[Tanya Jawab] Mampukah Khilafah Menjadi Rumah Bersama?

[Tanya Jawab] Mampukah Khilafah Menjadi Rumah Bersama?

Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman, M.A.

Muslimah News, TANYA JAWAB Soal:

Mampukah Khilafah menjadi rumah bersama bagi semua warga negara, muslim maupun nonmuslim?

Jawab:

Khilafah adalah negara yang berdiri di atas fondasi akidah Islam, ideologi yang memuaskan akal, menenteramkan hati, dan sesuai dengan fitrah manusia. Islam yang menjadi dasar, pedoman, serta jalan hidup (way of life) dalam kehidupan individu, masyarakat, dan bernegara adalah ideologi rahmatan li al-‘alamin dan adil.

Dengan tegas Allah Swt. berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’ [29]: 107).

Makna “rahmat[an]” di sini adalah “jalb[an] li al-mashâlih” (mewujudkan kemaslahatan] dan “daf’[an] ‘an al-mafasid” (mencegah kerusakan). Kerahmatan Islam bukan hanya untuk muslim, tetapi juga nonmuslim.

Bukan hanya untuk manusia, tetapi juga hewan. Bukan hanya untuk makhluk hidup, bahkan benda-benda mati pun mendapatkan kerahmatan Islam ketika Islam diterapkan secara kafah dalam kehidupan.

Oleh karena itu, ketika Islam diterapkan oleh negara Khilafah maka Khilafah benar-benar bisa menjadi rumah bersama bagi seluruh umat manusia.

Pertama: Islam adalah ideologi universal yang diturunkan oleh Allah Swt. untuk seluruh umat manusia. Tidak membedakan ras, suku, dan bangsa (Lihat: QS Al-Anbiya’ [29]: 107).

Dalam nas lain Allah Swt. berfirman,

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sungguh Allah Maha Tahu lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat [49]: 13).

Oleh karena itu, di bawah naungan Khilafah, seluruh bangsa yang ada di dunia pernah hidup dengan aman, damai, sejahtera, dan merasakan keadilan yang luar biasa selama berabad-abad. Tidak ada diskriminasi atas dasar ras, suku, dan bangsa. Wilayahnya terbentang dari ujung Timur ke Barat, dan dari Utara ke Selatan, lebih dari 22 juta km2, atau dua kali lipat wilayah Amerika Serikat.

Kepala negaranya pun pernah dijabat oleh orang Arab, sejak zaman khulafaurasyidin, Bani Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga non-Arab, yaitu Khilafah ‘Utsmaniyah. Ibu kotanya pun berpindah-pindah, dari wilayah Arab, yaitu Madinah, berpindah ke Persia, Kufah, berpindah ke Syam, Damaskus, berpindah lagi ke Persia, Baghdad, berpindah ke Afrika, Mesir, hingga terakhir ke Eropa, Istanbul. Oleh karena itu, siapa pun—dari suku, ras, dan bangsa mana pun—bisa hidup di bawah naungan Khilafah dengan aman, damai, sejahtera, dan merasakan keadilan.

Kedua: Meski Islam menjadi dasar, pedoman, dan pandangan hidupnya, oleh karena itu Khilafah disebut Negara Islam (Daulah Islamiah), Khilafah tidak hanya untuk orang Islam. Orang nonmuslim pun bisa hidup di dalamnya dengan aman, damai, sejahtera, dan merasakan keadilan yang luar biasa. Oleh karena itu, di dalam Khilafah, warga negaranya dibagi menjadi dua, muslim dan zimi karena Khilafah adalah Negara Islam.

Meski ada pemilahan, muslim dan zimi, baik muslim maupun ahli dzimmah mempunyai hak dan kewajiban yang sama, kecuali dalam hal-hal yang menjadi kekhususan masing-masing. Oleh karena itu, meski ahli dzimmah nonmuslim, tidak ada diskriminasi terhadap hak-hak mereka. Mereka juga tidak dipaksa memeluk Islam (QS Al-Baqarah [2]: 256). Sebaliknya, mereka dibiarkan tetap memeluk agama mereka, dengan syarat mereka taat dan patuh pada sistem Islam yang berlaku di seluruh wilayah Khilafah.

Oleh karena itu, nonmuslim yang hidup di bawah naungan Khilafah, meski mereka tetap memeluk agama mereka, agama dan keyakinan mereka dilindungi oleh Islam. Nabi saw. bersabda,

مَنْ أَذَى ذَمِيًّا فَأَنَا خَصَمَهُ

“Siapa saja yang menganiaya ahli dzimmah, akulah yang akan menjadi penuntutnya.” (HR Al-Khatib al-Baghdadi).[1]

Oleh karena itu, tiga agama besar di dunia—Yahudi, Nasrani, dan Islam—bisa  hidup berdampingan dengan aman, damai, dan merasakan keadilan yang luar biasa. Begitu juga para pemeluknya.

Di Spanyol, tercatat mereka hidup berdampingan dengan aman, damai, dan merasakan keadilan lebih dari 800 tahun di bawah naungan Khilafah.[2] Begitu juga di wilayah-wilayah Islam seperti Suriah, Palestina, Yordania, Lebanon, Mesir, dan lain-lain sejak abad ke-1 H hingga Khilafah runtuh pada abad ke-14 H.[3]

Selain tidak dipaksa meninggalkan agama mereka, tempat ibadah dan peribadatan mereka juga dilindungi oleh Khilafah. Hukum yang diberlakukan kepada mereka juga sama, antara muslim dan nonmuslim; kecuali dalam masalah akidah, ibadah, makanan, dan perkawinan. Oleh karena itu, ketika mereka mencuri, membunuh, berzina, dan melakukan tindakan kriminal lainnya, sanksinya sama dengan orang Islam.

Bahkan terkait dengan jaminan hidup, baik yang menyangkut kebutuhan pokok per individu (seperti sandang, papan, dan pangan) maupun kebutuhan pokok secara kolektif (seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan), mereka mempunyai hak yang sama dengan orang Islam. Semuanya dijamin dan dipenuhi negara tanpa membeda-bedakan antara muslim dan nonmuslim.

Ketiga: Meski Khilafah mengadopsi hukum Islam yang digali oleh para mujtahid, Khilafah bukanlah negara mazhab. Oleh karena itu, seluruh mazhab di dalam Islam—baik Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, dan lain-lain—bisa hidup dan berkembang. Seluruh mazhab ini boleh diajarkan, didakwahkan, dan diterapkan di tengah masyarakat oleh para pengikutnya, kecuali dalam hal-hal yang menjadi hukum positif yang telah diadopsi oleh negara.

Pada zaman keemasan Islam, ketika jumlah mujtahid mencapai ribuan, bahkan jutaan, Khilafah tidak pernah mengadopsi hukum A sampai Z sehingga dibakukan dalam satu kodifikasi hukum Islam.

Sebaliknya, semua itu diserahkan kepada wali dan kadi di masing-masing wilayah. Namun, setelah muncul fatwa penutupan pintu ijtihad dan jumlah mujtahid pun langka, barulah Khilafah ‘Utsmaniyah, pada zaman Sulaiman al-Qanuni, menerapkan perundang-undangan di seluruh wilayahnya dengan menggunakan kitab Multaqa al-Abhur.

Meski demikian, kebijakan ini tidak menghalangi tumbuh dan berkembangnya mazhab-mazhab di dalam Islam. Ini bisa dibuktikan, pada zaman itu di Masjidilharam dan Masjid Nabawi masih banyak halaqah ulama dari lintas mazhab.

Ada mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Di sana kaum muslim pun bisa belajar berbagai mazhab. Kondisi ini berubah setelah kedua tanah suci kaum muslim ini jatuh ke tangan rezim Saud.

Bersadarkan ketiga fakta ini, belum lagi sejarah panjang peradaban Islam dan kaum muslim di bawah naungan Khilafah, sebagaimana yang ditulis oleh Will Durant, dalam Târîkh al-Hadhârah, masihkah ada yang mengatakan bahwa Khilafah tidak bisa menjadi rumah bersama umat manusia atau umat beragama?

Fakta-fakta yang ada, baik secara normatif, historis, maupun empiris, membuktikan sebaliknya. Bahwa satu-satunya ideologi dan negara yang bisa menjadi rumah bersama, menjamin keamanan, kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh rakyatnya dalam rentang wilayah yang begitu luas dan waktu yang panjang tidak ada yang lain, kecuali Islam. Jadi, aneh jika ada orang Islam yang meragukan, bahkan memusuhi Islam dan Khilafah.

Oleh karena itu, jika ada orang Islam seperti itu, hanya ada dua kemungkinan. Pertama: Dia bodoh, tidak mengerti fakta-fakta Islam dan Khilafahnya. Kedua: Otaknya dicuci oleh negara kafir penjajah sehingga mempunyai pemahaman yang salah, lalu membenci dan memusuhi Islam dan Khilafah.

Mereka inilah yang kemudian digunakan untuk mengadang dan menyerang Khilafah, sebagaimana yang distigmatisasi oleh negara kafir penjajah karena bisa mengancam kepentingan mereka di negeri kaum muslim

Wallahualam. [MNews/Rgl]

Catatan kaki:

[1] Meski sebagian ulama hadis menyatakan hadis ini lemah, makna hadis ini telah dikuatkan oleh sejumlah hadis, yang sanad dan perawi yang kuat. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya. Karena status hadis ini, setidaknya hasan dan bisa digunakan sebagai hujah.

[2] Ini diabadikan oleh Mc I Dimon, sejarawan Eropa, dalam Spain in the Three Religion.

[3] Selain bukti normatif dan historis, bukti empiriknya sampai saat ini masih bisa dilihat di Yordania, Palestina, Mesir, dan Istanbul yang peninggalan nonmuslim masih utuh, tidak ada yang dirusak oleh Khilafah.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *