[Dunia Remaja] Everyday is Ramadan

[Dunia Remaja] Everyday is Ramadan

Muslimah News, DUNIA REMAJA — Adakah yang sedih ditinggalkan oleh Ramadan? Jangan-jangan malah ada yang happy ketika Ramadan kelar? Apa pun ekspresimu pasca-Ramadan, yang jelas Ramadan sudah kelar. Apakah kita benar-benar mendapat buah dari puasa Ramadan? Buah puasa Ramadan adalah ketakwaan. Nah, indikasi kita memang dapat buah tersebut, justru bisa dilihat hasilnya setelah selesai Ramadan. Jadi tanda takwa itu bukan baju baru, melainkan iman dan takwa yang makin kuat. Ini sebagaimana bunyi pepatah Arab yang artinya, “Idulfitri bukan untuk orang yang berpakaian baru. Sesungguhnya Idulfitri adalah untuk orang yang ketaatannya (kepada Allah dan Rasul-Nya) bertambah.”

Ketakwaan Itu Everytime

Rasulullah saw. bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Mas’ud Al-Ghifari,

“Kalau hamba-hamba Allah Swt. mengetahui balasan dan keutamaan Ramadan, umatku pasti akan berharap agar sepanjang tahun menjadi Ramadan.” (HR Tabrani, Ibnu Khuzaimah, dan Baihaqi).

Hadis di atas ngasih pemahaman kepada kita bahwa Ramadan memang bulan istimewa. Saking istimewanya, kalau bisa setiap bulan dijadikan Ramadan. Ini karena hanya pada Ramadan, pahala bisa dilipatgandakan. Puasa wajib pun hanya ada pada Ramadan. Nah, semua itu lalu di-closing dengan predikat takwa. Sebagaimana yang Allah Swt. sampaikan “La‘allakum tattaqūn, agar kalian bertakwa.” (Lihat QS Al-Baqarah: 183).

Predikat “takwa” pasca-Ramadan bukan sekadar gelar. Namun predikat itu selevel dengan “prestasi”. Namanya saja prestasi, persis kayak saat kita bersekolah bahwa agar berprestasi, kita butuh belajar cerdas dan keras. So, prestasi cuma bisa didapatkan kalau kita benar-benar fighting dan serius selama Ramadan. Sebaliknya kalau selama Ramadan lalu kita loyo dan malas-malasan, kayaknya enggak bisa meraih prestasi takwa. Nah, tanda ataupun ujian takwa itu hadir pada bulan-bulan setelah Ramadan seperti saat ini.

Pesan agar kita bertakwa hampir setiap hari terdengar. Utamanya bagi para cowok kalau lagi salat Jumat, khatib selalu mengingatkan pesan takwa. Ini artinya, takwa itu ada dan kita butuhkan setiap hari, setiap waktu. Dengan takwa, berbagai aktivitas kita akan terkontrol. Arti takwa secara gampangnya adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. So, label takwa bukan cuma milik Ramadan, tetapi harus menjadi milik kita sehari-hari. Memang saat Ramadan, pesan takwa itu menguat.

Jadi, wajar dong, kalau kita mau ngeliat hasil tempaan Ramadan dalam sikap takwa kita setiap hari pasca-Ramadan. Kalau setelah Ramadan ibadah wajibnya malah loyo, enggak semangat beribadah sunah, itu bisa jadi indikasi bahwa kita menjalani Ramadan lalu sekadar rutinitas. So, apa tandanya bahwa Ramadan kita kemarin berhasil?

Pertama, meninggalkan bekas. Silakan diperhatikan saja, kalau selesai Ramadan ritme ibadah bisa dijaga dan tidak kembali ke habits semula, ini bisa jadi salah satu tanda kita membawa bekas Ramadan. Jangan saleh saat Ramadan saja. Kalau sebelumnya tobat, jangan hanya “tobat tomat”, tobat untuk kumat. So, sebagai bekas Ramadan, ketakwaan itu harus kita bawa setiap hari, setiap waktu, dan di setiap tempat.

Kedua, puasa tidak dianggap sebagai belenggu. Saat puasa, kita memang berkutat dengan rasa lapar, haus, lemas, ngantuk, pusing, dan seabrek hal-hal remeh lainnya. Seakan-akan itu jadi belenggu yang bikin kita tidak produktif. Tanda yang lebih nyata banget kita menganggap puasa lebih mirip belenggu adalah saat Idulfitri tiba, kita pun bersorak seolah terbebas dari masa penderitaan. Nah, ini kayaknya kalau disuruh nambah puasa lagi enam hari pada Syawal bakal berat. So, jangan pernah menjadikan kewajiban sebagai sebuah belenggu atau beban. Akan tetapi, kita harus menyambut kewajiban dari-Nya dengan gembira. Kalau kita berhasil, pahalanya janah-Nya.

Habits Pasca-Ramadan

Sobat, sekali lagi, jangan sampai kita memosisikan hal yang wajib, kayak puasa Ramadan, sebagai sebuah beban. Akan tetapi, kenapa kita bisa bersikap begitu? Alasannya, karena kita sudah terbiasa menganggap bahwa pelajaran, pekerjaan, puasa, dan semacamnya sebagai sebuah “ancaman” yang mengintimidasi hari-hari kita. Kita juga terbiasa hidup santai. Pelajaran dan pekerjaan itu seakan-akan adalah momok yang mencekam waktu-waktu kita selama ini. Selain itu, kita lebih terbiasa memikirkan senangnya dahulu, daripada susahnya. Juga terbiasa memikirkan hasilnya daripada prosesnya.

Begitulah, kalau sesuatu itu sudah sering kita lakukan, akan menjadi habits (kebiasaan). Akan tetapi, teman-teman harus sadar bahwa kebiasaan (habits) itu dapat dibentuk. Ada hal lebih mendasar yang mengontrol habits kita. Apakah itu? Ia adalah mindset alias pola pikir. Persis seperti yang diuraikan oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Nidzamul Islam (Peraturan Hidup Dalam Islam) di bab Thariqul Iman, bahwa manusia itu berubah karena pemikirannya (mindset). Berikutnya, pemikiran itulah yang mengendalikan perbuatan seseorang. Pakem ini berlaku pada semua aktivitas, termasuk dalam hal ini habits kita tentang puasa Ramadan.

Nah, apakah Ramadan kemarin membekas sehingga mengubah mindset dan habits kita sehari-hari pasca-Ramadan? Jika belum, ada yang tidak beres dengan puasa yang telah kita lakukan. Tentu saja harapannya, selama Syawal, apa lagi masih dalam suasana libur, tentu enggak boleh kita sia-siakan. Artinya, aktivitas kita selama Syawal harus produktif, bukan sekadar aktivitas yang wasting time.

Sekali lagi, ini soal mindset kita dalam memandang kehidupan. Kalau kita menganggap hidup di dunia ini seperti penjara, sementara pelajaran, pekerjaan, tugas, dan puasa adalah momok yang menghantui hari-hari kita, itu artinya telah terjadi kesalahan dalam memandang kehidupan. Jika dalam benak kita masih bersarang pemikiran seperti itu, harus segera digeser dan diganti. Harus ada view of life yang benar, tuntas, dan mencerahkan. Dari mana diri kita? Untuk apa kita diciptakan? Akan ke mana kita setelah mati? Ini adalah sederet pertanyaan yang harus dijawab dengan benar, tuntas, dan mencerahkan agar kita bisa menemukan view of life yang benar.

Jika kita masih menganggap puasa, qiyamul lail, dan membaca Al-Qur’an sebagai belenggu, itu akan menjadi mindset kita dan momok yang menghantui. Selanjutnya, jika terjadi pembiaran, pemikiran semacam itu akan menjadi habits yang membuat aktivitas kita tidak produktif, tidak membekas, dan tentu saja jauh dari pahala.

How Next?

Jika telah menyadari bahwa mindset dan habits kita selama ini salah, selanjutnya adalah kita harus menggantinya dengan mindset dan habits yang benar. Caranya?

Pertama, sadarilah bahwa amalan seperti puasa atau sejenisnya, adalah ibadah. Ibadah merupakan salah satu “jembatan” bagi seorang hamba untuk bisa bersyukur kepada Khalik (Sang Pencipta). Artinya, mulai detik ini kita harus memosisikan diri dengan benar. Sadarilah bahwa kita adalah hamba yang wajib beribadah kepada-Nya. (Lihat QS Ad-Dzariyat: 56). Dengan demikian, ada idrak sillah billah, yakni kesadaran hubungan diri kita dengan Allah.

Kedua, menyesali diri jika kemarin kita tidak optimal memanfaatkan Ramadan. Sebagai gantinya, pada bulan-bulan setelah Ramadhan, kita harus makin meningkatkan ibadah. Puasa Syawal enam hari sebaiknya dikerjakan, jangan terlewat. Kebiasaan qiyamul lail, seperti Tahajud tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Lakukan dan jadikan habits setiap hari sebelum salat subuh. Membaca Al-Qur’an harus terus dikerjakan setelah Ramadan. Kalau ibadah-ibadah itu terus kita kerjakan, suasana Ramadan tetap kita dapatkan, meskipun Ramadan telah usai.

Ketiga, tanamkan dalam benak, seakan setiap ibadah yang kita kerjakan adalah ibadah terakhir sehingga kita bisa khusuk, tawaduk, dan tumakninah menjalaninya. Pasti pengin ibadah kita dicatat oleh Allah sebagai amal saleh, maka harus mencari tahu ilmu seputar ibadah agar lebih bermakna. Kalau akhirnya Allah masih memperpanjang usia kita setelah Ramadan kali ini, paling enggak kita sudah mendapat ilmunya untuk memperbaiki kualitas ibadah kita.

Jangan Kasih Kendor

Sobat, hari-hari ini sepertinya kita masih bertemu dengan liburan di rumah. Berlibur itu memang kadang kita perlukan. Enggak mungkin juga kita belajar dan bekerja terus. Memang nanti akan ada waktunya istirahat. Kapan? Kalau pertanyaan “kapan” itu dibandingkan dengan akhirat, ibaratnya dunia adalah tempat bercocok tanam dan akhirat tempat menuai.

Kalau pertanyaan “kapan istirahatnya” itu dikaitkan dengan aktivitas harian kita di dunia, Allah sudah memberi waktu istirahat, yakni pada malam hari. Kalau pertanyaan “kapan istirahatnya” itu dikaitkan dengan prestasi dan produktivitas, seorang muslim sejatinya enggak kenal liburan. Produktivitas tidak kenal hari, terus update. Bahkan Imam Nawawi, salah seorang ulama pengarang kitab Riyadus Shalihin, saking konsennya para produktivitas ilmu, sampai belum sempat menikah hingga meninggalnya.

Libur di rumah bukan jadwal untuk nambah jam tidur kita, meskipun tidur itu kadang diperlukan, ya. Akan tetapi, tidak tidurnya kita karena melakukan amal saleh tentu akan berpahala. So, agar semangat kita enggak kendor, yuk, ikuti kajian Islam yang sudah ada. Bukan sekadar untuk membunuh waktu, tetapi demi memperdalam tsaqafah kita.

Kemudian, dijadikan masa libur di rumah pasca-Ramadan sebagai momentum untuk menumbuhkan habits baru, misalnya membaca. Tentu enggak sekadar membaca, tetapi membaca yang bertarget, misalnya target membaca tiga halaman buku setiap selesai salat subuh. Kita juga bisa memanfaatkan liburan di rumah untuk melatih atau memperdalam skill kita, misalnya skill menulis, retorika, dan sebagainya.

So, mumpung ketemu liburan, jangan kasih kendor aktivitas ibadahmu. Harusnya pasca-Ramadan dan saat liburan begini, dipakai untuk menambah tsaqafah, meng-upgrade syakhsiyah, dan menabung amalan sunah. Jangan malah loyo yang membunuh kreativitas dan produktivitas kita, ya. Everyday is Ramadan. Catat itu! [MNews/YG]

Sumber: Buletin Teman Surga, edisi 115

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *