Pencanangan Tahun Kerukunan, Upaya Mengadang Islam Politis?

Pencanangan Tahun Kerukunan, Upaya Mengadang Islam Politis?

Penulis: Arini Retnaningsih

Muslimah News, FOKUS — Indonesia akan menggelar pesta demokrasi pada Februari 2024. Meski demikian, nuansa dan dinamika politiknya sudah terasa sejak tahun ini. Berkenaan itu, Kementerian Agama telah mencanangkan 2023 sebagai Tahun Kerukunan. Pencanangan ini dihadiri oleh para pemuka berbagai agama di Indonesia. (Situs Kemenag, 3-3-2023).

Sebagai negara dengan beragam agama, peluang terjadinya gesekan antarumat beragama di Indonesia memang cukup besar. Apalagi konstelasi perpolitikan di Indonesia akhir-akhir ini yang diwarnai dengan berbagai semburat islamofobia.

Sejak terjungkalnya Ah0k dalam Pilkada DKI 2017 lalu, umat Islam—khususnya para penganut Islam ideologis dan politis—ditempatkan dalam posisi sebagai pihak yang dicurigai, bahkan dimusuhi. Inilah yang kemudian memunculkan berbagai ketegangan dalam hubungan penguasa dan umat, antara umat Islam dan nonmuslim, bahkan antarumat Islam sendiri.

Pencanangan Tahun Kerukunan yang diharapkan bisa menjadi solusi hakikatnya adalah sebuah upaya fetakompli (fait accompli), suatu ketentuan yang mau tidak mau harus diterima oleh semua pihak di Indonesia. Menyalahi apa yang menjadi ide dan keinginan penguasa, harus berhadapan dengan cap sebagai “perusak kerukunan”.

Dengan demikian, umat Islam dipaksa untuk menjadi satu warna yang sama, yaitu warna moderasi. Mengambil warna lain berarti harus bersiap menghadapi risikonya, yakni difitnah dan dijegal.

Fitnah terhadap Islam Politis

Islam politis adalah memandang bahwa akidah bukan semata-mata aspek ruhiah, melainkan juga merupakan seperangkat aturan yang mengatur seluruh urusan manusia, oleh karenanya harus diterapkan. Aturan yang kita sebut syariat ini meliputi seluruh aspek kehidupan, baik peribadatan dan akhlak, maupun politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya.

Islam politis dianggap sebagai ancaman bagi ide kapitalisme-demokrasi. Ini karena Islam politis menghendaki penerapan syariat secara formal dalam institusi negara. Tidak heran jika ide ini dijadikan sebagai sasaran fitnah dan serangan sebagaimana dalam tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai media yang khusus dibuat untuk meng-counter-nya. 

Agus Wedi dalam tulisannya di harakatuna[dot]com (2-3-2023) menulis, “Agama yang baik, yang bisa merahmati umat Islam dan umat lainnya. Namun sayangnya, agama yang rahmatan lil ‘alamin, bagi aktivis syariat Islam ini, diartikan yang lain, yaitu hanya merahmati orang-orang beriman dan orang-orang yang berislam. Sedangkan orang selain yang beragama Islam, tetap berada dalam kesesatan dan kekafiran. Oleh sebab itu, mereka tidak mendapatkan rahmat yang sesungguh-sungguhnya.”

Ia juga menuliskan, “Apalagi dalam mengartikan sistem syariat Islam. Syariat Islam tegak dan berdiri menurutnya, adalah bilamana orang-orang Islam bisa merebut kekuasaan orang-orang nonmuslim. Dan baginya, sistem syariat Islam hanya untuk umat Islam, bukan untuk umat yang lainnya. Artinya, sebenarnya sistem syariat tersebut, tidak bisa menjadi pegangan hidup, apalagi rahmatan lil ‘alamin. Sangat jauh, dan jauh sekali. Maka itu, jika orang-orang moderat beralih memperjuangkan sistem syariat Islam Khilafah, tinggal nunggu waktu saja Indonesia berada dalam kekacauan.”

Sedangkan Ghufronullah dalam situs yang sama (3-3-2023) menyatakan, “Bersikukuh untuk tetap melanjutkan sistem Khilafah adalah hal bodoh yang akan membahayakan negara sendiri. Dari itu, kemudian agama pun ikut terganggu—sebab negara adalah perantara atau wadah untuk terlaksananya syariat. Jika syariat terganggu dengan mendirikan sistem Khilafah maka apakah betul sistem Khilafah adalah untuk mempertahankan agama dan membelanya?”

Islam Politis Rahmatan lil ‘Alamin

Saat ini, tidak ada satu pun institusi yang menerapkan Islam secara kafah. Beberapa negeri muslim mengeklaim sebagai negara Islam, menerapkan syariat Islam, tetapi pada faktanya hanya beberapa hukum yang mereka terapkan, terutama hukum pidana.

Fakta yang tampak jelas bagi kita, ketika Islam tidak diterapkan, umat Islam menjadi berpecah belah, ditindas, dijajah, dan dimarginalkan. Di Myanmar, Cina, dan Palestina, umat Islam dibantai dan menghadapi ancaman dimusnahkan. Di Eropa, India, dan Amerika, umat Islam harus berhadapan dengan islamofobia yang kuat. Mereka dipersekusi dan dilarang menjalankan ajaran agamanya di ruang-ruang publik. 

Di Indonesia, yang merupakan negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, umat Islam juga harus berhadapan dengan islamofobia penguasa dan umat Islam sendiri. Pengajian dibubarkan, aktivis ditangkap dan dipenjara, pemuda “good looking” dicurigai, jenggot dan celana cingkrang dilarang, dan sebagainya.

Semua realitas tersebut menunjukkan bahwa Islam yang saat ini diusung berbagai negara dengan penduduk mayoritas muslim belum mampu mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Juga pasti tidak akan bisa mewujudkannya karena Islam rahmatan lil ‘alamin tidak mungkin bisa terealisasi oleh penerapan Islam di aspek ibadah saja, melainkan hanya bisa diwujudkan melalui Islam politis.

Yang dikatakan Agus Wedi maupun para pengusung Islam moderat bahwa Islam rahmatan lil ‘alamin versi aktivis Islam politis menginginkan rahmat untuk kaum muslim saja, jelas fitnah tidak berdalil. Mari kita lihat tafsir rahmatan lil ‘alamin versi para ulama salaf. 

Firman Allah Taala,

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

“Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.” (QS Al-Anbiya: 107).

Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Allah mengutus Rasulullah sebagai rahmat bagi seluruh alam, baik yang beriman ataupun mereka yang kafir. Kepada mereka yang beriman, Allah berikan hidayah; dan bagi golongan kafir, Allah tunda azab bagi mereka sebagaimana yang terjadi pada umat-umat terdahulu.” (Jami’u al-Bayan fi Ta’wili al-Qur’an, 18/552). 

Hamka dalam Tafsir Al-Azhar juz 17 menafsirkan ayat ini dengan mengambil tulisan Sayyid Quthub, “Sistem ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw. adalah sistem yang membawa bahagia bagi manusia seluruhnya dan memimpinnya kepada kesempurnaan yang telah dijangkakan baginya dalam hidup ini.”

Dengan demikian, rahmat bagi alam semesta terwujud dengan menegakkan apa-apa yang diemban oleh Rasulullah saw., yakni akidah dan syariat Islam dalam kehidupan secara utuh dan menyeluruh. Saat itulah kebahagiaan hidup dinikmati oleh seluruh umat manusia, apa pun agamanya.

Hal ini sejalan dengan kabar bahwa Allah Swt. menjanjikan turunnya keberkahan dari langit dan bumi ketika din Islam ditegakkan dalam kehidupan oleh penduduk negeri yang beriman dan bertakwa.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. …” (QS Al-A’râf [7]: 96).

Rahmat bisa diartikan sebagai jalbul mashalih wa dar’ ul mafasid, yakni menghasilkan kemaslahatan dan menolak kerusakan, yaitu terpenuhinya semua yang menjadi kemaslahatan umat seluruhnya, muslim ataupun nonmuslim, serta menjauhkan mereka dari segala kemudaratan.

Jadi, ketika Islam diterapkan secara utuh, bukan hanya muslim, tetapi nonmuslim juga memperoleh rahmat Allah. Inilah yang telah terbukti selama berabad-abad penerapan Islam dalam sistem kekhalifahan.

Dalam buku The Preaching of Islam, orientalis dan sejarawan Kristen, Thomas W. Arnold, mencatat bahwa keadilan Kekhalifahan Islam membuat warga Kristen penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan Khalifah dibanding dipimpin oleh Kaisar Romawi walau sama-sama Kristen.

Wilayah Syam (Syria, Yordania, Palestina) berada di bawah pemerintahan Kristen Romawi timur (Byzantium) selama tujuh abad sebelum Islam datang. Ketika pasukan muslim di bawah pimpinan Abu Ubaidah mencapai lembah Yordania, penduduk Kristen setempat menulis surat kepadanya yang berbunyi,

“Saudara-saudara kami kaum muslim, kami lebih bersimpati kepada saudara daripada orang-orang Romawi, meskipun mereka seagama dengan kami karena saudara-saudara lebih setia kepada janji, lebih bersikap belas kasih kepada kami dengan menjauhkan tindakan-tindakan tidak adil serta pemerintah Islam lebih baik daripada pemerintah Byzantium karena mereka telah merampok harta dan rumah-rumah kami.”

Rakyat provinsi kekaisaran Byzantium yang direbut tentara muslim dapat menikmati alam toleransi setelah berabad-abad tertekan oleh pemerintahan Kristen Romawi. Mereka diberi kebebasan tanpa gangguan untuk menjalankan keyakinan mereka, kecuali sedikit pembatasan, yaitu tidak menonjol-nonjolkan simbol agama, untuk mencegah bentrokan antara penganut kedua agama atau timbulnya fanatisme yang dapat melukai perasaan kaum muslimin.

Luasnya toleransi ini dapat dilihat dari syarat-syarat yang diberikan kepada kota-kota yang ditaklukkan oleh pasukan Islam. Perlindungan terhadap jiwa, harta penduduk, dan keleluasaan menjalankan ajaran-ajaran agama, dijamin sebagai kompensasi ketundukan dan pembayaran jizyah yang jumlahnya lebih kecil dibanding pajak mencekik yang diterapkan penguasa Kristen Romawi.

Maria Rosa Menocal, peneliti sejarah dan kebudayaan di Universitas Pennsylvania, bahkan menggelari kekuasaan Islam di Andalusia sebagai “surga” karena menerapkan aturan yang membuat tiga agama besar (Islam, Yahudi, dan Nasrani) hidup dalam harmoni. (Menocal, M.R. 2015, Surga di Andalusia).

Inilah hasilnya tatkala Islam politis diterapkan, yaitu terwujudnya rahmatan lil ‘alamin. Hal ini karena makna “politik” dalam Islam adalah ‘pengurusan urusan rakyat’, bukan cara-cara untuk memperoleh kekuasaan sebagaimana dalam sistem kapitalisme saat ini.

Oleh karenanya, sudah semestinya nonmuslim ikut merindukan penerapan syariat. Demikian pula, tidak selayaknya umat Islam sendiri justru menakut-nakuti nonmuslim dengan ancaman ketika Islam diterapkan mereka (nonmuslim) akan menjadi korban.

Fitnah 1515 dan T*liban

Khilafah dianggap sebagai sumber kekacauan karena yang dijadikan gambaran penerapannya adalah apa yang diterapkan 1515 dan T*liban. Perlu dipahami, dalam Islam, yang menjadi standar perbuatan bukanlah fakta, sejarah, maupun penerapan Islam oleh individu atau kelompok tertentu. Walhasil, penerapan oleh 1515 dan T*liban tidak bisa digunakan untuk menghukumi sistem Khilafah, sama halnya dengan kejayaan Islam sepanjang masa kekhalifahan tidak menjadi dalil wajibnya Khilafah. 

Standar perbuatan hanyalah Al-Qur’an dan Sunah, serta apa saja yang terpancar dari keduanya berupa ijmak dan kias. Ketika nas-nas syarak mewajibkan keberadaan Khilafah untuk menerapkan syariat, hukum Khilafah bersandar pada nas-nas tersebut.

Terkait 1515 dan T*liban, mantan staf National Security Agency (NSA) atau Badan Keamanan Nasional AS Edward Snowden menyatakan bahwa AS, Inggris ,dan Israel adalah yang bertanggung jawab terkait 1515. Satu video yang dilansir Fox News menjelaskan bahwa apa yang dikemukakan Snowden memang bukan sekadar pepesan kosong.

Dalam video wawancara dengan reporter Fox News, Greta Van Susteren, Hillary Clinton menyebut bahwa AS memiliki kepentingan sangat besar di Asia Tengah, kawasan yang dua dekade lalu hendak “dikuasai” Uni Soviet. Ia menyatakan bahwa yang mereka perangi hari ini adalah pihak yang mereka dukung saat melawan Uni Soviet.

Selain dalam wawancara dengan Fox News, Hillary Clinton yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri AS, pernah menyampaikan pernyataan serupa di hadapan rapat pemerintah dengan senat AS. Rapat tersebut, tepatnya bagian Hillary menyebut soal hubungan AS dengan Afganistan, Taliban, Mujahidin, 1515, dan gerakan radikal lain, kemudian disiarkan di CNN. (Tribun News, 16-10-2015).

Dengan demikian, bukan ide pembentukan Khilafah yang membuat kekacauan, melainkan konspirasi negara-negara anti-Islamlah yang menjadikan masyarakat mengindra fakta yang keliru mengenai Khilafah.

Khatimah

Pencanangan Tahun Kerukunan menjelang tahun politik 2024, disertai masifnya pengopinian “tidak perlunya perjuangan penerapan Islam”, sebenarnya merupakan salah satu upaya untuk mengadang dakwah Islam politik ke tengah umat.

Dakwah Islam politik dicurigai hendak mengambil kesempatan untuk mendakwahkan idenya sehingga ditutuplah pintu dengan menganggap dakwah ini akan mengganggu kerukunan bangsa dan bisa menimbulkan kekacauan dan perpecahan.

Namun, apa pun rekayasa dan skenario yang disusun untuk mengadangnya, para pengemban dakwah tentu tidak akan menyurutkan langkahnya, apalagi berhenti. Keyakinan bahwa Islam adalah agama yang hak yang wajib untuk diterapkan secara kafah, adalah energi luar biasa yang akan mendorongnya untuk konsisten di jalan dakwah. 

Firman Allah Swt.,

{يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ}

“Yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (QS Al-Maidah: 54). Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya. [MNews/WAG-Gz]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *