[Tafsir Al-Qur’an] Perbedaan Sikap antara Mukmin dan Kafir (Tafsir QS Al-Fath [48]: 26)

[Tafsir Al-Qur’an] Perbedaan Sikap antara Mukmin dan Kafir (Tafsir QS Al-Fath [48]: 26)

Penulis: K.H. Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Muslimah News, TAFSIR AL-QUR’AN —

إِذۡ جَعَلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَعَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَأَلۡزَمَهُمۡ كَلِمَةَ ٱلتَّقۡوَىٰ وَكَانُوٓاْ أَحَقَّ بِهَا وَأَهۡلَهَاۚ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا ٢٦

“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliah maka Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada kaum mukmin. Allah pun mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Allah Maha Tahu atas segala sesuatu.” (QS Al-Fath [48]: 26).

Ayat ini masih membicarakan peristiwa seputar Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian itu dilakukan setelah Rasululah saw. dan kaum mukmin dihalangi masuk ke Masjidilharam dan tanah haram. Tindakan jahat mereka itu sesungguhnya pantas untuk diperangi. Akan tetapi, Allah Swt. menahan tangan kaum muslim untuk memerangi mereka dengan ditandatanganinya perjanjian damai.

Dalam ayat sebelumnya diterangkan faidah di balik larangan memerangi kaum kafir itu. Intinya, di tengah-tengah masyarakat kafir Quraisy terdapat orang-orang Mukmin laki–laki dan perempuan yang tidak diketahui oleh kaum Muslim. Maka dari itu, tidak menutup kemungkinan mereka akan turut terbunuh jika kaum Muslim menyerang mereka. Di samping itu, itu juga memberikan kesempatan bagi orang-orang kafir itu masuk ke dalam rahmat-Nya. Seandainya tidak ada kaum mukmin di tengah mereka maka Allah Swt. akan mengazab mereka dengan azab yang pedih.

Ayat in kemudian menjelaskan kondisi orang-orang kafir saat itu, juga keadaan Rasulullah saw. dan orang-orang mukmin ketika itu.

Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman,

إِذۡ جَعَلَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فِي قُلُوبِهِمُ ٱلۡحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٢٦

“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliah.”

Kata idz (ketika) bisa digunakan untuk menerangkan kalimat sebelumnya. Bisa juga berkedudukan sebagai nashab dengan menyembunyikan kalimat udzkur (ingatlah).1 Banyak mufasir yang lebih memilih makna pertama, yakni menerangkan peristiwa yang diberitakan dalam ayat sebelumnya. Ada beberapa kemungkinan. Pertama, menjadi keterangan terhadap kalimat ayat sebelumnya: « وَصَدُّوكُمْ » (dan mereka menghalangi kalian). Artinya, mereka menghalangi kalian ketika di dalam hati mereka tertanam kesombongan. Kedua, menerangkan akhir ayat sebelumnya: « لَعَذَّبْنَا » (sungguh Kami akan mengazab).2 Artinya: “Sungguh Kami mengazab mereka ketika mereka menanamkan kesombongan jahiliah dalam hati mereka”.3

Kata « اَلْجْعْلُ » (bentuk mashdar dari kata « جَعَلَ ») di sini bermakna « الْإِلْقَاءِ » (menaruh, meletakkan).4 Yang diletakkan dan ditancapkan dalam hati mereka adalah « اَلْحَمِيَّةُ ».

Secara bahasa, kata « اَلْحَمِيَّةُ » merupakan bentuk fa’îlah yang berarti « اَلْحَمِيَّةُ » (kesombongan, kebanggaan).5 Ketika disebutkan: « فُلَانٌ ذُو حَمِيَّةٍ », maknanya adalah: « ذُو أَنَفَةٍ وَغَضَبٍ » (dia memiliki kesombongan dan kemurkaan).6 Dengan demikian, hati mereka didiominasi oleh kesombongan dan keangkuhan.

Lalu disebutkan kata: « حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ ». Kata tersebut berkedudukan sebagai badal (pengganti) dari kata al-hamiyyah.7 Itu berarti, al-hamiyyah yang ditanamkan dengan kuat dalam hati mereka adalah hamiyyah al-jâhiliyyah (kesombongan jahiliah).

Menurut Syihabuddin Al-Alusi, makna hamiyyah al-jâhiliyyah adalah hamiyyah al-millah al-jâhiliyyah (kebanggaan atas agama jahiliyah) atau al-hamiyyah yang terlahir dari kebodohan lantaran tidak ada hujah dan tidak pada tempatnya.8 Al-Baidhawi berkata, “Hamiyyah al-jâhiliyyah adalah menolak untuk tunduk pada kebenaran.”9

Jika dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi pada saat itu, kesombongan jahiliah kaum kafir itu adalah penolakan mereka terhadap Rasulullah saw. beserta risalah yang beliau bawa. Bahkan ketika Rasulullah saw. dan kaum muslim hendak menunaikan umrah, mereka halang-halangi. Kaum muslim tidak boleh masuk Masjidilharam dan tanah haram. Tidak hanya itu, ketika dalam perjanjian damai di Hudaibiyah, Suhail bin Amr (wakil Quraisy dalam perundingan) menolak menuliskan kalimat BismilLaahir-Rahmaanir-Rahiim. Katanya, dia tidak mengenal ar-Rahmân dan ar-Rahîm. Tulis saja: BismikalLaah. Demikian juga ketika Rasulullah saw. mendiktekan kalimat: Muhammad Rasul Allah. Lagi-lagi dia menolak. Akhirnya, kalimat Rasulullah dihapus dan diganti kata Muhammad bin Abdullah. Demikianlah penjelasan para mufasir mengenai kesombongan yang dimaksud ayat ini.

Menurut Ibnu Jarir Ath-Thabari, kesombongan jahiliah itu tertanam dalam hati Suhail bin Amr ketika dia menolak dalam perjanjian damainya dengan Rasulullah saw. dituliskan kalimat: BismiLâh ar-Rahmaan ar-Rahîm. Dia juga tidak setuju jika ditulis Muhammad RasullLâh. Selain itu, dia dan kaumnya tidak setuju Rasullah saw. masuk ke Makkah pada tahun itu.10

Penjelasan yang kurang lebih sama juga dikemukakan oleh para mufasir lain, seperti Ibnu Katsir, Al-Khazin, As-Sa’di, Az-Zuhri, dan lain-lain.11

Menurut Abu Bakar al-Jazairi, yang dimaksud dengan hamiyyah al-jâhiliyyah adalah kesombongan, keangkuhan, serta apa pun yang menolak untuk menerima dan tunduk pada kebenaran. Ini termasuk bagian dari sifat jahiliah. Mereka telah berkata, “Bagaimana mungkin kami mengizinkan mereka masuk ke negeri kami, sedangkan mereka telah membunuh anak-anak kami. Demi Latta dan ‘Uzza, mereka tidak akan masuk ke negeri kami selamanya.”12

Ibnu Bahr berkata, “Kesombongan mereka adalah fanatisme mereka terhadap tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah Swt. dan keangkuhan mereka untuk menyembah selain-Nya.”13

Kemudian disebutkan,

فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَعَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢٦

“…maka Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada kaum mukmin.”

Berbeda dengan keadaan kaum kafir yang tertanam dalam hati mereka kesombongan jahiliah, Allah Swt. justru menurunkan sakînah atas Rasul-Nya dan kaum mukmin. Menurut Imam al-Qurthubi, makna as-sakînah di sini adalah al-thuma’ninah wa al-waqâr (ketenteraman dan ketenangan).14

Ada juga yang mengatakan bahwa Allah Swt. telah mencukupkan mereka pada keridhaan dan kepatuhan. Allah Swt. tidak akan memasukkan ke dalam hati mereka apa yang dimasukkan ke dalam hati kaum kafir, yaitu sifat sombong.15

Menurut Abdurrahman as-Sa’di, umat Islam tidak terbawa oleh kemarahan dalam menghadapi kaum musyrik. Sebaliknya, mereka justru bersabar terhadap hukum Allah Swt. dan terikat dengan syarat-syarat di dalamnya untuk mengagungkan larangan-larangan Allah Swt., walaupun telah ada sebelumnya. Mereka tidak memedulikan ucapan orang lain dan celaan orang yang suka mencela.16

Menurut Al-Jazairi, saat itu kaum mukmin enggan menerima perjanjian damai tersebut karena di dalam perjanjian damai tersebut mengandung keuntungan besar bagi pihak kaum musyrik, padahal mereka berada di pihak yang salah. Sebaliknya, kerugian besar bagi kaum mukmin. Padahal mereka di pihak yang benar. Ketika hal itu terjadi di dalam jiwa kaum mukmin, Allah Swt. pun menurunkan ketenangan kepada mereka sehingga mereka menerima perjanjian tersebut. Lalu terjadilah perjanjian tersebut. Perjanjian itu terbukti mengandung manfaat yang amat besar hingga perjanjian tersebut disebut sebagai kemenangan awal atau pembuka bagi kemenangan-kemenangan selanjutnya yang tidak ada batasnya.17

Lalu dilanjutkan dengan firman-Nya,

وَأَلۡزَمَهُمۡ كَلِمَةَ ٱلتَّقۡوَىٰ ٢٦

“Allah pun mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa.”

Ketika kaum kafir di dalam hati mereka dicengkeram kebanggaan jahiliah, Allah Swt. mengharuskan kalimat takwa kepada kaum mukmin. Yang dimaksud dengan kalimat takwa adalah kalimat Lâ ilâha illaL-lâh. Ini didasarkan pada hadis marfuu’ dari Nabi saw.; juga pendapat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan lain-lain.18

Menurut Asy-Syaukani, ini merupakan pendapat mayoritas ulama.19 Atha‘ dan Khurasan menambahkan kalimat: Muhammad Rasulullah. 20

Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, “Allah Swt. mewajibkan mereka kalimat Lâ ilâha illaL-lâh. Dengan itu mereka dapat terhindar dari neraka dan azab yang menyakitkan.”21

Menurut Az-Zuhri, kalimat takwa adalah BismilLâh ar-Rahmân ar-Rahîm. Artinya, kaum musyrik tidak mengakui kalimat tersebut sehingga Allah Swt. mengkhususkan kalimat itu bagi kaum mukmin. Kalimat takwa adalah kalimat yang menjauhkan dari kemusyrikan.22 Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan itu adalah ikhlas.23

Semua penjelasan para ulama itu saling melengkapi. Kalimat tauhid Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh adalah asas bagi ketakwaan. Kalimat basmalah juga menjadi dasar ketakwaan pada diri seseorang bagi yang meyakininya. Sebabnya, takwa adalah ketaatan pada semua perintah dan larangan Allah Swt. yang didasarkan atas keimanan dan dorongan untuk mendapatkan rida dan surga-Nya.

Itulah yang diperintahkan Allah Swt. kepada kaum mukmin. Dalam konteks Perjanjian Hudaibiyah, jika dibaca sekilas, ia tampak merugikan umat Islam. Sebagian mereka kecewa dengan keputusan Rasulullah saw. Namun, hati mereka kembali menjadi tenang setelah Rasulullah saw. menjawab kekecewaan mereka. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku adalah Rasul Allah dan tidak mendurhakai-Nya. Allah pasti menolongku.”

Dengan penjelasan itu, mereka memahami bahwa Perjanjian Hudaibiyah beserta semua isinya adalah keputusan Allah Swt. yang harus ditaati oleh Rasul-Nya dan seluruh pengikutnya. Karena berasal dari Allah maka ia tidak mungkin salah. Hati mereka makin merasa tenteram ketika beliau menyembelih hewan kurban dan mencukur rambutnya. Mereka pun beramai-ramai mengikuti beliau.

Kemudian ditegaskan,

وَكَانُوٓاْ أَحَقَّ بِهَا وَأَهۡلَهَاۚ ٢٦

“Mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya.”

Maksudnya, kaum mukmin itu lebih berhak atas kalimat takwa tersebut daripada kaum kafir Makkah. Sebabnya, Allah Swt. telah memilih mereka untuk agama-Nya dan menemani Nabi-Nya.24 Al-Jazairi berkata, “Mereka lebih pantas daripada orang lain memiliki kalimat tauhid dan lebih berhak untuk mendapatkan kalimat takwa.”25

Ketika seseorang telah menetapkan dirinya menjadi mukmin maka sepantasnya mereka menjadikan dirinya sebagai hamba yang bertakwa, tunduk, dan patuh pada semua perintah-Nya.

Ayat ini pun diakhiri dengan firman-Nya,

وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا ٢٦

“Allah Maha Tahu atas segala sesuatu.”

Artinya, Allah Swt. mengetahui segala sesuatu. Tidak ada satu pun yang terlewat dari pengetahuan-Nya. Termasuk di dalamnya kejahatan orang-orang kafir yang menjadikan hati mereka dicengkeram dengan kebanggaan dan kesombongan jahiliah. Begitu pula ketaatan dan ketundukan orang-orang beriman pada semua keputusan dan ketetapan-Nya.

Menjelaskan penggalan ayat ini, Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Allah Swt. senantiasa memiliki pengetahuan tentang segala sesuatu. Tidak ada yang tersembunyi bagi Dia karena pengetahuan-Nya tentang peristiwa yang akan terjadi jika kalian masuk ke Makkah, sedangkan di sana ada laki-laki dan perempuan mukmin yang tidak kalian ketahui. Oleh karena itu, Dia tidak mengizinkan kalian memasuki Makkah kali ini.”26

Demikianlah, kaum kafir itu hati mereka telah dicengkeram kesombongan dan kebanggaan jahiliah. Sikap ini didasarkan pada kebodohan lantaran tidak didasarkan hujah dan argumentasi. Ironisnya, kebanggaan jahiliah itu membuat pelakunya menolak kebenaran dari Allah Swt.. Bahkan lebih dari itu, mereka menghalangi manusia dari jalan Allah Swt. dan beribadah kepada Dia. Bahaya sifat sombong yang memalingkan pelakunya dari kebenaran itu juga diungkap dalam firman Allah Swt. yang lain (Lihat, misalnya: QS al-A’raf [7]: 146).

Sikap itu jelas berkebalikan dengan sikap Rasulullah saw. dan kaum mukmin. Mereka mengimani dan menerima semua kebenaran yang berasal dari Allah Swt.. Sekalipun secara lahir tampak merugikan mereka, tetapi ketika itu merupakan perintah-Nya, mereka akan menerima itu dengan sukarela. Bagi mereka, semua keputusan dan ketentuan Allah Swt. pasti benar dan adil.

Atas sikap mereka, pantaslah kaum mukmin itu menerima kewajiban kalimat takwa. Kalimat inilah yang membuat mereka menempati derajat paling tinggi di hadapan Allah Swt.. Semoga kita semua termasuk di dalamnya.

Wallahualam bissawab. [MNews/Rgl]

Catatan kaki:

1 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiyy, 1987), 344

2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur‘ân, vol. 16 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 288;

3 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 28, 84

4 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 64; Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22 (tt: al-Risalah, 2000), 252

5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 288. Lihat juga dalam Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 64

6 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 64

7 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 64

8 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 269

9 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1998), 131

10 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl Al-Qurân, vol. 22, 251

11 Ibnu Katsir, Tafsîr Al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 345; Al-Khazin, Lubbâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 170-171; al-Sa’di, Taysîr al-karîm ar-Rahman (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 794; Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 288-289

12 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 112

13 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur‘ân, vol. 16, 289

14 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur‘ân, vol. 16, 289

15 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur‘ân, vol. 16, 289

16 Al-Sa’di, Taysîr al-karîm ar-Rahman, 794

17 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 112

18 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 289

19 Al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 64

20 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur‘ân, vol. 16, 289

21 Al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22, 253

22 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur‘ân, vol. 16, 289

23 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur‘ân, vol. 16, 289

24 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur‘ân, vol. 16, 289

25 Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 113

26 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22, 256

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *