juga mengabarkan tentang adanya wajah-wajah orang yang masam, muram, murung, cemberut, dan menghitam karena ketakutan. Itu terjadi karena mereka sangat yakin terhadap azab yang akan menimpa mereka sebagaimana disebutkan dalam ayat berikutnya.
Menurut para ulama, para pemilik wajah tersebut adalah kaum kafir dan fâjir. Hal ini juga diberitakan dalam banyak ayat lainnya (Lihat, misalnya, QS Ali Imran [3]: 106, ‘Abasa [80]: 38—42 dan Al-Ghasyiyah [88]: 2—4).
Semoga kita termasuk orang-orang yang dikarunia berwajah indah, cerah, berseri-seri, bercahaya, dan riang gembira. Bukan sebaliknya; yang musam, murung, lusuh, dan menghitam.
Wallahualam bissawab. [MNews/Rgl]
Catatan kaki:
1 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 372
2 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ at-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 729. Lihat jiga dalam al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 264
3 Asy-Syaukani, Fat-h al-qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 407
4 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabi, 1998), 266
5 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab, 1987), 661
6 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 405
7 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1993), 477
8 Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah bi al-Qâhirah, vol. 2 (tt: Dar al-Dakwah, tt), 586
9 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 11 (Beirut: Dar Shadir, tt), 425
10 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Al-Maktabah al-Mishriyyah, 1992), 107; al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 372
11 Mahmud Shafi, Al-Jadwâl fî I’râb Al-Qur‘ân, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 173
12 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, vol. 19, 107; Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 372
13 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995). 157
14 Ath-Thabari, Al-Bayân fî Ta‘wîl Al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 70
15 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 730
16 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, vol. 19, 107
17 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 407
18 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 372
19 Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 279
20 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 478
21 Ath-Thabari, Al-Bayân fî Ta‘wîl Al-Qur‘ân, vol. 24, 71; Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl, vol. 4, 372; Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 478
22 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 107; Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl, vol. 4, 372
23 Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 279
24 Ath-Thabari, Al-Bayân fî Ta‘wîl Al-Qur‘ân, vol. 24, 71
25 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 730
26 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 478
27 Ath-Thabari, Al-Bayân fî Ta‘wîl Al-Qur‘ân, vol. 24, 72
28 Ath-Thabari, Al-Bayân fî Ta‘wîl Al-Qur‘ân, vol. 24, 73
29 Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 279
30 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, vol. 19, 107
31 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 372. Lihat juga Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, vol. 19, 107; Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 407; Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 730
32 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 373
33 Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 280
34 Ath-Thabari, Al-Bayân fî Ta‘wîl Al-Qur‘ân, vol. 24, 74
35 Ath-Thabari, Al-Bayân fî Ta‘wîl Al-Qur‘ân, vol. 24, 74. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281; Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, vol. 19, 110
36 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 407
37 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, vol. 19, 110; Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 407
38 Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281
39 Ibnu Athiyah. Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 405
40 Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281
41 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 478
42 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, vol. 19, 110
43 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 407
44 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 477
45 Al-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 900
46 Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281
47 Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281
48 An-Nawawi, Syarh Muslim, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabiy, 1349 H), 134