[Tapak Tilas] Islam di Jazirah Mandar

[Tapak Tilas] Islam di Jazirah Mandar

Penulis: Siti Nafidah Anshory, M.Ag.

Muslimah News, TAPAK TILAS — Mandar adalah sebutan bagi suatu kesatuan etnis masyarakat yang berada di Pulau Sulawesi. Pada abad ke-16, mereka diikat oleh persatuan antara tujuh kerajaan di wilayah pesisir yang disebut Pitu Ba’ba’na Binanga, serta tujuh kerajaan di wilayah gunung (daratan) yang disebut Pitu Ulunna Salu.

Tujuh kerajaan pesisir itu meliputi kerajaan Balanipa, Sendana, Pamboang, Banggae, Tappalang, Mamuju, dan Binuang. Sementara kerajaan pegunungan meliputi kerajaan Rantebulahang, Aralle, Tabulahang, Mambi, Matangnga, Tabang, dan Bambang.

Kerajaan Balanipa dikenal sebagai kerajaan yang paling berpengaruh secara politik di dalam persekutuan ini. Bahkan kerajaan inilah yang menginisiasi terbentuknya federasi ke-14 kerajaan tersebut, hingga akhirnya federasi tersebut dinisbatkan kepada namanya, yakni Kerajaan Balanipa Mandar.

Dengan demikian, selain merujuk pada nama suku, penyebutan Mandar juga merujuk pada suatu kesatuan wilayah tertentu. Dalam hal ini suku Mandar terkonsentrasi di wilayah yang hari ini disebut sebagai Sulawesi Barat yang merupakan provinsi pecahan dari Sulawesi Selatan.

Perkenalan Dengan Islam

Wilayah yang dihuni suku Mandar ini, memiliki kedudukan strategis, karena merupakan pintu gerbang segitiga yang menghubungkan daerah-daerah du Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Kalimantan Timur. Sejak dulu, mereka hidup berdampingan dengan suku-suku lainnya, seperti suku Bugis, Toraja, dan Makassar.

Menurut catatan sejarah, perkenalan suku Mandar dengan Islam terjadi sekira abad ke-16, tepatnya dimulai di Kerajaan Binuang lalu berlanjut ke Kerajaan Balanipa. Adapun tokoh yang berjasa mendakwahkan Islam di sana adalah seorang da’i utusan Kesultanan Gowa di Makassar Sulawesi Selatan yang bernama Tuan di Benuang atau Syaikh Abdurrahim Kamaluddin atau Abdurrahman Kamaruddin alias Syaikh Bil Makruf. Sebagian catatan menyebut tokoh ini berasal dari Makkah.

Tuan di Benuang memulai dakwahnya di suatu desa bernama Lambanan atau Biring Lembang (sekarang Desa Tammangalle Kecamatan Balanipa Kabupaten Polewali Mandar). Saat itu beliau berhasil mengislamkan Mara’dia (Raja) Pallis yaitu Kanna I Cunnang atau Daetta Cunnang. Setelah itu beliau menuju Napo, pusat Kerajaan Balanipa dan diterima dengan baik oleh rajanya.

Selanjutnya Tuan di Benuang berhasil mengislamkan Raja Balanipa ke IV bernama Mara’dia Kakanna I Pattang alias Daetta Tommuane bersama rakyatnya. Sang raja inilah yang kemudian menjadikan Islam sebagai agama resmi negara dan turut menyebarkan dakwah ke wilayah-wilayah suku Mandar yang lainnya.

Di kerajaannya pula, didirikan Mukim Patappulo (pesantren) yang menjadi pusat pengajaran Islam bagi seluruh suku Mandar. Hingga disebut-sebut, pada tahun 1608 seluruh penduduk jazirah Mandar telah memeluk agama Islam.

Hal ini terjadi relatif mudah karena didukung oleh kondisi geografis kerajaan Balanipa yang meliputi garis pantai yang panjang. Mobilitas penduduknya yang sangat tinggi sebagai negara berbasis kemaritiman dan perdagangan juga membuat mereka sangat terbuka (open mind), sehingga proses islamisasi berjalan dengan sangat cepat. 

Hubungan Dengan Kekuasaan Islam Sekitar

Sejak lama Kerajaan Balanipa Mandar memiliki hubungan politik dan kekerabatan dengan kerajaan-kerajaan di sekitar, seperti Gowa dan Bima. Adapun hubungan dengan Gowa dimulai terutama ketika I Manyambungi (sebelum diangkat sebagai mara’dia atau raja Balanipa ke-1) menikahi anak Karaeng Suria, kemenakan raja Gowa. Dari pernikahan ini lahirlah beberapa anak, salah satunya menjadi mara’dia Balanipa ke-2 yang menjalin hubungan politik dan ekonomi secara intens dengan Kerajaan Gowa.

Ajaran Islam sendiri diterima oleh Kedua kerajaan bersaudara Tallo dan Gowa pada sekira tahun 1603 hingga keduanya berubah menjadi kesultanan Islam. Lalu pada sekitar tahun 1607, Kesultanan Gowa khususnya mulai mengirimkan beberapa dai utusan ke wilayah-wilayah sekitar termasuk ke jazirah Mandar hingga mereka pun masuk Islam dan hubungan politik di antara keduanya pun makin erat karena disatukan dengan Islam.

Adapun hubungan antara Balanipa Mandar dengan Kerajaan atau Kesultanan Bone sangat dipengaruhi oleh hubungan antara Bone dengan Gowa yang mengalami pasang surut sejak keduanya belum menerima Islam. Terlebih ketika pengaruh asing sudah masuk untuk kepentingan ekonomi dan politik. Keduanya tak jarang diadudomba demi kepentingan penjajahan.

Kerajaan Bone dan Gowa sendiri adalah dua dari tiga kerajaan utama yang ada di Sulawesi Selatan yang sering disebut Tellu Bocco Cappagala (Tallo, Bone dan Gowa). Gowa dan Bone sering terlibat persaingan politik dan militer untuk meluaskan wilayah kekuasaan.

Namun ketika Gowa menerima Islam dan kerajaannya berubah menjadi Kesultanan, Gowa mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik pada aspek politik, ekonomi, maupun militer. Kesultanan Gowa pun melaksanakan misi dakwah, termasuk ke Kerajaan Bone.

Sayang, kerajaan Bone menolak, lalu dijawab oleh Gowa dengan genderang perang. Kerajaan Bone pun kalah, lalu tunduk pada kekuasaan Islam dan menjadi vasal bagi Kesultanan Gowa. Sejak saat itulah hubungan Bone dan Gowa seperti api dalam sekam. Upaya-upaya pemberontakan terus dilakukan oleh pihak Kesultanan Bone, hingga muncul Arung Palakka yang kelak berhasil mendapat dukungan kerajaan Bugis dan Ternate, bahkan bekerjasama dengan Belanda untuk melawan Kesultanan Gowa.

Pada situasi inilah Kerajaan Balanipa Mandar berada. Hubungannya dengan Kerajaan Gowa diselimuti problem politik yang sangat rumit. Hubungan tersebut nampak nyata ketika terjadi Perang Makassar (1666-1669) yang berujung kejatuhan Kesultanan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin pasca Perjanjian Bongaya tanggal 18 November 1667. Setelah itu seluruh wilayah kekuasaan Tallo-Gowa jatuh ke tangan VOC dan kesultanan yang digdaya utara dan timur nusantara ini pun kehilangan powernya dan benar-benar berada dalam cengkeraman penjajahan.

Teguh Melawan Penjajahan

Melihat apa yang terjadi pada perang Makassar, nampak bahwa suku Mandar sejatinya sangat anti-penjajahan. Hal ini mengingat, perlawanan Gowa dan keterlibatan suku Mandar dalam menghadapi aliansi Arung Palakka dengan kompeni, sejatinya bukan semata soal hegemoni kekuasaan, melainkan dibangun oleh kesadaran akan bahaya siasat Belanda yang ingin menancapkan kuku penjajahan di Sulawesi dan wilayah sekitar; dan itu semua dilandasi kesadaran Islam yang anti-penjajahan.

Terlebih Belanda selalu menerapkan strategi devide et impera untuk mencapai tujuan, dimana Belanda merasa mendapat celah jalan saat melihat Arung Palakka begitu berambisi untuk menjadi penguasa Sulawesi dengan terus menerus menyulut perang atas Kesultanan Makassar termasuk menyerang sekutunya di jazirah Mandar.

Sejarah mencatat, sepanjang perang Makassar tersebut, Arung Palakka dan Kompeni telah mencoba menganeksasi jazirah Mandar dengan tiga kali ekspedisi militer. Serangan-serangan inilah yang membuat Kerajaan Mandar melemah dan pada akhirnya tunduk pada Arung Palakka dan Kompeni, hingga posisi politiknya terikat oleh berbagai perjanjian yang dipaksakan.

Sejarah Suku Mandar berikutnya terus diwarnai pergolakan. Betul bahwa pada akhirnya Mandar masuk dalam satu persekutuan dengan Kerajaan Bone di bawah Arung Palakka (1672-1696), namun bukan berarti spirit melawan penjajahan bangsa kafir melemah dari masyarakat Mandar. Spirit itu terus diwariskan sejalan dengan dakwah penanaman akidah yang tak pernah padam, hingga lahir dari zaman ke zaman tokoh-tokoh pejuang yang mengharumkan nama Mandar.

Hari ini, kebesaran jazirah Mandar memang seakan tak muncul ke permukaan, kecuali sisi budaya yang masih sesekali diperbincangkan. Namun kekayaan yang ada di bumi jazirah Mandar, ternyata masih menjadi dayatarik tersendiri bagi berbagai kekuatan modal untuk menancapkan kuku-kukunya melalui berbagai proyek pembangunan ala kapitalisme sekuler neoliberal. Semua ini tentu menjadi ujian tersendiri bagi masyarakat Mandar, apakah spirit anti penjajahan itu masih terpateri dalam diri generasi sekarang?? [MNews]

Dinarasi ulang dari berbagai sumber tulisan.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *