[Nafsiyah] Hakikat Ibadah, Tunduk dan Pasrah kepada Allah Taala

[Nafsiyah] Hakikat Ibadah, Tunduk dan Pasrah kepada Allah Taala

Penulis: Ustaz Arief B. Iskandar

Muslimah News, NAFSIYAH — Allah Taala menciptakan manusia dan jin tidak lain untuk beribadah (lihat QS Adz-Dzariyat [51]: 56). Ibadah tidak lain merupakan ketundukan dan kepasrahan secara total seorang hamba kepada penciptanya, yakni Allah Taala. Ketundukan dan kepasrahan kepada Allah tentu tidak cukup diekspresikan lewat ibadah-ibadah ritual seperti salat, tetapi juga harus dibuktikan dalam seluruh pelaksanaan hukum-hukum Allah Swt. di luar salat, baik dalam perkara muamalah (ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, pendidikan, dll) maupun ‘uqubat (hukum dan peradilan).

Imam Ja’far ash-Shadiq, sebagaimana dikutip dalam kitab Fath ar-Rabbani wa Faydh arh-Rahmani karya Syekh Abdul Qadir al-Jilani, pernah berkata, “Hakikat ubudiah (penghambaan) seseorang terhadap tuannya adalah ia menyadari bahwa semua yang ada pada dirinya hakikatnya bukanlah miliknya, tetapi milik tuannya. Ia tunduk dan patuh tanpa membantah terhadap setiap perintah tuannya. Ia tidak membuat aturan apa pun selain menerima aturan yang dibuat tuannya untuk dirinya.”

Dengan demikian, ibadah pada dasarnya adalah kepatuhan dan kepasrahan total kepada Zat yang disembah, yakni Allah Swt. dengan selalu menaati seluruh hukum-hukum-Nya.

Terkait hal itu, Allah Swt. berfirman, ”Demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam apa saja yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak menemukan di dalam diri mereka satu rasa keberatan pun terhadap apa yang kamu putuskan dan mereka menerima putusanmu itu dengan sepenuh hati.” (QS An-Nisa’ [4]: 65).

Ada sejumlah riwayat terkait dengan sababun-nuzul (sebab turunnya) ayat ini. Salah satunya adalah riwayat dari Ummu Salamah yang menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam pernah mengadukan seseorang kepada Baginda Rasulullah saw. dalam suatu perkara. Baginda Rasulullah kemudian mengeluarkan putusan dalam perkara tersebut yang memenangkan Zubair. Orang tersebut dengan nada keberatan lalu berkata, “Engkau memenangkannya karena ia adalah keponakanmu.” Kemudian turunlah ayat ini. (Dikeluarkan oleh Al-Hamidi dalam Musnad-nya, Sa’id bin Manshur, Abdun bin Hamid, Ibnu Jarir, Ibnu Al-Mundzir, dan Ibnu Hibban dalam Al-Kabir).

Dalam riwayat lain, dalam tafsirnya Al-Hafizh menuturkan riwayat dari Utbah bin Dhamrah dari bapaknya, bahwa pernah ada dua orang yang berperkara. Mereka sama-sama mengadukan perkaranya kepada Baginda Rasulullah ﷺ. Kemudian beliau mengeluarkan putusan hukum atas perkara tersebut yang memenangkan orang yang dipandang benar dan mengalahkan lawannya yang dianggap salah. Namun, orang yang dikalahkan perkaranya berkata, “Aku tidak rela.”

Yang memenangkan perkara lalu bertanya, “Lalu apa yang engkau mau?” Ia menjawab, “Kita pergi ke Abu Bakar ash-Shiddiq (untuk meminta putusannya, pen.).” Keduanya lalu menemui Abu Bakar ra., lalu beliau berkata, “Kalian berdua harus mematuhi putusan Rasulullah ﷺ. Namun, pihak yang dikalahkan menolak dan tetap tidak rela. “Sekarang mari kita menjumpai Umar bin al-Khaththab.”

Kemudian keduanya menemui Umar ra., tetapi beliau bukan memberikan putusan. Beliau malah masuk ke rumahnya dan keluar kembali dengan membawa pedang di tangannya. Seketika beliau menebaskan pedang itu ke leher orang yang enggan menerima putusan Rasulullah itu. Kemudian turunlah ayat di atas.

Riwayat senada dituturkan oleh Al-Hakim dan At-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul dari Makhul. Hanya saja ditambahkan, bahwa setelah membunuh orang munafik yang tidak menerima putusan itu, Umar kemudian berkata, “Begitulah hukuman bagi orang yang tidak rela dengan putusan Rasulullah ﷺ.

Kemudian, turunlah Malaikat Jibril kepada Rasulullah saw. sembari memberitahu beliau, “Sesungguhnya Umar telah membunuh orang itu. Allah telah memisahkan kebenaran dan kebatilan melalui lisan Umar.”

Oleh karena itu, kemudian Umar disebut dengan Al-Faruq (As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsur fi Ta’wil bi al-Ma’tsur, III/161-162. Lihat pula dalam Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir,  I/260-261).

Jelas, ketundukan secara total terhadap hukum-hukum Allah Swt. merupakan bukti hakiki keimanan seorang muslim. Inilah yang juga diisyaratkan secara tegas oleh Allah Swt. dalam firman-Nya, ”Sesungguhnya ucapan orang-orang mukmin itu–manakala mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghukumi mereka–adalah ungkapan, ’Kami mendengar dan kami taat.’ Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur [24]: 51).

Sayangnya, saat ini kaum muslim berada dalam sistem kapitalisme sekuler dan tidak diatur dengan hukum-hukum Allah Taala. Sistem sekuler dengan demokrasi sebagai pilar utamanya,  terbukti telah menjauhkan kaum muslim dari ketundukan terhadap hukum-hukum Allah Taala. Oleh karena itu, mau tidak mau, umat ini harus segera mengenyahkan sistem sekuler dan bersegera menerapkan syariat-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Tentunya dalam institusi Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Hanya dengan itulah kaum muslim bisa benar-benar tunduk dan pasrah secara total kepada Allah Taala.

Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. [MNews/YG]

Sumber: ariefbiskandar[dot]com

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *