[Kabar] Tiga Catatan Penting untuk Hari Kesehatan Dunia 2024

[Kabar] Tiga Catatan Penting untuk Hari Kesehatan Dunia 2024

Muslimah News, INTERNASIONAL — Dalam memperingati Hari Kesehatan Sedunia 2024 ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjalankan kampanye “Kesehatan Saya, Hak Saya (My Health, My Right)” untuk memperjuangkan hak atas kesehatan setiap orang, di mana pun berada.

Kampanye ini berupaya memastikan akses universal terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan informasi berkualitas, air minum dan udara bersih, nutrisi yang baik, perumahan berkualitas, kondisi kerja dan lingkungan yang layak, serta kebebasan dari diskriminasi.

Melansir dari laman resmi WHO, Senin (8-4-2024), setiap orang berhak mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, tepat waktu, dan sesuai, tanpa mengalami diskriminasi atau kesulitan dana. Namun, pada 2021, tercatat 4,5 miliar orang tidak mendapatkan layanan kesehatan yang baik sehingga membuat mereka rentan terhadap penyakit dan bencana.

Bahkan, mereka yang mempunyai akses terhadap layanan kesehatan sering kali menderita secara ekonomi. Tercatat sekitar dua miliar orang menghadapi kesulitan keuangan karena biaya kesehatan, dan situasi ini makin memburuk selama dua dekade.

Tiga Catatan

Menanggapi hal di atas, pengamat politik kesehatan dan kebijakan publik Dr. Rini Syafri memberikan tiga catatan penting.

“Pertama, kegagalan upaya preventif. Potret buram wajah kesehatan dunia hari ini adalah cerminan kegagalan upaya preventif yang sesungguhnya yang berbasis pemenuhan kebutuhan dasar insan, sehubungan buruknya pemenuhan hajat hidup miliaran penduduk dunia, termasuk di negeri ini,” ungkapnya kepada MNews, Selasa (16-4-2024).

Ia mengingatkan, ini menjadi peringatan keras tentang karakter determinan sosial kesehatan kapitalisme yang bersifat perusak kesehatan.

“Alih-alih berperan positif dalam upaya preventif, keberadaan kapitalisme yang hari ini mewujud sebagai peradaban yang menguasai dunia justru menjadi pabrik pemicu berbagai persoalan kesehatan yang mematikan. Sebut saja krisis iklim dan lingkungan yang dibuktikan sejumlah riset berakibat buruk terhadap kesehatan masyarakat dunia,” bebernya. 

Apabila ditelisik, lanjutnya, semua itu berpangkal dari industrialisasi yang menjadi spirit kapitalisme. “Industrialisasi yang difasilitasi negara paling bertanggung jawab atas penggunaan bahan bakar fosil secara berlebihan di tengah deforestasi yang begitu masif,” tegasnya.

Ia menyesalkan, negara dengan konsep reinventing government dan good governance justru hadir sebagai pembuat aturan yang melayani kepentingan korporasi, berorientasi bisnis, sementara urusan kemaslahatan publik nomor ke sekian.

“Demikian juga krisis air bersih, krisis perumahan dan hunian yang sehat, hingga krisis asupan gizi yang memadai secara kualitas dan kuantitas, adalah buah pahit kapitalisme,” ulasnya.

Kondisi ini menurutnya, diperparah ketika industrialisasi kesehatan yang dilegalkan negara menjadikan upaya preventif direduksi pada tataran klinis, sehingga memicu persoalan kesehatan yang lebih serius.

“Seperti mewabahnya varian virus yang berasal dari vaksin, yaitu circulating vaccine-derived poliovirus atau cVDPV, yang beberapa waktu lalu mengakibatkan Indonesia berada pada kondisi kejadian luar biasa untuk persoalan ini,” ucapnya mencontohkan.  

Tidak hanya itu, terangnya, industrialisasi kesehatan yakni menjadikan kesehatan sebagai obyek pertumbuhan ekonomi dan komoditas bisnis juga melapangkan jalan keberadaan standar penanggulangan persoalan kesehatan yang justru memperburuk kesehatan masyarakat.

ia mencontohkan, seperti yang terlihat pada penanggulangan TBC dan HIV/AIDS yang dari waktu ke waktu pengidapnya makin meningkat. Demikian juga pada konsep penanggulangan penyakit menular melalui vektor patogen/zoonosis yang mereduksi persoalan sebatas aspek teknis dan mengabaikan aspek penyebab peningkatan populasi vektor.

“Juga pada demam berdarah dengue (DBD), membludaknya populasi Aedes aegypti sebagaimana ditunjukkan sejumlah riset tersebab kerusakan ekosistem hutan seiring masifnya deforestasi. Terbukti konsep “one health” yang digadang-gadangkan akan menyolusi penyakit zoonosis hanya angan-angan belaka,” bebernya.

Kegagalan Upaya Kuratif

Catatan kritis kedua, sebutnya, kegagalan upaya kuratif UHC sebagai solusi unggulan. Menurutnya, kapitalisme memandang bahwa kesehatan merupakan persoalan ekonomi di tengah membengkaknya pengidap berbagai penyakit yang mematikan.

“Di sisi lain, keharusan negara berfungsi sebagai regulator bagi kepentingan korporasi, menjadikan konsep asuransi kesehatan wajib atau universal health coverage yang di Indonesia bernama Jaminan Kesehatan Nasional sebagai solusi andalan,” urainya.

Ia pun menyesalkan karena pada faktanya, sekalipun semua orang mendapat peluang mengakses layanan kesehatan, tetapi publik tetap terbebani mahalnya biaya pelayanan kesehatan di tengah diskriminatifnya pelayanan yang harus diterima.  

“Perkara ini tidak sulit dirasakan, khususnya publik negeri ini ketika mengakses layanan kesehatan melalui skema BPJS Kesehatan. Pada akhirnya, alih-alih publik mendapatkan haknya atas kesehatan, yang terjadi justru sebaliknya. Ini adalah salah satu bahaya determinan sosial kesehatan kapitalisme yang menjadi sorotan pakar politik kesehatan dunia,” paparnya.

Sesat Pikir

Ia kemudian menyampaikan kritik ketiga, yaitu sesat pikir. Kapitalisme, sebutnya, memiliki paradigma batil bahwa hak kesehatan setiap orang akan terjamin dengan berlandaskan pada paham kebebasan.

“Inti ajaran sekularisme ini kemudian dijadikan sebagai spirit peringatan Hari Kesehatan Dunia ‘My Health, My Right’ yang apabila ditelisik, justru biang kerok pembinasa kesehatan dan terampasnya hak kesehatan jutaan, bahkan miliaran orang di seluruh dunia,” ulasnya.

Hal ini menurutnya karena HAM membenarkan manusia menjalankan aktivitas kehidupannya semata berdasarkan nilai materi dan pada saat yang sama menjadi spirit HAM.

“Spirit ini membenarkan kehadiran negara sebagai pihak yang memfasilitasi industrialisasi hajat hidup masyarakat, baik melalui keberadaan sistem politik demokrasi atau sistem ekonomi kapitalisme telah mengakibatkan imunitas masyarakat melemah,” ujarnya.

Paham kebebasan, lanjutnya, mengakibatkan manusia beraktivitas dengan pola hidup yang tidak sehat. Misalnya, kebebasan berperilaku adalah pangkal keberadaan dan meluasnya berbagai penyakit menular seksual, seperti HIV/AIDS.

“Sedangkan paham kebebasan yang menjadi spirit gender equality justru penyebab hancurnya potensi kaum perempuan untuk berproduksi secara sehat,” tegasnya.  

Ia menambahkan, WHO dalam situs resminya menyatakan bahwa bekerja yang menjadi tuntutan gender equality justru penyebab para bayi tidak mendapatkan ASI yang begitu penting agar mereka tidak menjadi stunting dan terhindar dari berbagai persoalan kesehatan lain.

“Tragisnya, berbagai kebijakan prioritas pemerintah setidaknya lima tahun terakhir hingga kini, baik di sektor kesehatan maupun di luarnya, justru untuk percepatan pencapaian target industrialisasi yang berbahaya tersebut melalui agenda politik yang disebut transformasi yang dalam sektor kesehatan dikenal dengan transformasi tujuh pilar,” tuturnya.

Ia pun berkesimpulan, baik dari sisi upaya preventif maupun kuratif, kapitalisme adalah pangkal penyebab terampasnya hak kesehatan insan. “Oleh karenanya, keberadaannya harus segera diakhiri,” tegasnya. [MNews/IA]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *