[Editorial] Berulangnya Megaskandal Korupsi di Tengah Gurita Oligarki

[Editorial] Berulangnya Megaskandal Korupsi di Tengah Gurita Oligarki

Muslimah News, EDITORIAL — Tahun 2023 masyarakat Indonesia pernah digegerkan oleh kasus korupsi lahan kelapa sawit yang menyeret konglomerat Surya Darmadi, bos sawit pemilik PT Duta Palma Group. Total kerugian yang ditanggung negara akibat kasus ini sangat besar, yakni mencapai Rp78 triliun.

Kasus yang melibatkan orang terkaya ke-28 di Indonesia tahun 2018 versi Majalah Forbes ini kemudian disebut sebagai megaskandal dan didaulat sebagai kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Betapa tidak, kasus ini berhasil mengalahkan semua kasus yang disebut megaskandal pada zamannya, seperti kasus korupsi PT Asabri tahun 2021 yang mencapai Rp23,74 triliun, kasus PT Jiwasraya yang mencapai Rp16,8 triliun, dan kasus BLBI tahun 1998 yang merugikan keuangan negara hingga Rp4,58 triliun.

Namun, pada akhir Maret tahun 2024 ini, publik digegerkan oleh kasus korupsi tata niaga timah di PT Timah Tbk (TINS) yang angkanya lebih fantastis lagi, yakni mencapai Rp271 triliun. Entah sebutan apa yang pantas disematkan pada kasus kejahatan luar biasa ini. Yang pasti, kasus ini benar-benar melukai hati nurani rakyat, mengingat ekonomi negara saat ini sedang dalam kondisi buruk hingga pelayanan atas hak-hak rakyat pun menurun akibat minimnya sumber-sumber pemasukan keuangan negara.

Kreatif Bermain Curang

Hingga kini, kasus yang tengah ditangani aparat kejaksaan dengan menggunakan metode case building ini sudah berhasil menciduk belasan tersangka. Di antaranya adalah pesohor Helena Lim, perempuan crazy rich Pantai Indah Kapuk yang dikenal kerap mempertontonkan gaya hidup supermewah di media sosial. Disusul tersangka ke-16 Harvey Moeis, suami artis ternama Sandra Dewi yang juga dikenal tajir melintir dan selalu digambarkan sebagai malaikat penolong yang begitu ringan tangan membantu banyak orang.

Mereka berdua diduga sudah lama melakukan praktik korupsi dan pencucian uang di PT TINS, yakni sejak tahun 2015 hingga 2022. Namun, peran mereka diduga hanya sebagai operator lapang, sedangkan otak utamanya adalah seorang mafia besar berinisial RBS.

RBS inilah yang diduga berperan mendirikan dan mendanai perusahaan-perusahaan yang digunakan sebagai alat untuk melakukan korupsi tambang timah di PT TINS. Modusnya adalah mendorong perusahaan-perusahaan tersebut melakukan kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk di Bangka Belitung seluas 170,36 ribu hektar dan menyewa jasa peleburan timah ke PT TINS.

Perusahaan-perusahaan swasta ini sendiri mengelola pertambangan secara ilegal alias melakukan pencurian di bawah akomodasi pihak berwenang, lalu hasilnya dijual kembali kepada PT Timah Tbk dengan harga lebih mahal. Hal inilah yang menyebabkan kerugian besar bagi negara, padahal kerugiannya bukan kerugian secara ekonomi saja, melainkan juga kerugian secara ekologi atau lingkungan yang efeknya jangka panjang.

Terlebih atas arahan RBS, Harvey Moeis pun meminta perusahaan-perusahaan tadi mengeluarkan dana pertanggungjawaban lingkungan alias dana CSR yang kemudian dikelola perusahaan milik Helena Lim. Tentu saja, dana-dana CSR ini tidak sepenuhnya digunakan untuk kegiatan sosial. Diduga kuat dana tersebut digunakan untuk menarik keuntungan pribadi sekaligus untuk menyuap para pejabat dan para pejabat PT TINS beserta pihak berwenang lainnya sehingga praktik curang ini bisa sekian lama berlangsung aman.

Kuatnya Cengkeraman Gurita Oligarki

Munculnya kasus megaskandal korupsi timah ini sebetulnya tidak terlalu mengagetkan. Hal ini karena praktik korupsi di Indonesia sudah sedemikian membudaya dan biasanya melibatkan banyak pihak alias dilakukan secara berjemaah.

Hal ini sejalan dengan menguatnya cengkeraman oligarki di Indonesia. Para oligark ini berusaha sekuat mungkin menguasai semua aset publik demi upaya mengakumulasi sebesar-besar modal. Salah satu caranya adalah membangun hubungan saling menguntungkan dengan para pemegang kekuasaan.

Mereka rela memosisikan diri sebagai sponsor kekuasaan demi kompensasi mendapat legalisasi atas hal yang mereka lakukan. Konsekuensinya, korupsi politik pun kian tumbuh subur di masyarakat.

Terkait hal ini, riset The Economist menyebutkan, Indonesia ada dalam peringkat kedelapan kapitalisme kroni, yaitu orang kaya yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa melonjak kekayaannya. Namun, pada saat yang sama, tidak dinafikan makin banyak pula pejabat yang memiliki kekayaan yang tidak terbayangkan.

Biasanya hal ini terkonfirmasi saat banyak kasus korupsi terungkap ke permukaan. Tidak sedikit skandal korupsi yang melibatkan para konglomerat dan menyeret para pejabat, mulai dari wakil rakyat, pejabat kementerian, pejabat daerah, pejabat BUMN, bahkan aparat hukum dan keamanan. Sayangnya, tidak sedikit yang kasusnya menguap karena intervensi kekuasaan dan kekuatan uang.

Fakta ini memang sejalan dengan hasil penilaian Transparency International mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Pada 2023, poinnya sama dengan tahun 2022 alias stagnan, yakni 34. Hanya saja rangkingnya melorot dari 110 menjadi 115 dari 180 negara di dunia dan rangking ke-6 di Asia Tenggara.

Hal ini tentu merupakan pertanda buruk bagi pemberantasan korupsi di Indonesia karena berarti sepanjang satu tahun itu sama sekali tidak ada perbaikan. Bahkan Indonesia sah mengukuhkan diri masuk dalam kategori negara yang sangat korup, baik di tingkat dunia maupun Asia Tenggara.

Sulitnya mengeliminasi kasus korupsi ini memang dipengaruhi banyak faktor. Selain soal personalitas atau integritas manusianya, faktor budaya yang diwariskan turun temurun bahkan sejak zaman penjajah juga turut berperan dalam melembagakan perilaku koruptif.

Hal ini diperparah dengan sistem hukum dan birokrasi yang diterapkan. Selain membuka banyak celah kecurangan, penegakannya pun sedemikian bermasalah sehingga praktik yang merusak berbagai sendi kehidupan masyarakat ini seolah sangat sulit untuk diberantas. Tengok saja, betapa banyak pelaku korupsi yang bisa bebas melenggang sekalipun sudah ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan dengan kekuatan uang para oligark, hukum, lembaga hukum, dan aparatnya bisa tumpul dan mereka pun berani melakukan korupsi berulang.

Semua ini kemudian didukung oleh teknologi yang terus berkembang yang membuat modus korupsi pun makin beragam. Korupsi tidak lagi sekadar menilap uang rakyat atau negara dengan otak-atik catatan atau mark up dana proyek, lalu menghapus jejaknya dengan membeli harta bergerak dan tak bergerak.  Saat ini, tindak pencucian uang yang lumrah mengikuti tindak korupsi sudah masuk dalam kegiatan transaksi elektronik serta bisnis-bisnis yang melibatkan banyak pihak dan menyulitkan untuk dilacak.

Hanya Islam Sistem yang Ideal

Sulitnya memberantas korupsi sejatinya menunjukkan buruknya sistem hidup yang sedang diterapkan. Sistem ini memang tegak di atas paham sekuler liberal yang menafikan peran agama atau prinsip halal haram dalam kehidupan. Wajar jika kebebasan perilaku menjadi hal yang lumrah dan diniscayakan.

Begitu pun dengan berbagai aturan hidup atau undang-undang yang ditegakkan, semuanya lahir dari pemikiran manusia dengan pandangan kemasalahatan yang berbeda-beda. Wajar jika celah keburukan dan kelemahan senantiasa terbuka lebar. Bahkan mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang berniat curang.

Tidak hanya itu, buruknya sistem dengan mudah menyeret orang-orang yang saleh untuk turut berbuat salah. Hal ini disebabkan paham individualisme dan liberalisme yang dibiarkan berkembang di tengah masyarakat. Akibatnya, kerusakan makin lama makin merebak dan sulit diberantas.

Berbeda halnya ketika kehidupan diatur oleh sistem Islam (Khilafah). Sistem ini tegak di atas landasan akidah yang terwujud dalam seluruh amal perbuatan. Halal haram benar-benar menjadi patokan sehingga celah keburukan tertutup rapat karena kukuhnya keimanan menjadi pengawasan melekat, baik pada individu pegawai dan pejabat, bahkan seluruh rakyat.

Selain itu, masyarakat yang menegakkan sistem Islam sangat kental dengan budaya amar makruf nahi mungkar. Bahkan budaya ini menjadi pilar kedua untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum syarak. Jika pun ada penyelewengan, dipastikan tidak akan menjadi fenomena.

Terlebih sistem Islam punya pilar ketiga dalam pencegahan kerusakan di tengah masyarakat. Yakni penegakan aturan Islam secara konsisten oleh negara dan perangkatnya, mulai dari sistem ekonomi, politik, sosial atau pergaulan, pendidikan, media massa, dan lain-lain. Aturan Islam inilah yang akan menjaga fitrah kebaikan dan menjamin berbagai kemaslahatan yang didambakan oleh manusia, termasuk diraihnya kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.

Betapa tidak, peradaban Islam yang lahir dengan penegakan syariat Islam mampu merealisasikan semua nilai yang dibutuhkan oleh manusia, mulai dari nilai ruhiyah, nilai insaniyah, nilai materi, dan nilai-nilai moral. Oleh karenanya, dalam sistem Islam, manusia tidak akan terdorong melakukan apa pun hanya demi memuaskan hawa nafsu, seperti perilaku rakus, konsumtif, atau hedonistik yang justru dibudayakan dalam sistem sekuler hingga menjadi pendorong perilaku jahat dan korup.

Betul bahwa dimungkinkan dalam sistem Islam terjadi pelanggaran. Namun, adanya sistem hukum dan sanksi yang sangat tegas dalam Islam akan meminimalkan terjadinya penyimpangan. Mereka yang berani korupsi, misalnya, harus siap-siap hartanya disita. Lalu namanya akan disiarkan hingga menjadi sanksi moral tersendiri bagi pelakunya. Khalifah pun akan menetapkan hukuman takzir seperti pemenjaraan sesuai kadar kesalahan yang dilakukan.

Banyak hal teknis yang juga diatur dalam Islam demi mencegah terjadinya kecurangan dalam jabatan. Sistem perekrutan, penggajian, dan birokrasi benar-benar diperhatikan sehingga lembaga negara benar-benar menjadi lembaga yang berwibawa dan tidak mudah diintervensi, termasuk oleh kekuatan uang. Lebih dari itu, negara dalam sistem Islam, benar-benar memfungsikan dirinya sebagai pengurus dan penjaga rakyat dengan konsisten menjalankan syariat Islam.

Khatimah

Secara khusus, berulangnya megaskandal kasus korupsi semestinya menjadi pintu masuk kesadaran tentang buruknya sistem sekuler kapitalisme neoliberal yang diterapkan. Adapun secara umum, kemelut korupsi ini hanyalah secuil potret dari rusaknya sistem hidup yang jauh dari tuntunan syariat Islam.

Tanpa syariat, kekuasaan di tangan pejabat menjadi ajang mengeruk manfaat. Termasuk memberi celah para oligark menggasak hak-hak rakyat sebagaimana terjadi sekarang. Akibatnya, kezaliman dan kerusakan merajalela hingga kehidupan masyarakat pun dipenuhi berbagai kesempitan. Benarlah firman Allah Taala,

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.(QS.Thaha: 124). Wallaahualam. [MNews/SNA]

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *