[Tafsir Al-Qur’an] Jalan Lurus (Tafsir Surah Al-Fatihah: 6—7) (Bagian 1/2)

[Tafsir Al-Qur’an] Jalan Lurus (Tafsir Surah Al-Fatihah: 6—7) (Bagian 1/2)

Muslimah News, TAFSIR — Allah Swt. berfirman,

 اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ

“Tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan jalan mereka yang sesat.” (QS Al-Fatihah [1]: 6—7)

Ayat ini termasuk dalam surah Al-Fatihah. Disebut dengan Al-Fâtihah (pembuka)atau Fâtihat al-Kitâb (pembuka Al-Kitab) karena menempati urutan pertama dalam mushaf Al-Qur’an, bukan dalam urutan turunnya. Nama lainnya adalah Umm al-Kitab (Induk Al-Kitab) dan As-Sab’u al-Matsânî (tujuh ayat yang diulang-ulang).1

Kandungan surah ini terbagi menjadi dua bagian. Ayat pertama hingga ayat Malik yawm ad-dîn berisi pujian kepada Allah Swt.. Ayat berikutnya hingga ayat terakhir berisi pelajaran kepada hamba dalam memohon kepada Tuhannya.2

Setelah mengikrarkan pengesaan Allah Swt. dalam ibadah dan permintaan, ayat ini berisi permintaan hamba kepada Tuhannya agar ditunjukkan jalan yang lurus; jalan orang-orang yang Dia beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang sesat.

Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman, “Ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm” (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Kata ihdi merupakan fi’l al-amr (kata perintah) dari kata al-hudâ atau al-hidâyah. Secara bahasa, al-hudâ adalah ar-rasyâd wa ad-dalâlah (penjelasan dan petunjuk).3

Kata tersebut adalah lawan dari adh-dhalâl (kesesatan). Adapun secara syar’i, al-hudâ berarti al-ihtidâ’ ilâ al-Islâm wa al-îmân bihi (mendapatkan petunjuk pada Islam dan mengimaninya).4

Kata ash-shirâth secara bahasabermakna ath-tharîq (jalan).5 Pengertian ash-shirâth al-mustaqîm adalah ath-tharîq al-wâdhih al-ladzî lâ i’wâja fîh (jalan yang amat jelas yang tidak ada kebengkokan di dalamnya). Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, pengertian tersebut telah disepakati oleh ahli takwil dari umat ini.6

Ada beberapa penafsiran mengenai perkara yang dimaksud dengan ash-shirâth al-mustaqîm. Sebagian mufasir menafsirkannya sebagai Al-Qur’an. Penafsiran ini didasarkan pada hadis dari Ali ra. yang mendengar Rasulullah saw. bersabda mengenai Al-Kitab,

وَهُوَ حَبْلُ اللهِ الْمَتِينُ وَهُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ وَهُوَ الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ

“Kitabullah adalah tali Allah yang kukuh, peringatan yang bijaksana, dan jalan yang lurus.” (HR At-Tirmidzi)

Sebagian lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengannya adalah Islam. Ibnu Abbas berkata, “Itulah dînul-Lâh yang tidak ada kebengkokan di dalamnya.7

Jabir juga menyatakan, “Itulah Islam yang lebih luas daripada antara langit dan bumi.”8

Demikian pula Ibnu Mas’ud dan sejumlah sahabat.9 Ibnu Hanifah menegaskan, “Itulah agama Allah yang tidak diterima dari hamba-Nya selainnya.”

Pendapat yang sama juga dikemukakan Ibnu Zaid bin Aslam.10

Al-Qur’an atau dîn al-Islâm sebagai shirâth mustaqîm (jalan lurus) disebutkan dalam QS Al-An’am [6]: 126, 153).Mujahid menafsirkannya dengan al-haq (kebenaran). Abu al-‘Aliyah menuturkan bahwa jalan lurus itu adalah Rasulullah saw. beserta sahabatnya.11

Pendapat tersebut tampak berbeda-beda. Namun, sebagaimana ditegaskan Ibnu Katsir, semua itu bisa dikembalikan pada satu perkara, yakni mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, semua pendapat itu benar dan saling berkaitan.12

Kesimpulan serupa juga disampaikan Asy-Syaukani. Menurutnya, semua pendapat itu saling membenarkan dan menegaskan. Oleh karena itu, “Siapa saja yang mengikuti Islam, Al-Qur’an, atau Nabi saw. maka sungguh ia telah mengikuti kebenaran.”13

Dalam ayat ini, kaum mukmin diajari untuk memohon hidayah kepada-Nya. Karena dalam setiap salat surat ini wajib dibaca, maka permintaan tersebut wajib diucapkan berulang-ulang setiap hari. Mengapa mereka masih diperintahkan untuk meminta petunjuk-Nya lagi? Bukankah ketika seseorang telah menjadi mukmin berarti telah mendapatkan petunjuk-Nya?

Dijelaskan Asy-Syaukani bahwa makna thalab al-hidâyah (permintaan petunjuk) dari orang yang telah mendapatkan petunjuk adalah thalab az-ziyâdah (permintaan tambahan hidayah), sebagaimana firman-Nya dalam QS Muhammad [47]: 17.14

Ibnu Jarir ath-Thabari memaknai ayat ini sebagai permohonan taufik agar tetap berada di atas petunjuk-Nya. Mufasir terkemuka itu menafsirkannya, “Waffaqnâ li ats-tsabbât ‘alayhi” (berikanlah taufik kepada kami agar kukuh atas petunjuk itu).15

Al-Baghawi juga menafsirkannya sebagai at-tatsbît wa thalab mazîd al-hidâyah (pengukuhan dan permintaan tambahan hidayah).16

Menurut Ibnu Katsir, pengertian tersebut sejalan dengan QS An-Nisa’ [4]: 136 yang memerintahkan kaum mukmin untuk beriman. Perintah tersebut bukan untuk menghasilkan suatu hasil, tetapi agar kukuh, tetap berlangsung, dan terus-menerus.

Hal yang sama juga terdapat dalam QS Ali Imran [3]: 8 yang memberitakan doa orang-orang beriman agar hati mereka tidak condong pada kesesatan sesudah diberikan-Nya petunjuk. Oleh karena itu, makna QS Al-Fatihah [1]: 6 ini adalah: “Tetapkan kami senantiasa atas petunjuk itu dan tidak berpaling darinya kepada yang lain.”17

Dalam ayat berikutnya dijelaskan lebih rinci mengenai jalan lurus yang dimaksudkan. Allah Swt. berfirman, “Shirâth al-ladzîna an’amta ‘alayhim” ([yaitu] jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat). Menurut Ibnu Abbas, jalan orang-orang yang diberi nikmat itu adalah jalan kaum mukmin. Ibnu Zaid menafsirkannya sebagai jalan Nabi saw. beserta sahabatnya.18

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa mereka adalah, “Para malaikat, para nabi, shiddiqûn, orang-orang yang syahid, dan orang-orang saleh yang taat dan beribadah kepada-Mu.”19Penafsiran ini didasarkan pada firman Allah Swt. dalam QS An-Nisa’ [4]: 69.

Gambaran mengenai jalan lurus itu dikukuhkan dan diperjelas lagi dengan frasa berikutnya, “ghayri al-maghdhûb ‘alayhim wa la adh-dhâllîn” (bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan jalan mereka yang sesat).

Diterangkan Abdurrahman as-Sa’di, orang-orang yang dimurkai adalah mereka yang mengetahui kebenaran, tetapi meninggalkannya, seperti yang terjadi pada kaum Yahudi. Adapun orang-orang yang sesat adalah mereka yang meninggalkan kebenaran karena kebodohan dan kesesatan, seperti yang dialami kaum Nasrani.20

Jumhûr al-mufassirîn berpendapat bahwa maksud dari al-maghdhûb ‘alayhim (orang-orang yang dimurkai) adalah orang Yahudi, sedangkan adh-dhâllîn (orang-orang yang sesat) adalah Nasrani.21 Pendapat demikian dikemukakan Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Rabi’ bin Anas, Ikrimah, Mujahid, dan Said bin Jubair.22 Penafsiran ini didasarkan pada hadis dari ‘Adi bin Hatim bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,

إِنَّ الْمَغْضُوبَ عَلَيْهِمْ الْيَهُودُ وَ الضَّالِّينَ النَّصَارَي

“Sesungguhnya yang dimurkai adalah Yahudi dan yang sesat adalah Nasrani.” (HR Ahmad).

Penafsiran itu kian dikukuhkan dengan banyaknya ayat yang memberitakan bahwa kaum Yahudi adalah kaum yang mendapat murka-Nya (lihat QS Al-Baqarah [2]: 61, Ali Imran [3]: 112, dan Al-Maidah [5]: 60). Adapun kesesatan kaum Nasrani diberitakan dalam QS Al-Maidah [5]: 77.

Pengertian Hidayah dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an, kata al-hudâ atau al-hidâyah disebutkan dalam banyak ayat. Meskipun menggunakan kata yang sama, ia menunjuk pada objek yang berbeda-beda. Di antara objek yang ditunjuk oleh kata al-hudâ atau al-hidâyah adalah: Pertama, hidayah yang diberikan secara merata kepada semua mukalafberupa akal, kecerdasan, dan pengetahuan penting yang meliputi segala sesuatu dengan kadar yang sesuai. Pengertian ini terdapat dalam QS Thaha [20]: 50.23 [MNews/Rgl].

Bersambung ke bagian 2/2

Sumber: Majalah Al-Wa’ie edisi Juli 2009

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *