[Nafsiyah] Mendiamkan Kemungkaran

[Nafsiyah] Mendiamkan Kemungkaran

Penulis: Ustaz M. Taufik N.T.

Muslimah News, NAFSIYAH — Allah Swt. bukan hanya melarang berbuat kemungkaran, bukan pula hanya melarang condong kepada kemungkaran. Namun, Allah Swt. juga melarang mendiamkan kemungkaran. Pernah terjadi, sekelompok orang yang kedapatan minum khamar dihadapkan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Khalifah segera memerintahkan untuk mencambuk mereka semuanya sebagai pelaksanaan hudud.

Ternyata ada yang berkata, “Di antara mereka ada yang sedang berpuasa (sehingga tidak ikut minum khamar).” Namun beliau tetap menyuruh mencambuk orang tersebut. Beliau lalu membacakan ayat, “Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS An-Nisa’ [4]: 140).

Ayat tersebut menurut Imam At-Thabari mencakup larangan duduk-duduk (menghadiri) pertemuan apa pun yang berisi berbagai jenis kemungkaran. Tidak ada bedanya antara kemungkaran yang dilakukan rakyat jelata ataupun penguasa. Bahkan, kemungkaran yang dilakukan oleh para penguasa lebih mendesak untuk ditegur dan diingkari. Oleh karena itu, Rasulullah saw. bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR At-Tirmidzi dan An-Nasa’i).

Sekadar minum khamar adalah kemungkaran, apalagi mengizinkan produksi dan penjualan khamar di kalangan umat Islam. Tentu ini merupakan kemungkaran yang lebih besar. Melakukan riba adalah kemungkaran besar, tentu ‘melegalkan’ riba adalah kemungkaran yang jauh lebih besar. Pendek kata, mengatur urusan tanpa menggunakan hukum-hukum Allah, apalagi dengan memusuhi hukum-hukum-Nya itulah kemungkaran yang lebih besar.

Para ulama yang ikhlas tidak hanya menunggu kemungkaran itu terjadi pada penguasa, lalu mereka mengingkarinya. Lebih dari itu, mereka menjaga dan menasihati penguasa agar tidak terjatuh kepada kemungkaran. Di antara nasihat yang disampaikan Syaqiq Al-Balkhi (w. 194 H) kepada Khalifah Harun ar-Rasyid adalah, “Siapa saja yang menyelisihi perintah Allah dan keluar dari hudud (hukum-hukum) Allah, maka didiklah mereka dengan dicambuk. Barang siapa membunuh orang tanpa hak, maka hukumlah ia dengan bunuh (qishas), kecuali jika wali korban memaafkan. Jika kamu tidak bertindak dalam wilayah kekuasaanmu berdasarkan agama Allah, maka kamu kelak menjadi pemimpin penghuni neraka.”

Harun Ar Rasyid, Khalifah yang memerintah berdasarkan syariat Allah saja dinasihati seperti itu. Jadi, apa yang pantas dikatakan kepada orang yang memerintah dengan mengabaikan syariat-Nya?

Hal paling minim yang bisa kita dilakukan agar selamat jika melihat kemungkaran yang nyata, jika tidak mampu menyampaikan pengingkaran dengan tindakan dan lisan, adalah mengingkarinya dengan hati dan tidak berserikat dalam kemungkaran tersebut. Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw. berkata, “Akan ada para Amir, lalu kalian mengetahui (kemungkaran mereka) dan kalian mengingkari. Barang siapa mengetahui, maka ia telah terbebas. Dan barang siapa mengingkari, maka ia telah selamat. Akan tetapi, barang siapa rida dan mengikuti (maka ia tidak terbebas dan tidak selamat).” Para sahabat berkata, “Tidakkah kami memerangi mereka?” Beliau berkata, “Tidak, selama mereka masih salat.” Allaahu A’lam. [MNews/YG]

Sumber: mtaufiknt[dot]wordpress[dot]com

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *