[Editorial] Beda Puasa di Bawah Potret Buram Negara Bangsa

[Editorial] Beda Puasa di Bawah Potret Buram Negara Bangsa

Muslimah News, EDITORIAL — Hingga tahun ini, kedatangan Ramadan yang mulia masih saja menyisakan persoalan. Kaum muslim di dunia masih belum bisa menyelesaikan problem perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri Ramadan, tidak terkecuali di Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Yang lebih menyedihkan, sebagian umat, termasuk para ulama dan penguasanya, menganggap persoalan ini sebagai hal yang lumrah. Mereka seakan-akan tidak peduli akan urgensi bersegera menyelesaikan permasalahan ini, bahkan menganggap hal ini mustahil diselesaikan.

Nyatanya, selain berpotensi memicu konflik horizontal, bahkan disintegrasi, serta melemahkan posisi umat Islam di mata umat lainnya, perbedaan awal dan akhir Ramadan ini memiliki akibat-akibat hukum yang tidak bisa disepelekan. Bukankah syariat Islam memerintahkan seorang muslim berpuasa begitu sudah masuk waktunya? Bukankah syariat juga menetapkan batas akhir waktu pelaksanaan zakat fitrah? Bukankah terlarang bagi seorang muslim untuk berpuasa pada hari raya?

Tiga Permasalahan

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi penyebab munculnya problem tersebut. Pertama, masalah fikih, seperti penggunaan metode yang berbeda antara rukyat atau hisab, lalu antara rukyat lokal atau rukyat global, dan seterusnya. Kedua, masalah ilmu pengetahuan (sains), terkait teknologi rukyatulhilal yang mestinya sudah selesai. Ketiga, masalah politik, yakni terkait siapa pemegang otoritas yang wajib ditaati oleh umat Islam dalam hal penentuan awal dan akhir bulan hijriah, khususnya Ramadan.

Dalam khazanah keilmuan fikih Islam, perkara penetapan awal dan akhir Ramadan memang masuk dalam ranah khilafiah. Diskusi para ulama tentang hal ini termasuk cukup intens, meskipun akhirnya mengerucut pada dua pandangan yang berbeda.

Di luar ulama tabiin bernama Muttarrif ibn Abdillah bin Asy-Syikhkhir (w. 95/714) yang disebut-sebut sebagai ulama yang pertama kali diketahui membolehkan penggunaan hisab untuk penentuan awal Kamariah, jumhur ulama, termasuk empat imam mazhab yang masyhur di tengah umat Islam, justru mewajibkan penggunaan rukyat sebagai metode penentuan awal dan akhir Ramadan atau penanggalan hijriah.

Hanya saja, Imam Maliki, Imam Hambali, dan Imam Hanafi diketahui mewajibkan kesatuan awal dan akhir Ramadan bagi umat Islam di dunia (rukyat global). Mereka memahami bahwa rukyat seorang muslim di suatu wilayah berlaku bagi kaum muslim di wilayah-wilayah bumi lainnya (kesatuan/wihdatul mathla). Hal ini berdasarkan hadis Nabi saw., “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal.” (HR Al-Bukhari 1776; Muslim 1809; At-Tirmidzi 624; An-Nasa’i 2087).

Sementara itu, kalangan Syafi’iyyah (bukan Imam Syafi’i) disebut-sebut memiliki pertimbangan soal perbedaan/ikhtilaful mathla (tempat terbit bulan) dengan jarak perbedaannya sekira 24 farsakh atau sekitar 133,057 km. Menurut mereka, rukyat pada suatu daerah, berlaku hanya untuk daerah tersebut dengan daerah terdekat yang diukur sebagai jarak antar matlak. Oleh karenanya, perbedaan matlak dalam konsep mereka memungkinkan terjadinya perbedaan awal dan akhir Ramadan.

Namun, para ulama yang mendalami diskusi ini menilai bahwa pendapat jumhur adalah pendapat yang paling kuat. Terlebih konsep ikhtilaful mathali’ yang digunakan kalangan Syafi’iyah ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Tempat terbit bulan di muka bumi, nyatanya hanya satu, bukan ada pada daerah dengan jarak matlak. Hal ini sesuai dengan keberadaan bulan bagi bumi yang jumlahnya juga hanya satu.

Selain itu, pendekatan yang digunakan kalangan Syafi’iyah memang terkait dengan realitas sulitnya alat komunikasi pada zaman itu sehingga pendekatan konsep matlak ini menjadi sangat tidak relevan dengan kondisi hari ini yang kabar tentang rukyatulhilal di suatu tempat bisa dengan mudah diketahui oleh umat Islam di belahan bumi lainnya secara cepat bahkan real time, karena teknologi yang makin hari makin canggih.

Gara-Gara Konsep Negara Bangsa

Masalahnya, kita tidak bisa memungkiri bahwa urusan penetapan awal dan akhir Ramadan lebih dominan dipengaruhi oleh kepentingan politik pragmatis rezim penguasa. Terpecahnya umat Islam dalam lebih dari 50 negara bangsa membuat para penguasa, termasuk Indonesia, abai terhadap kewajiban syarak untuk memulai dan mengakhiri Ramadan pada waktu yang sama. Mereka tidak peduli bahwa urusan ibadah puasa berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya. Pelaksanaan ibadah puasa jelas sangat berpengaruh terhadap corak kehidupan umat Islam sedunia.

Konsep perbedaan matlak yang ada dalam fikih Syafi’iyah dijadikan dalih untuk mempertahankan ego kebangsaannya. Mereka berani memodifikasi konsep matlak ala Syafi’iyah ini menjadi wilayah hukmiyah yang merujuk pada batas-batas wilayah negara bangsa buatan para penjajah dan jelas-jelas tidak ada landasan syar’i-nya. Alhasil rukyat negara tetangga yang berdekatan pun tidak dianggap sebagai rukyat mereka. Apalagi rukyat penduduk negeri-negeri lainnya yang letaknya lebih berjauhan.

Sungguh, mereka tidak merasa berdosa ketika umat Islam berulang kali terlibat dalam polemik panas setiap jelang puasa, lalu memulai dan mengakhirinya pada waktu yang berbeda-beda. Mereka pun tidak peduli jika pada saat yang sama umat Islam di dunia menjadi bahan tertawaan bagi musuh-musuhnya.

Butuh Kesatuan Kepemimpinan

Munculnya perbedaan dalam penetapan awal dan akhir Ramadan sesungguhnya hanyalah salah satu dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi umat Islam. Hal ini terjadi terutama setelah lenyapnya institusi Khilafah yang sebelumnya menaungi dan melindungi kaum muslim dari keterpecahbelahan dan kehinaan melalui penerapan hukum-hukum Islam secara total.

Ketika Khilafah tegak, sepanjang belasan abad, umat Islam menyatu dalam sebuah wilayah kepemimpinan. Khalifah benar-benar berfungsi sebagai pengurus dan penjaga umat dari segala hal yang membahayakan, termasuk pelanggaran syariat dan potensi keterpecahbelahan. Penerapan syariat kafah oleh Khilafah kala itu benar-benar menjadi kunci kemuliaan dan kekuatan umat Islam.

Kaidah fikih menyebutkan, “Perintah imam (khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiah (khilafiah).”

Hal ini terimplementasi dari kesiapan khalifah untuk menyolusi semua bibit permusuhan. Khalifah tidak akan membiarkan umat berpecah belah dan menjadi bulan-bulanan musuhnya hanya karena muncul berbagai perbedaan pandangan. Terlebih pemaksaan konsep negara bangsa oleh para penjajah pascaketiadaan Khilafah, ternyata hanya merupakan alat untuk menancapkan kuku-kuku penjajahan.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat kembali hidup di bawah naungan institusi pemersatu hakiki, yakni Khilafah Islamiah. Caranya adalah dengan menggencarkan aktivitas dakwah pemikiran di tengah-tengah umat agar mereka memiliki keimanan yang kukuh dan siap diatur dengan aturan-aturan Islam kafah. Dengan dakwah ini pula umat diberi pemahaman bahwa hidup dalam sistem sekuler jahiliah ala Barat, termasuk negara bangsa, hanya berujung kehinaan dan penderitaan.

Allah Swt. berfirman, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS Al-Maidah: 50). [MNews/SNA]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *