[Editorial] Agar Ramadan Tidak Hanya Seremonial

[Editorial] Agar Ramadan Tidak Hanya Seremonial

Muslimah News, EDITORIAL — Tidak terasa, beberapa hari lagi kita akan memasuki Ramadan. Bagi seorang mukmin, bulan ini pasti sangat dinanti-nantikan. Kerinduan, begitu membuncah meski baru menyebut namanya. Bukan hanya karena suasananya yang begitu berbeda, tetapi karena Allah Swt. telah menyematkan berbagai keistimewaan yang tiada tara.

Pada bulan ini, Allah Swt. menjanjikan pintu ampunan terbuka lebar. Sementara itu, pahala kebaikan mengalir deras tanpa ada hitungan. Jika dengan ibadah puasa seseorang berhasil sampai pada derajat takwa, Allah pun memastikan keberkahan di dunia dan akhirat akan dia dapatkan. Bukankah ini yang sangat diinginkan oleh orang-orang beriman?

Ramadan di Tengah Impitan Persoalan

Namun, di tengah rasa bahagia dan rindu menyambut Ramadan, banyak hal yang menyedihkan. Betapa banyak Ramadan sudah kita lewati, tetapi kondisi umat masih saja belum beranjak baik. Nyaris seluruh sektor kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, sosial, pendidikan, pergaulan, hukum hingga hankam, tidak ada yang luput dari jeratan persoalan.

Di dalam negeri, kegembiraan umat menyambut Ramadan selalu harus ternodai dengan berbagai permasalahan. Harga-harga kebutuhan meroket naik, terutama kebutuhan pokok dan biaya layanan publik, padahal kondisi ekonomi mayoritas masyarakat kita masih jauh dari kata sejahtera. Daya beli rendah, di tengah sulitnya mendapat pekerjaan yang layak dan tingkat inflasi yang berfluktuasi.

Pemerintah sendiri selalu mengeklaim bahwa pertumbuhan ekonomi dalam kondisi aman, bahkan terus meningkat. Namun, tidak bisa dimungkiri, angka kemiskinan faktanya masih saja besar, padahal kemiskinan sering disebut-sebut sebagai induk berbagai persoalan.

Terbukti, kasus-kasus turunannya juga terus membayangi kehidupan masyarakat kita. Gizi buruk, kelaparan akut, kasus-kasus stunting, stres sosial bahkan depresi, perceraian hingga kasus-kasus kriminalitas dengan segala variannya, merebak di mana-mana.

Problem moral generasi pun demikian. Menjelang Ramadan, alih-alih kasusnya makin mereda, kenakalan, bahkan kejahatan yang dilakukan generasi muda, justru kian merajalela. Pergaulan bebas dengan segala dampaknya, miras dan narkoba, tawuran, bunuh diri, perampokan, penyimpangan perilaku hingga pemerkosaan yang berujung pembunuhan, sudah jadi berita biasa.

Semua ini melengkapi deretan kasus lainnya, termasuk soal moral hazard pejabat yang kian parah dan sulit diberantas. Korupsi begitu membudaya, berkelindan dengan kian kuatnya jaringan para mafia yang juga kian banyak jenisnya.

Mafia pajak, mafia peradilan, mafia proyek, mafia impor, dan sebagainya kian terinstitusi. Mereka tega menggerogoti uang negara yang notabene uang rakyat hingga kerugiannya setara dengan biaya pemindahan ibu kota negara. Sementara itu, pada saat yang sama, utang pemerintah per Januari 2024 saja sudah menembus angka Rp8.253,09 triliun yang keukeuh dianggap aman-aman saja.

Semua kekisruhan ini terjadi di tengah kondisi politik yang kian tidak pasti. Pesta demokrasi yang baru saja usai nyatanya menyisakan begitu banyak persoalan. Di tengah bau kecurangan yang sangat menyengat, rakyat pun harus bersiap. Potensi friksi terus mengintai. Sementara itu, cengkeraman para oligarki rakus kian hari kian menguat di bawah kepemimpinan yang minus visi riayah atas rakyatnya sendiri.

Kita lihat, kursi kekuasaan benar-benar sedang jadi rebutan. Para pecundang politik tidak malu menampakkan wajah rakus akan kedudukan. Mereka rela menjilat hanya demi kursi panas kekuasaan. Para sponsor politik pun bersiap menarik keuntungan. Sementara itu, rakyat siap-siap kembali dikecewakan.

Ramadan dan Derita Umat Islam

Ala kulli haal, di tengah semua kepenatan dan kesedihan, momen Ramadan bagi kita setidaknya bisa menjadi setitik oase yang menenangkan. Umat Islam di Indonesia masih bisa memanfaatkannya untuk sekadar menarik napas, berkontemplasi dan menikmati semarak Ramadan yang sudah menjadi kebiasaan.

Namun, tidak demikian bagi sebagian muslim lainnya di dunia. Kaum muslim Palestina harus menjalani momentum Ramadan dengan penderitaan luar biasa. Kekejaman Zion*s benar-benar di luar nalar manusia. Satu detik saja waktu yang ada benar-benar menjadi anugerah luar biasa karena dalam hitungan detik saja, mereka bisa kehilangan nyawa.

Hanya dalam hitungan bulan, puluhan ribu nyawa tidak berdosa hilang begitu saja, sedangkan puluhan ribu lainnya luka-luka tanpa mendapat perawatan selayaknya. Namun, yang lebih menyedihkan, semua terjadi di hadapan mata kita yang katanya saudara seiman mereka. Sementara itu, para penguasa muslim beserta jutaan personel tentara yang ada di seluruh penjuru dunia juga tidak mau dan tidak mampu berbuat apa-apa.

Begitu pun kaum muslim Rohingya. Mereka hidup terlunta tanpa negara. Kekejaman rezim buddhis Myanmar juga terjadi di hadapan mata masyarakat dunia, tetapi tidak ada yang mampu menghentikannya. Mereka benar-benar diperlakukan seakan bukan manusia. Siapa pun seolah boleh menolak keberadaannya, padahal semestinya derita mereka adalah derita kita juga.

Di luar derita muslim Palestina dan Rohingya, kaum muslim India dan Uighur pun sedang tidak baik-baik saja. Begitu pun kaum muslim yang tinggal di negara-negara Eropa, seperti Inggris, Swedia, dan Belanda yang katanya menjunjung tinggi hak asasi manusia. Mereka mendapat tekanan luar biasa akibat merebaknya penyakit islamofobia. Sementara itu, kaum muslim lainnya di dunia juga hanya bisa diam atau mengecam saja.

Lantas di mana pengaruh Ramadan bagi iman dan amal kita? Sedangkan salah satu wujud iman dan takwa adalah mencintai dan menolong saudara. Tentu bukan sekadar dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Perumpamaan kaum mukmin dalam hal saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR Muslim).

Agar Ramadan Tidak Sekadar Ritual

Sungguh kondisi umat ini bukanlah habitat asli mereka. Umat Islam sejatinya adalah umat terbaik yang diturunkan di antara umat manusia lainnya. Umat Islam adalah umat pemimpin yang selama belasan abad mampu menebar rahmat di seluruh alam. Bahkan umat Islam dalam sejarah panjangnya mampu menjadi mercusuar peradaban yang menyinari dunia dari masa ke masa.

Inilah yang semestinya menjadi bahan perenungan kita. Mengapa Ramadan ke Ramadan tidak memberi pengaruh dalam memperbaiki performa umat Islam sedunia? Sedangkan spirit Ramadan adalah spirit perjuangan dan perubahan. Rasulullah saw. menjadikan momentum Ramadan sebagai lapangan riadat dan amal kesalehan. Bukan hanya untuk seremonial sisi ritual, tetapi juga jihad menegakkan panji kebenaran sekaligus berjuang membangun peradaban.

Umat Islam semestinya paham bahwa akar dari semua problem dan kekisruhan yang menimpanya adalah penerapan sistem sekularisme demokrasi kapitalisme neoliberal. Sistem ini memang sudah lama dipaksakan penerapannya oleh negara adidaya dan anteknya demi melanggengkan penjajahan.

Sistem ini menafikan kedaulatan Tuhan, digantikan oleh kedaulatan rakyat yang diagung-agungkan. Tidak heran jika peran agama, khususnya Islam, dalam kehidupan terus berupaya disingkirkan. Upaya penegakannya pun terus berusaha diadang, padahal kunci kebangkitan umat Islam justru ada pada tegaknya Islam.

Sejarah telah membuktikan, sepanjang umat Islam berpegang teguh pada agamanya dan hidup di bawah naungan institusi Khilafah yang menegakkannya, mereka berhasil menjadi umat terbaik, bahkan menjadi pionir peradaban. Khalifah konsisten menegakkan syariat kafah yang dengannya jaminan kebaikan akan diperoleh rakyatnya. Justru ketika umat mulai mencampakkan Islam dan hidup dengan sistem kepemimpinan sekuler, mereka jadi objek penjajahan dan hidup dengan berbagai penderitaan.

Dengan demikian, hadirnya Ramadan semestinya menjadi momentum untuk meningkatan ketakwaan yang mewujud dalam bentuk ketaatan total pada seluruh ajaran Islam sehingga sukses Ramadan terukur dari kesiapan umat untuk hidup dalam naungan sistem Islam.

Selamat datang, Ramadan! Semoga kehadiranmu kali ini tidak sebagaimana Ramadan-Ramadan sebelumnya. Ramadan tahun ini harus memberi spirit perubahan ke arah Islam di tengah umat, meski untuk tegaknya Islam tentu butuh perjuangan sesuai yang Rasulullah saw. contohkan.

Allah Swt. berfirman,

قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.'”(QS Yusuf: 108). [MNews/SNA]

Share

One thought on “[Editorial] Agar Ramadan Tidak Hanya Seremonial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *