[Nafsiyah] Dakwah Must Go On!

[Nafsiyah] Dakwah Must Go On!

Penulis: Muhammad Rahmat Kurnia

Muslimah News, NAFSIYAH — Penjajahan dan dakwah merupakan dua kata yang saling berkaitan. Di mana ada penjajahan, niscaya dakwah akan terus berkembang. Karakter dakwah adalah mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliah penjajahan menuju cahaya Islam. Ketika dakwah berkembang, perlawanan terhadap penjajah dan penjajahan akan meningkat. Tidak mengherankan bila penjajah akan menghalangi dan menyakiti para pengemban dakwah.

Rasulullah saw. sendiri diutus untuk itu dan mengalami gangguan sebagai konsekuensinya. Allah Swt. berfirman, “Hai Nabi, sungguh Kami mengutus engkau untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan; untuk menjadi penyeru agama Allah dengan izin-Nya; dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. Sampaikanlah kabar gembira kepada kaum mukmin bahwa bagi mereka karunia yang besar dari Allah. Janganlah kalian menuruti kaum kafir dan kaum munafik itu. Janganlah kalian menghiraukan gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai Pelindung.” (QS Al-Ahzab: 45—48)

Kala dakwah dihalangi, gelora pun akan bertambah. Dakwah tidak akan pernah padam.

Karakter umat Islam adalah antipenjajahan, baik penjajahan di bidang politik, sosial, ekonomi, ataupun budaya. K.H. Hasan Abdullah Sahal pernah menyampaikan, “Pesantren berdiri berabad-abad untuk membentengi bangsa Indonesia, membentengi umat Islam dari pengaruh-pengaruh kekafiran, dan dari pengaruh-pengaruh penjajah dan penjajahan.”

Kiai kharismatik pimpinan Pondok Pesantren Modern Gontor ini melanjutkan, “Maka, kalau ada kiai tidak antipenjajahan itu kiai palsu. Kalau santri, ada santri tidak antipenjajahan itu santri palsu. Kalau pesantren tidak antipenjajahan itu pesantren palsu.”

Dengan berapi-api, tokoh berusia 71 tahun ini mengingatkan, “Kita ini akan dijajah, Nak. Sedang dijajah dan akan dijajah kembali. Subhanallah. Dengan caranya masing-masing oleh kaum ‘wa lan tardha’. Saya datang di sini silaturahim, silatul amal, silatul arâ`, silatu informasi, bukan silatu sepatu biru nggak bisa apa-apa, blue shoe can’t.”

Dulu, ketika Rasulullah saw. membebaskan manusia dari pengabdian terhadap sesama manusia menjadi pengabdian semata untuk Allah Swt., beliau dituduh macam-macam. Tuduhan tukang sihir, ahli syair, cap pemecah-belah bangsa Quraisy; tudingan melawan kayakinan nenek moyang sebagai the founding fathers bangsa Arab; bahkan tuduhan gila pun disematkan kepada Rasulullah saw.. Sang Nabi terakhir itu pun diembargo, dihalang-halangi, bahkan diancam dibunuh. Namun demikian, beliau tetap tegar dalam dakwah.

Tuduhan itu pun terus terjadi. Sekadar contoh, di Surabaya, pada 10 November 1945, “arek-arek Suroboyo” melawan tentara sekutu digerakkan oleh para kiai, santri, dan pejuang dengan semangat jihad fi sabilillah mengusir penjajah. Bung Tomo dengan lantang meneriakkan takbir Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar! Namun, apa yang terjadi pada pihak Barat sebagai sang penjajah kala itu? Mereka justru mencapnya sebagai ‘Muslim fanatics’. Perjuangan ini menjadi Headline koran Amerika, The New York Times, edisi 20 November 1945 dengan judul: Moslem Fanatics Fight in Surabaya.

Tanpa henti, tuduhan negatif selalu disematkan kepada para pejuang. Saya masih ingat, dulu waktu masih SD pada tahun 1975-an, bila ada orang yang berpegang pada aturan Islam, ia akan disebut sebagai muslim fanatik. Perkataan “Jangan fanatik lah!” merupakan perkataan yang ditempelkan pada orang yang ingin menerapkan Islam secara kafah pada waktu itu.

Jaman sudah kebolak-balik. Makruf dianggap mungkar, yang mungkar dianggap makruf. Sifat kemunafikan pun bermunculan. Jauh-jauh hari Allah Swt. di dalam Al-Qur’an mengingatkan, “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian mereka dan sebagian yang lain adalah sama. Mereka menyuruh kemungkaran, melarang kemakrufan dan meng­genggamkan tangan mereka. Mereka telah melupakan Allah, lalu Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” (QS At-Taubah [9]: 67)

Yang penting adalah terus tegar di jalan dakwah. Bila seseorang terdiam dalam dakwah, terhenti melawan penjajahan, atau membiarkan fitnah terhadap umat Islam merajalela, ini mengisyaratkan ada sesuatu yang sedang terjadi.

Menarik apa yang disampaikan oleh Gus Nur, Ustadz yang kini sedang naik daun, saat beliau mengatakan, “Kalau ada ustaz/tokoh agama yang tertidur, terdiam di tengah fitnah ini, tidak terdengar suaranya, tidak tampak ghirah-nya, maafkan dan maklumilah. Mereka juga manusia biasa. Mereka harus melindungi keluarganya. Mereka harus menyelamatkan aset-asetnya. Mereka harus mempertahankan image-nya. Pasti beliau-beliau punya alasan baiknya.” [MNews/Nsy]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *