Indonesia Mendapat “Cendera Mata” dari Cina, Imperialisme di Depan Mata

Indonesia Mendapat “Cendera Mata” dari Cina, Imperialisme di Depan Mata

Penulis: Chusnatul Jannah

Muslimah News, OPINI — Kunjungan Presiden Jokowi ke Cina membuahkan hasil. Cina bersiap mengguyur Indonesia dengan investasi sebesar US$11,5 miliar atau setara Rp175 triliun (asumsi kurs Rp15.107 per US$). Perusahaan asal Cina, Xinyi International Investment Limited, berencana menanamkan investasinya untuk industri kaca panel surya di Indonesia.

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan, rencana investasi tersebut berupa pengembangan ekosistem rantai pasok industri kaca serta industri kaca panel surya di Kawasan Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Menurutnya, investasi ini akan menyerap sekitar 35 ribu tenaga kerja. Bahkan, Presiden Jokowi menjanjikan berbagai kemudahan kepada Xinyi Group jika terjadi hambatan di lapangan.

Indonesia tampak semringah mendapat “cendera mata” berupa investasi dari Cina, padahal ada ancaman imperialisme di depan mata yang harus diwaspadai pemerintah Indonesia. Apa saja?

Utang dan Investasi Asing, Pintu Penjajahan

Investasi asing semestinya tidak dipandang sebagai sesuatu yang mampu memeratakan pembangunan di Indonesia, pun dengan utang yang kian menumpuk dan bejibun. Indonesia juga seharusnya tidak merasa baik-baik saja. Meski rasio utang terhadap PDB masih lebih rendah dari batas aman ketentuan, yakni sebesar 60%, Indonesia harusnya waswas. Secara logis, adakah orang berutang hidupnya tenang? Apalagi jika yang berutang adalah negara dengan nilai triliunan. Normalnya ya cemas, bukan malah senang dan tenang saja.

Diketahui, hingga Juni 2023, total utang RI menembus Rp7.805,19 triliun. Dari sudut pandang kapitalisme, negara yang memiliki utang adalah hal wajar dan sah-sah saja. Pemerintah selalu membantah kritik utang Indonesia dengan alasan negara maju saja berutang, apalagi negara berkembang seperti Indonesia yang tentu lebih membutuhkan paket investasi dan utang dalam membangun negara.

Daripada sibuk membela diri, pemerintah seharusnya waspada akan bahaya utang dan investasi bagi Indonesia.

Pertama, ketagihan dan ketergantungan. Selama utang masih di bawah 60%, pemerintah akan selalu menganggap utang aman. Akhirnya, Indonesia akan ketagihan pada utang. Dengan alasan pembangunan dan infrastruktur, ketergantungan pemerintah terhadap investasi juga sepertinya akan terus berlanjut. Apalagi banyak proyek besar yang membutuhkan tangan dan modal investor, seperti IKN, proyek EBT, ekonomi hijau, dan sarana publik lainnya. Tidak tanggung-tanggung, belakangan ini Presiden Jokowi rajin promosi IKN kepada investor. Bahkan, ia telah menyiapkan 34.000 ha lahan di IKN agar investor masuk dan menggarapnya khusus untuk bisnis di sektor kesehatan dan pendidikan.

Kedua, nyali dan posisi Indonesia makin menciut. Akibat bergantung pada investasi dan utang, posisi Indonesia di mata Cina akan makin kerdil. Pasalnya, Cina adalah negara keempat terbesar pemberi utang luar negeri (ULN), senilai US$20,42 miliar.

Sejak menjadi mitra strategis Cina, Indonesia juga tampak makin tidak bernyali untuk speak up atas segala hal yang menyinggung kebijakan Cina. Contohnya, Indonesia lebih memilih posisi “aman” dengan tidak banyak berkomentar atas pelanggaran HAM yang dilakukan Cina terhadap muslim Uighur. Indonesia bungkam dan bersikap apatis.

Ketergantungan ekonomi Indonesia pada Cina akan membuat Indonesia tidak berdaya, seolah tidak ada pilihan lain selain menuruti kemauan Cina. Banyak ketaktegasan pemerintah jika berkaitan dengan Cina, misalnya masuknya kapal-kapal Cina yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Adakah tindakan tegas dan terukur yang dilakukan pemerintah untuk menjaga kedaulatan laut Indonesia? Faktanya, nyali Indonesia menciut dan tidak melakukan perlawanan berarti atas pelanggaran tersebut.

Peneliti Indonesia-Cina di Center for Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Zulfikar Rakhmat mengatakan lemahnya posisi Indonesia di hadapan Cina ini tampak dari kebijakan yang berubah-ubah terkait ekspor mineral yang bisa mengancam lingkungan. Begitu pula dengan derasnya TKA Cina yang tidak mampu dihalau lantaran belenggu ikatan kerja sama Indonesia-Cina. Bukti keberpihakan pemerintah kepada asing juga sangat tampak dari UU yang dihasilkan, semisal UU Cipta Kerja.

Ketiga, utang dan investasi adalah alat penjajahan untuk menjerat suatu negara. Risiko terbesar dari utang adalah ancaman gagal bayar karena pembayaran bunga utang yang tinggi. Ancaman ini akan makin menganga jika nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing lemah. Apalagi Cina gemar melakukan devaluasi mata uang, tentu akan berpengaruh pada nilai rupiah.

Dampak negatif investasi asing juga kian terbuka lebar, seperti negara kehilangan kendali atas industri karena diambil alih investor, mendominasinya perusahaan asing di pasar domestik dan berpotensi mematikan pasar lokal seperti UMKM, rentan terhadap krisis ekonomi global, penjajahan SDA, serta ketimpangan sosial dan ekonomi. Juga banyak terjadi konflik lahan, tambang, dan lingkungan antara perusahaan asing dan masyarakat setempat.

Inilah di antara dampak buruk imperialisme melalui utang dan investasi asing. Imperialisme makin kuat seiring penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal yang melegalkan liberalisasi di segala bidang.

Investasi dan Utang dalam Khilafah

Dalam membangun dan memajukan negara, Khilafah tidak akan bergantung pada investasi dan utang. Dalam pandangan Islam, utang luar negeri adalah alat penjajahan asing untuk menjerat negeri-negeri Islam.

Dalam Islam, kegiatan investasi yang dilakukan wajib terikat syariat Islam. Oleh karenanya, siapa pun yang ingin terlibat dalam investasi wajib memahami syariatnya secara saksama. Dengan begitu, ia bisa terhindar dari investasi yang diharamkan dalam Islam. Dalam hal permodalan, harta yang dijadikan modal haruslah diperoleh secara halal, baik milik pribadi ataupun dari sumber lain yang halal. 

Investasi dalam sektor pertanian, perindustrian, hingga perdagangan juga harus sesuai Islam. Dalam aspek industri, misalnya, beberapa hukum Islam yang bersinggungan dengan sektor itu harus dipatuhi seperti bentuk syirkah, ijarah, jual beli, perdagangan internasional, dan istishnâ’. Beberapa model transaksi, seperti riba, judi, pematokan harga, penipuan, dan penimbunan, haram diterapkan dalam kegiatan investasi. Begitu pula model kerja sama yang mengadopsi kapitalisme, seperti saham, asuransi dan koperasi.

Perbedaan mendasar antara investasi dalam Islam dan kapitalisme adalah batasan kepemilikan. Dalam ekonomi kapitalisme, mereka hanya mengenal kebebasan kepemilikan. Dengan prinsip ini, siapa pun yang bermodal berhak memiliki apa pun yang bisa diperjualbelikan. Tidak terkecuali aset-aset yang menjadi milik publik, seperti barang tambang, sungai, laut, bandara, pelabuhan, tol, jalan raya, dan lainnya. Sementara itu, dalam Islam, kepemilikan harta dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu individu, umum, dan negara.

Dalam hal kepemilikan umum, negara dilarang memperjualbelikannya kepada individu atau swasta. Satu-satunya pihak yang berhak mengelola harta milik umum adalah negara. Hasil pengelolaannya wajib dikembalikan kepada rakyat karena pemilik kekayaan milik umum sejatinya adalah rakyat.

Dalam aspek pembangunan dan infrastruktur, Khilafah memiliki sumber pendapatan yang besar tanpa harus berutang. Sumber pendapatan tersebut berupa pos-pos pemasukan yang dikelola baitulmal, seperti fai, kharaj, jizyah, ganimah, usyur, pengelolaan SDA, dan harta milik negara. Pengelolaan SDA dengan cara Islam akan menjadikan negara memiliki sumber pemasukan yang besar, termasuk Indonesia dengan kekayaan SDA-nya. Dengan sistem Islam, Indonesia dan negeri muslim lainnya bisa menjadi negara yang kuat dan mandiri.

Khatimah

Kutipan dalam buku Negara Gagal karya ekonom asal Turki-Amerika, Daron Acemoglu, mungkin patut kita renungi bersama, “Kemajuan atau kemunduran suatu negara ditentukan oleh desain institusi politik dan ekonominya. Suatu negara dapat terus berjalan dan mencapai titik kemakmuran apabila dikelola dengan cara yang tepat.”

Oleh karenanya, cara yang tepat untuk membangun institusi politik dan ekonomi yang mampu membuat negara berdikari adalah dengan sistem Islam kafah. Tata kelola negara berdasarkan kapitalisme terbukti membuat negara tidak mandiri, ketergantungan, dan kecanduan utang.

Sekaya-kayanya SDA suatu negara, tidak akan berguna jika tata kelola pemerintahannya masih dikendalikan para pengusaha. Sebaik-baiknya pemimpin, jika politik ekonominya masih bertumpu pada sistem kapitalisme, jangan berharap kesejahteraan dan kemandirian. Suatu negara, termasuk Indonesia, bisa menjadi adidaya hanya dengan menerapkan syariat Islam dalam bingkai Khilafah. [MNews/Gz]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *